Ini adalah sebuah tulisan kisah
nyata dari pengalaman sahabat saya baru-baru ini dan namanya sengaja saya
samarkan. Semoga tulisan ini bisa menginspirasi dan menjadikan pelajaran bagi
kita semua.
Hitam putih kehidupan sudah ku
rasakan selama 30 tahun sejak aku lahir. Dari mulai menegak miras hingga aktif
menjadi pemuda masjid. Labil, itulah jiwa muda ku yg terkadang khusu’ disebuah
masjid, dan terkadang menjadi jagoan di atas panggung membawakan musik keras.
Namun ada satu hal yang berbeda, aku adalah orang yang terkadang mengunjungi
masjid disepertiga malam terakhir untuk share kehidupan ku, dosa ku, dan impian
ku kepada Allah. Hingga akhirnya aku pun belajar apa itu “Cinta”.
Aku sudah mengembara dari satu
cinta ke cinta yang lain. Namun sampailah aku mengalami titik jenuh dan aku pun
putuskan dalam hati, “Ini pacar terakhir dan akan ku nikahi wanita ini”. Awal
kisah ketika aku melihat seorang wanita yang membuat ku tergila-gila padanya.
Sebut saja Veve, dia adalah adik kelas ku di kampus, namun umurnya lebih tua
dari ku. Saking tergila-gilanya, aku sering mendownload fotonya di facebook
hingga mencari kepribadian dan kabar terkini tentangnya. Di dalam iktikaf ku
selalu ada doa untuknya, “ya Allah, dekatkanlah kami. aku akan membuatnya
bahagia dan menikahinya” air mata menetes dini hari kala itu.
Ternyata doa itu dikabulkan
oleh Allah beberapa hari menjelang wisuda. Walau harus menanggalkan cita-cita
ku saat itu bekerja di luar negeri, tak jadi masalah karena aku lebih memilih
Veve untuk masa depan ku. Aku memang sudah tandatangan kontrak dengan sebuah
perusahaan production di Malaysia, namun aku akhirnya membatalkan kontrak
tersebut karena aku lebih memilih membantu Veve menyelesaikan skripsinya. Ya,
aku mengerjakan skripsi Veve dan disitulah kami dekat dan akhirnya kami
menjalin hubungan.
Singkat cerita, hubungan kami
semakin dekat. Susah senang kami lewati bersama, dan Kami sama-sama belajar
memperbaiki diri untuk menjadi lebih baik lagi hingga akhirnya kami sepakat dan
berjanji untuk menikah. Menikah jika belum bekerja tentu sangat beresiko, dan
kami pun rasakan sulitnya mencari kerja di Indonesia ini. Dari kota ke kota
kami datangi untuk mengejar impian kami. Aku bercita-cita bekerja di perusahaan
property dan Veve bekerja di Bank. Aku akhirnya mendapatkan pekerjaan di
Bandung untuk perusahaan kecantikan, dan Veve belum mendapatkan pekerjaan. Untuk
memotivasi Veve yang mulai depresi, aku berjanji pada Veve, jika dia diterima
kerja di Bandung maka rekening gaji ku akan ku berikan kepadanya. Selain itu
aku kembali berdoa agar Veve dapat bekerja di Bank sesuai cita-citanya, dan air
mata ku kembali menetes di dalam doa itu.
Tak sangka Veve akhirnya diterima
di sebuah Bank BUMN di Bandung. Namun setelah masuk dunia kerja di perusahaan
besar, Veve pun merasa dawn. Hampir setiap hari air mata Veve mengalir di
pundak ku karena suasana kerja yang memang keras. Melihatnya menangis, hati ku
kembali bertekad “kamu harus buat dia bahagia”. Akhirnya aku berusaha memberi
motivasi untuk Veve, dari mulai shoping, kuliner, jalan-jalan, memberi nasehat
seadanya, memijatnya ketika dia cape, dan apa yang Veve minta sebisa mungkin
aku tepati apapun keadaanya, yang penting Veve bisa senang dan agar kuat menghadapi
hari-hari kerjanya. Seiring berjalannya waktu, Veve mulai bangkit dan terbiasa.
Gaji ku saat itu jauh di bawah gaji Veve. Tapi tekad untuk membuatnya bahagia
sudah tertancap dalam hati ku hingga akhirnya cita-cita ku terkabul, yaitu bekerja
di sebuah property hotel di Bandung yang gajinya lumayan besar.
Akhirnya kami bisa menabung
untuk masa depan, bisa tamasya ke luar kota berdua, dan lain-lain. Walaupun aku
harus bekerja extra di malam hari ketika dia tidur, aku masih di depan komputer
menggores gambar untuk usaha kecil ku. Bagi ku tak jadi masalah, karena inilah
usaha ku untuk menjadi suami yang baik. Terkadang aku berbohong ketika Veve
bertanya pada ku ada uang atau tidak?. Dan aku sering mengatakan ada, walaupun
sebenarnya tidak ada. Ini ku lakukan agar dia mendapat jatah lebih banyak dari
ku, cukuplah aku makan dengan nasi uduk seadanya dan air putih, asalkan Veve
tetap bahagia. Aku ikhlas melakukan ini semua untuk membuatnya bahagia dan
nyaman bersama ku. Hubungan kami pun sudah sangat jauh, Ibu dan ayah ku sudah
menganggap Veve sebagai anaknya sendiri.
Setelah dua tahun kami saling
menyanyangi dan tidak ada masalah apa-apa, tiba-tiba dia berubah. Akhir Agustus
ia kembali suka nongkrong dan bahkan tidak mau bertemu dengan ku lagi. Mirisnya
lagi ketika aku menjelaskan kalau aku telah diberhentikan dari perusahaan, dia
tak bergeming sedikitpun, dan bahkan untuk sekedar menemui ku. Karena aku terus
mendesaknya, akhirnya kami bertemu dan Veve berkata jujur jika dia telah memiliki
cinta yang baru dengan pria lain. Hancur perasaan ku ketika wanita yang paling
ku cintai dengan tulus, tega melakukan ini di saat dimana aku kehilangan
pekerjaan ku, bahkan dia enggan mengenal ku lagi.
Air mata ini akhirnya kembali
tumpah luar biasa di hadapan Allah. Dan akhirnya aku sadar, ternyata Allah
sangat menyayangi ku, karena memang aku sering lupa kepada Allah saat bersama Veve.
Dan aku lebih sibuk membuatnya bahagia dari pada mengunjungi Allah yang
memberikan cintaNya untuk ku. Dan Allah mengembalikan ku kejalan taqwa yang
sesungguhnya. Luka yang terasa dalam di hati ini menjadi pengingat bahwa Allah
adalah segala-galanya.
Maka ingatlah, bahwa
perjuangan keras kita tak ada artinya untuk seorang manusia. Namun tetapi, perjuangan
keras karena Allah akan membuat kita mendapat lebih dari apa yang kita
perjuangkan. Kini aku tidak akan dendam atau marah terhadap Veve, dan aku pun belajar
untuk iklas dan tetap berdoa untuknya di sepertiga malam terakhir. Semoga Allah
memberikan ku pekerjaan yang lebih baik dan mendekatkan kami lagi di sebuah
kondisi dimana kami istiqomah di jalan taqwa dan kami akan bersama duduk di
sepertiga malam terakhir untuk anak kami nanti. Itulah cita-cita ku di
sepertiga malam terakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar