Jumat, 30 Oktober 2015

Masih Adakah Kebahagiaan Untuk KU

Malam belum terlalu larut. Mentari baru saja terbenam di ufuk barat. Dicka sedang mengendarai sepeda motornya mengelilingi kota, ketika dia melihat seorang perempuan yang sedang diganngu oleh beberapa orang laki-laki. Mereka mengitari perempuan itu, dan menggodanya. Naluri Dicka sebagai seorang lelaki tiba-tiba bangkit. Dia tidak bisa membiarkan hal itu terjadi di depan matanya. Sekalipun dikenal sebagai laki-laki jalanan, dia masih tetap memiliki hati nurani.
“Hai, cantik. Mau ikut dengan kami?” kata salah seorang di antara mereka. Perempuan itu semakin terpojok. Dia tampak sangat ketakutan.
Tanpa berpikir panjang, Dicka melangkah maju. Ternyata dia mengenal Rudi, anak atasan ayahnya berada di tengah-tengah mereka. Sesaat, dia menjadi bimbang.
“Rudi…”
Serentak, mereka menoleh ke arah datangnya suara, dan melihat Dicka sedang berjalan mendekat.
“Lepaskan perempuan itu Rud. Kalau tidak..”
“Kalau tidak, apa?” tantang Rudi, “Ka, kamu jangan berlagak jadi jagoan deh. Nggak ada untungnya. Gimana kalau kamu juga ikut menikmati perempuan ini?”
“Nggak! Lepaskan dia atau kalian akan…”
Namun, Rudi sudah memotong pembicaraan Dicka.
“Atau, kami akan kau hajar? Iya? Ha… ha… ha…, kau jangan membuatku tertawa. Mustahil kau berani melawanku. Selama ini, kau cuma bisa berlindung di bawah ketiak ayahmu. Nggak lebih. Huh!”
Kini, Dicka sudah benar-benar kehilangan kesabarannya. Dia tidak peduli, jika nanti Ayah memukulinya ketika dia sampai di rumah. Yang terpenting, perempuan itu selamat terlebih dahulu.
Mereka berempat mengeroyok Dicka, tetapi Dicka bukanlah tipe orang yang mudah dikalahkan. Akhirnya, setelah bersusah payah, dia pun berbalik menang.
“Awas kau! Tunggu saja pembalasanku,” ancam Rudi, sebelum mereka lari pontang-panting meninggalkan tempat itu.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Dicka, sambil membersihkan debu yang menempel di bajunya.
“Aku… aku…” jawab perempuan itu gemetar. Selama beberapa saat, dia tidak mampu berkata apa-apa.
Lalu, Dicka pun mengajaknya untuk duduk di rerumputan.
Dia benar-benar ketakutan, pikir Dicka.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Dicka, sebab wajahnya tampak pucat.
perempuan itu mengangguk.
“Ter… terima kasih.”
Dicka tersenyum, “Untuk apa?”
Hening.
Tempat ini sungguh sepi, batin Dicka. Saat itu, dia sedang memandang jalan raya di kejauhan.
Tiba-tiba, perempuan itu menoleh.
“Bolehkah aku…”
“Apa?” tanya Dicka mengalihkan pandangannya kepada perempuan itu.
“Bolehkah aku… meminjam bahumu sebentar? Aku tahu kamu tidak mengenalku, tetapi…”
“Tentu saja,” jawab Dicka tanpa menunggu kelanjutan kata-kata dari perempuan itu. Kemudian, tanpa diduga Dicka, perempuan itu menangis tersedu-sedu, seakan ingin mengeluarkan segala beban yang ada di hatinya.
Dicka menunggu, walaupun hatinya harus bersabar.
Dia adalah perempuan baik-baik. Aku tidak boleh memeluknya, pikir Dicka.
Selama ini, dia selalu bersama dengan teman-teman yang dikenalnya di jalanan. Hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan menjadi tidak punya batasan yang jelas. Mereka sudah terbiasa dipeluk, bahkan lebih. Dia paham, mereka adalah korban dari ketidakharmonisan keluarga, sama seperti dirinya.
Dicka jadi teringat dengan Devi, temannya yang pernah mengatakan bila ayahnya mempunyai dua orng istri, lalu Ardi yang ayahnya berselingkuh dengan wanita lain dan ibunya hanya diam, menerima saja dengan pasrah.
Tiba-tiba, suara perempuan itu membuyarkan lamunan Dicka.
“Terima kasih, kamu sudah menolongku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kau tidak ada.”
Kini, Dicka mendengar suara yang lebih tegar. Ternyata, dia sudah lebih pulih, batinnya.
“Nggak apa-apa. Aku memang harus melakukannya.”
Inilah pertama kalinya Dicka menerima ucapan terima kasih. Sebersit perasaan senang menyelusup ke dalam hatinya. Dia merasakan kehangatan kata-kata perempuan itu.
Kukira, hatiku telah lama mati, pikirnya.
“Kamu sudah merasa baikan?” tanya Dicka.
perempuan itu mengangguk.
“Aku Dicka.”
“Oh, maaf. Namaku Ana,” kata Ana memperkenalkan dirinya.
“Kamu mau pulang?”
Ana mengangguk.
“Mau kuantar?”
Ana memandang Dicka dengan pandangan tidak percaya, dan Dicka sudah terlanjur melihat tatapan itu.”
“Kamu tidak percaya padaku?”
Ana tampak terkejut. Matanya terlihat gelisah.
“Bukan. Bukannya aku tidak percaya, tapi…”
“Tapi…” kata Dicka menirukan ucapan Ana.
“Tapi, aku masih takut dengan…”
Dicka tidak memaksa. “Baiklah, kamu bisa menunggu taksi di ujung sana.”
Ana bergidik. Jalan yang ditunjukkan Dicka gelap sekali. Justru lebih berbahaya jika berada sendirian di sana.
“Aku ikut denganmu,” kata Ana akhirnya.
Dicka tersenyum. Ana sampai terperanjat melihatnya.
Dia benar-benar tampan, pikir Ana.
Hampir sebagian besar perjalanan mereka dihabiskan untuk berdiam diri. Sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Akhirnya, karena sudah tidak tahan, Ana mulai berbicara.
“Kamu tahu? Aku tak pernah merasa bahagia.”
Dicka terkejut, tetapi segera menjawab.
”Mengapa?” tanyanya sambil berpikir bahwa dunia ini memang memiliki banyak masalah yang membuat orang menjadi kehilangan harapan, juga kebahagiaan.
Ana terdiam.
“Oh, nggak usah bilang jika kamu tidak ingin mengatakannya.”
Beberapa saat kemudian, Ana berkata, “Orangtuaku jarang berada di rumah. Mereka selalu sibuk dengan pekerjaannya, tanpa memikirkan perasaanku. Aku rindu pada kasih sayang mereka.”
Tanpa sadar, Dicka menjawab, “Kamu masih beruntung, Ana. Aku sudah kehilangan ibu, juga kasih sayang seorang ayah.”
“Ibumu… meninggal?”
“Ya, dia sudah meninggal sejak aku masih kecil.”
Ana merasakan kegetiran dalam suara Dicka.
“Ha… ha… ha…, aku tadi ngomong apa, sih? Lupakan aja semua yang kukatakan tadi. Lagipula, setelah ini kita nggak akan ketemu lagi.”
“Ka, kamu nggak perlu maksa untuk tertawa.” Namun, kalimat itu hanya ada di dalam pikiran Ana.
“Ngapain tadi kamu sendirian di sana?” tanya Dicka mengalihkan pembicaraan.
“Aku menunggu teman,”
“Oo…” sahut Dicka.
Padahal, Ana berharap Dicka akan bertanya lebih banyak tentang dirinya.
Lho, ada apa denganku? pikir Ana bingung.
Sesampai di depan rumah Ana.
“Terima kasih. Kamu orang baik.”
Aku orang baik? pikir Dicka sambil mengemudikan motornya. Dari kaca spion, Dicka melihat Ana melambaikan tangan. Mungkin, artinya ‘sayonara untuk selamanya’.

***

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Dicka. Dia berusaha menahan sakit yang menjalar, juga air matanya yang mati-matian ditahan agar tidak mengalir turun. Ayah tidak suka dengan anak yang cengeng. Lagipula, laki-laki tidak boleh mengeluarkan air mata.
“Yah, apa salah Dicka?”
“Masih berani bertanya apa salahmu, hah? Dasar anak keparat. Pergi saja sana ke neraka.”
Dicka hanya terdiam mendengar perkataan ayahnya. Hatinya merasa sangat sakit. Dia sering bertanya-tanya apakah bagi ayah dia hanyalah seonggok sampah busuk yang harus dilempar ke tengah jalanan?”
“Pukul saja. Biar sekalian Dicka mati. Biar ayah tidak malu lagi punya anak seperti Dicka,” katanya sinis.
“Kamu… kamu sudah berani melawan ayah, ya!” gertak ayahnya sambil melayangkan tinjunya ke wajah Dicka.
Tubuh Dicka terjengkang menabrak kursi yang ada di belakangnya. Darah tampak meleleh di sudut bibirnya.
Dicka masih tersungkur di lantai yang dingin. Sedangkan ayahnya berdiri angkuh di hadapannya.
“Bangun!” suara ayah menggelegar di telinga Dicka. Detik berikutnya, ayah mencengkeram kerah bajunya dan menghujaninya dengan pukulan yang seakan tak pernah berhenti. Mengapa ayah tega melakukan ini semua kepadanya?
Setelah itu, Dicka merasakan matanya menjadi kabur. Dia tidak melihat benda-benda di sekitarnya dengan jelas. Lalu, semua menjadi gelap.
Dulu, dulu sekali…, mereka adalah kelurga yang bahagia. Walaupun ayah adalah seorang tentara berpangkat rendah dan ibu hanya membuka warung di depan rumah, dia mendapat kasih sayang yang utuh. Hingga suatu hari… pertengkaran itu terjadi. Pertengkaran yang mengubah hidup Dicka. Menjadi suram. Gambaran tentang sebuah keluarga yang harmonis sudah menghilang.
Dicka mengintip dari sela-sela pintu yang terbuka.
“Dasar wanita laknat! Berani-beraninya kau main mata dengan pria lain selama aku tidak ada di rumah,” ayah berteriak sambil menjambak rambut ibu. Ibu pun meronta lepas dari cengkeraman tangan ayah.
“Mana?” Mana janjimu dulu untuk membuatku bahagia?” ibu tidak kalah garang dari ayah.
Dicka memandang mereka berdua dengan ketakutan. Selama ini, dia tidak pernah melihat ayah dan ibunya saling mencaci maki. Dicka kecil, hanya tahu bila ibunya adalah seseorang yang lembut, tak pernah memarahinya dan ayah yang sayang padanya. Mengapa semuanya jadi begini?
“Aku sudah memberimu kebahagiaan.”
“Kebahagiaan apa? Rumah sempit dengan perabotannya yang dekil?”
Kali ini, ayah tidak menjawab.
“Sekarang, mau kamu apa?”
“Aku sudah tidak tahan lagi. Aku ingin keluar dari rumah sialan ini,” kata ibu sambil memasukkan baju-bajunya ke dalam tas.
“Kamu mau kemana?”
“Bukan urusanmu. Aku minta kau menceraikanku.”
“Tapi aku mencintaimu.”
“Makan saja cinta itu. Aku tidak butuh!”
Ibu pergi dari rumah tanpa sekalipun menoleh ke arah Dicka. Padahal, dia berada di dekat situ.
“Ibu… Ibu jangan pergi,” kata Dicka perlahan sambil membuntuti ibunya sampai di depan rumah. Dia pun menarik-narik baju ibunya.
“Lepaskan!” hardik ibunya kasar, “sana tinggal sama ayah.”
Dicka memandang ibunya sampai dia benar-benar berlalu. Kini, dia menemukan kenyataan yang pahit. Ibu tak pernah menyayanginya. Ibu meninggalkannya di saat dia sangat membutuhkan belaian kasih sayang.
Lalu, dia menghampiri ayahnya yang sedang tertunduk di dalam kamar.
“Ayah, kenapa Ibu pergi?” tanya Dicka.
“Anak sialan! Pergi jauh-jauh dari Ayah!”
“Tapi…”
“Pergi!” bentak ayahnya lagi.
Dicka kecil memang tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi telah terjadi antara ayah dan ibunya. Yang dia tahu, saat itu ayahnya hanya ingin sendiri.
Sepeninggalan ibu, perangai ayah menjadi berubah. Dia suka marah-marah hanya karena alasan yang sepele. Dia tidak pernah menggendong Dicka lagi seperti dulu. Ayah membiarkannya tumbuh sendiri tanpa pernah memberi perhatian yang cukup. Tak jarang, ayah memukulnya sampai Dicka menangis ketakutan. Apalagi, bila dia menyebut-nyebut nama ibu, ayah akan semakin menambah keras pukulannya.
“Ibu sudah mati! Mati!” Ayah berteriak gusar, “ingat itu baik-baik,”
Dicka tidak berani membantah. Tidak hanya tubuhnya yang babak belur, tetapi juga prestasi di sekolahnya. Beberapa kali, dia dikeluarkan dari sekolah gara-gara berkelahi dengan murid lain. Guru-guru pun sampai kewalahan menghadapinya. Sewaktu SD, nilai akademik Dicka tidak bermasalah. Dia selalu menjadi juara kelas. Akan tetapi, bukankah dunia seringkali terasa tidak adil?
Mejelang usianya yang beranjak dewasa, Dicka pernah mengunjungi ibunya selama satu minggu. Namun, hanya kekecewaan yang dia temukan. Bukan pelukan sayang atau dekapan rindu.
Ibu tak pernah menganggapku hadir ke dunia, pikir Dicka getir.
Dia sama sekali tidak diacuhkan. Tidak pernah diperhatikan. Ibu tidak pernah sekalipun rindu kepadanya.
“Ibu, bolehkah aku memelukmu?” tanya Dicka. Namun, ibu hanya memandangnya dengan tatapan yang kosong, seolah dia adalah orang lain yang tidak punya hubungan apa-apa. Seolah tidak ada ikatan di antara mereka berdua.
“Ibu, bolehlah aku memelukmu?” ulangnya. Berharap ibunya akan datang dan menggendongnya, mengucapkan kalimat yang selama ini terus dirindukannya, “ibu menyayangimu, nak.”
Akan tetapi, ibu berlalu begitu saja, tanpa berkata apa-apa.
“Ibu, apa salahku? Mengapa kau perlakukan aku seperti ini?” batin Dicka putus asa.
Akhirnya, dia memutuskan untuk pulang ke rumah. Dengan menjinjing tas kecil, dia berjalan terseok-seok tanpa semangat. Dia merasa kecil, terbuang, dan mungkin saja dibuang. Ketika menoleh, dia melihat ayah tirinya, suami ibunya yang baru, memandang kepergiannya dari depan pintu. Tak ada yang berbaik hati, walaupun hanya berpura-pura, untuk mengantarnya pulang.
Sesampai di rumah, ayah tenang-tenang saja menyambut kepulangannya. Ayah seakan tidak khawatir dia pergi kemana pun asal tidak menyusahkannya saja.
“Darimana?” tanya ayah sambil lalu.
Dengan takut-takut, Dicka menjawab, “Dari rumah ibu, yah.”
“Apa?” kata ayah dengan geram, “Apa katamu?”
Dicka hanya menunduk, tidak berani menatap mata ayahnya.
“Dari… rumah ibu,” ulang Dicka pelan. Pelan sekali. Tetapi, Dicka tahu bila ayah mendengarnya.
Lalu, dunia seakan menjadi neraka bagi Dicka. Ayah mencengkeram pundaknya dan mulai membenturkan kepalanya ke dinding hingga dinding itu berubah warna menjadi merah.
“Ampun, yah…” kata Dicka memelas.
“Perempuan laknat seperti dia tak pantas menjadi ibumu.”
“Ya, Dicka berjanji nggak akan pernah menemui Ibu lagi.”
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Dicka, menuruni pipinya. Kepalanya sakit sekali, samapai mau mati saja rasanya. Bahkan, dia sempat berdoa kepada Tuhan, yang kata orang-orang ada di atas sana, “Tuhan, ambil saja nyawaku ini. Aku tidak ingin hidup lebih lama lagi.”
Namun, Tuhan tidak pernah mau mengabulkan permohonannya. Dicka masih saja terbangun menatap dunia nyata.
“Bagus!” katanya pada Dicka. Lalu, ayah tersenyum sambil menyeringai. Seringai yang terasa menakutkan bagi Dicka. Ayah tidak pernah main-main dengan ancamannya.
Dicka berjalan tertatih-tatih menuju ke kamarnya, kalau bisa disebut sebagai kamar. Semuanya berantakan di sana sini dengan perabotan yang sudah tua. Meja, tempat tidur, almari tidak pernah diganti sejak dua puluh tahun yang lalu. Yang terbaru, hanyalah poster Maroon 5 yang baru dipasangnya tiga hari yang lalu.
“Kamu mau tahu caranya bunuh diri?” Tiba-tiba, Dicka mendengar sebuah suara dan dia menjadi kaget.
“Apa?” katanya pelan. Entah pada siapa dia bertanya.
“Kamu mau tahu caranya bunuh diri?” Suara itu kembali terdengar. Bulu kuduk Dicka sudah benar-benar meremang sekarang.
“Gantung dirimu pada seutas tali.”
“Minum alat pembasmi nyamuk.”
“Campur air dengan racun tikus.”
“Potong nadimu dengan pisau dapur.”
Suara itu terdengar berulang-ulang memenuhi isi kepala Dicka. Tidak mau berhenti, walaupun dia sudah menutup rapat-rapat telinganya.
“Mau kamu apa?” teriak Dicka dengan hati berdebar.
“Dicka kamu sudah terlalu lama menderita. Sudah saatnya kau mengakhiri semuanya. Kamu tahu? Keluargamu tidak pernah menyayangimu. Bahkan, mereka selalu meyalahkanmu walaupun kamu tidak berbuat kesalahan. Ayahmu memukulimu, padahal kamu hanya ingin membelanya saat teman-temanmu menjulukinya ‘si tukang mabuk’. Juga, ibumu yang tidak pernah mencintaimu, walaupun kau selalu berusaha menyenangkan hatinya.
“Tidak! Ayah dan ibu menyayangiku.”
Suara itu membantah, “Apa buktinya? Mereka justru menelantarkanmu. Mereka terlalu egois dan hanya mementingkan kesenangan pribadi. Dicka… kamu tidak berharga… tidak berharga… tidak berharga…”
“Lalu, apa yang harus aku lakukan?”
“Ambillah pisau di meja dan potong nadimu.”
Seperti ada tenaga tak terlihat yang memaksanya untuk mengambil pisau itu. Dan, cress… darah pun muncrat kemana-mana.
Dicka terbangun dengan napas terengah-engah. Bajunya basah terkena keringat yang mengalir deras. Ya, ternyata dia telah bermimpi buruk, sangat buruk. Tanpa sadar, dia tertidur tadi.
Ketika keluar dari kamar, dia tidak melihat ayahnya. Badannya masih terasa sakit. Apalagi, jika nanti digunakan untuk mandi, dia pasti akan meringis menahan sakit. Ya! Selama ini, dia memang sering memancing kemarahan ayahnya. Tetapi, kali ini berbeda. Dia berkelahi bukan untuk pamer, dia benar-benar menggunakannya untuk kebenaran, kalau memang dia masih pantas untuk menyebutnya. Namun, ayah tidak sedikitpun percaya pada ucapannya.
Kebahagiaan tidak pernah lagi singgah di hatinya, hingga dia tidak tahu bagaimana rasanya menjadi bahagia. Selama ini, dia hidup dengan menyimpan perasaan iri, marah, sedih, kecewa yang tidak pernah habis.
Saat ini, Dicka ada di depan rumah Ana, bersembunyi di balik kerimbunan pohon. Lama, dia memandang sekeliling. Tak ada siapapun. Entahlah, ketika dia mengendarai motornya, dia ingin pergi ke sini.
“Dicka!” panggil seseorang. Dia pun segera menoleh dan melihat Ana sedang menatap heran kepadanya.
“Wajahmu kenapa? Berkelahi lagi?” tanya Ana khawatir, “ayo masuk!”
“Aku boleh masuk ke rumahmu?”
“Ya iyalah. Lagian ngapain kamu di situ dari tadi?”
Jadi, Ana sudah lama melihat aku, pikir Dicka.
Dalam sepuluh menit berikutnya, Ana mulai menasihatinya macam-macam sambil mengoleskan antiseptik. Intinya, Ana menyuruh Dicka supaya tidak berkelahi lagi sampai babak belur seperti ini.
“Jadi, siapa yang memukulmu?” tanya Ana akhirnya.
Sebenarnya, Dicka tidak ingin mengatakannya, tetapi Ana terus saja mendesak. Dia pun menyerah dan menjawab singkat, “Ayah.”
“Hah?” kata Ana terlonjak kaget, “jadi, semua ini gara-gara aku?”
“Iya, makanya aku jadi begini. Gara-gara ngebelain kamu,” kata Dicka terus terang. Namun, kemudian dia segera menyambung, “nggak apa-apa. Sudah biasa! Lagipula, tindakanku benar, kok.”
“Sudah biasa apanya?”
“Sudah biasa dipukul,” kata Dicka. Ana sampai merasa heran, Dicka mengucapkannya dengan enteng sekali.
“Mengapa kamu peduli padaku?”
“Yah, anggap saja sebagai balas budi. Aku nggak akan pernah melupakan apa yang sudah kamu lakukan untukku. Bagaimana kalau kita berteman?”
“Kamu mau berteman dengan orang seperti aku?” Dicka sempat menyangsikan ucapan Ana.
“Emangnya ada apa denganmu?”
“Aku beritahu, ya. Aku itu kasar, jelek, suka berantem, kebut-kebutan…”
“Kalau memang begitu, apa salahnya? Aku percaya kamu bisa berubah jika kau mau.”

***

 “Apa pedulimu pada nyawaku? Aku nggak berhutang apapun padamu,” katanya, seolah meremehkan perempuan yang ada di depannya.
“Dicka!” Ada sekelumit rasa jengkel di hati Ana, “tunggu dulu!”
Dia pun berlari menghampiri Dicka yang duduk di atas sepeda motornya, bersiap untuk pergi.
Setelah mengatur napasnya yang terengah-engah, Ana berkata, “Ka, kamu jangan ikut balapan lagi, ya. Kamu bisa benar-benar…”
“Benar-benar apa?”
“Benar-benar mati.” Namun, kata-kata itu tidak jadi diucapkannya.
“Alah, jangan sok nasihatin aku, deh. Belagu amat. Kamu kira aku ini siapa? Aku bukan anak baru kemarin sore yang lagi belajar jalan.”
Mereka terdiam sesaat, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Ana tidak tahu lagi bagaimana caranya membujuk Dicka untuk menghentikan kegiatan yang menurutnya sungguh… gila.
Memang, setahu Ana, Dicka tidak pernah mau dinasihati oleh siapapun, termasuk ayahnya sendiri. Entah terbuat dari apa kepalanya itu. Mungkin dari batu sungai yang minta ampun kerasnya itu.
“Tapi…” Ana mencoba sekali lagi.
“Udah deh, nggak usah ngurusin aku segala. Kagak ada untungnya. Sana pergi!” usir Dicka kasar.
“Kamu nggak boleh…”
Dan, saat itu Dicka sudah ngeloyor pergi, menyisakan kepulan debu yang menyesakkan Ana sampai dia terbatuk-batuk. Dicka jelek, pikir Ana dengan perasaan yang tidak menentu.
“Nanti sore, ada balapan di Lapangan Joyokusumo. Kamu ikut nggak?” tanya Iwan, teman Dicka.
“Jam berapa?” Dicka balik bertanya.
“Jam 3 sore. Ikut?”
“Ya, pastilah,” sahutnya optimis.
“Oke, kalu gitu aku duluan.”
“Lho, ngapain buru-buru?”
“Biasalah, ada urusan sedikit. Nanti juga aku datang begitu beres.”
“Sombong!” komentar Dicka.
Iwan tersenyum dan meninggalkan warung dengan tenang.
Dicka kembali meneruskan makannya. Sejak dari pagi, dia belum memasukkan apapun ke mulutnya, kecuali… tentu saja air putih. Hanya air putih.
Dia sudah menghabiskan dua porsi besar makan piring nasi, ketika dia sadar bila ada sesuatu yang tidak beres. Dia tidak membawa uang sama sekali, sudah diberikannya pada Iwan untuk pendaftaran perlombaan nanti sore.
Bagaimana ini? pikir Dicka panik. Nggak mungkin kan, dia menyelinap keluar begitu saja. Bisa digebukin massa sampai babak belur. Memang orang sekarang cenderung lebih emosional, termasuk dia sendiri. Yah, dia pun tak malu mengakuinya.
Lagipula, harga dirinya tidak mengizinkan hal itu. Mau ditaruh di mana mukanya. Dia kan pembalap nomor satu di kota ini. Untunglah, akhirnya dia menemukan satu cara.
“Kamu harus berterima kasih kepadaku,” kata Ana.
“Untuk apa?”
“Aku baru saja menyelamatkanmu dari kerja paksa. Uang sakuku untuk dua hari habis gara-gara kamu.”
“Sebulan yang lalu, aku juga menyelamatkan hidupmu.”
Ana merasa mendapatkan pukulan telak. Dia tidak bisa membalas ucapan Dicka, karena semua yang dikatakannya benar. Tiba-tiba, dia merasa sedih.
“Kenapa kamu diam?” tanya Dicka heran. Tidak biasanya Ana yang cerewet dan sok ini menjadi kehilangan kata-kata.
“Jadi… jadi, kamu minta imbalan?” kata Ana dengan suara tertahan, “kalau nggak mau, dulu kau nggak perlu menolong aku.”
“Hah? Apa?” Dicka menatap Ana dengan wajah tidak mengerti.
“Ya, aku memang berhutang budi padamu,” kata Ana serak, “apa yang kamu inginkan dariku?”
Dicka baru mengerti sekarang, dan kemudian dia tertawa sampai perutnya terasa sakit. Ana memandang Dicka bertanya-tanya.
“Sori, aku nggak ngira kamu sampai berpikiran seperti itu,” kata Dicka setelah tawanya reda.
“Nggak lucu!” Ana cemberut menahan marah. Dia pun berbalik membelakangi Dicka.
“An, aku nggak pernah berpikir kamu berhutang padaku. Aku sudah senang kamu mau berteman denganku, yah… yang bisa dibilang urakan, nakal, nggak bener, berandalan…” sahut Dicka, “Terima kasih kamu masih memperhatikanku,”
“Kamu bukan cowok seperti itu,” jawab Ana kembali berbalik menghadapi Dicka dengan wajah serius.
“Ha… ha… ha… kamu ketipu. Dasar cewek, gampang banget dikibulin. Aku tadi cuma bercanda.”
Perasaan Ana menjadi bercampur aduk tak karuan. Dia tidak ingin tangisannya pecah di depan cowok brengsek ini.
Dicka segera mengalihkan pembicaraan.
“Nanti nonton, jam tiga. Lapangan Joyokusumo. Aku ada di sana. Biasalah!”
Ana benar-benar ingin mencegah. Namun, dia takut, jika dia berbicara, air matanya akan mengalir keluar. Dan, dia tidak mau hal itu terjadi.
Ana menunggu beberapa saat hingga emosinya mereda.
“Kamu masih…”
“Sudah ya, nanti kalau aku menang, uangmu aku ganti deh. Jangan khawatir.”
Selalu begitu. Dicka selalu meninggalkan Ana sendirian.
“Ka, aku nggak mikirin soal uang itu, tapi yang aku khawatirkan itu kamu. Kamu, Ka. Mengapa kamu tak pernah mengerti?” pikir Ana.
Jadi, mau tak mau, Ana harus ikut pergi menonton. Sejak pagi tadi, perasaannya tidak enak. Dia tidak ingin terjadi apa-apa pada laki-laki itu. Namun, tiba-tiba Ana sendiri merasa heran. Mengapa dia tidak bisa berhenti memikirkan Dicka. Apakah… dia sedang jatuh cinta? Pada Dicka? Pada sosok tampannya? Atau, pada tubuhnya yang atletis? Ah, mustahil. Masih banyak cowok selain dirinya. Hingga kepalanya menjadi pusing, dia tetap belum menemukan jawaban yang memuaskan.
Kini, Ana berada di tengah-tengah gemuruh suara penonton yang memadati area luar stadion. Sebenarnya, dia sudah ingin cepat-cepat keluar dari sana, tetapi dia menahan hatinya sekuat mungkin. Ya, dia harus memastikan dengan mata kepalanya sendiri, bahwa Dicka baik-baik saja.
Ana mencari sosoknya di antara para pembalap. Setelah beberapa menit, dia menemukan Dicka yang sedang bersiap-siap mengendarai sepeda motornya. Untuk sesaat, Ana merasa lega. Namun, semua itu tidak berlangsung lama. Jantungnya kembali berdebar kencang saat perlombaan dimulai. Semua motor melaju dengan kecepatan tinggi. Ana bahkan merem melek beberapa kali.
Baru saja menghela napas lega, Ana dikejutkan adanya sebuah motor yang oleng karena diserempet motor lain. Pembalap itu terpelanting jatuh beberapa meter dari tempat kecelakaan. Begitu juga dengan motornya yang ringsek di beberapa bagian, karena menggesek jalan, sehingga menimbulkan percikan api.
Mengerikan. Besok, aku nggak mau nonton balapan kayak gini lagi, pikir Ana. Apalagi, pembalap itu jatuh hanya sekitar tiga meter dari tempatnya berdiri.
Dan, kemudian dia melihat helm itu. Motor itu. Tidak salah lagi, gumam Ana berulang-ulang.
Tanpa berpikir panjang, Ana segera melompat menuju pembalap itu.
Pasti dia bukan Dicka, Ana berharap-harap cemas. Ini hanyalah mimpi buruk. Lalu, dia memanjatkan doa. Tak dipedulikannya, penonton yang sempat memandang heran kepadanya. Mungkin mereka berpikir ‘cewek apaan, sih?’ Menerjang masuk ke arena? Tapi, itu urusan nanti. Yang terpenting sekarang adalah memastikan siapa yang berada di balik helm itu.
Ana membukanya dengan sangat hati-hati. Dan, mimpinya buyar seketika. Dia melihat dengan jelas… wajah Dicka yang pucat tak sadarkan diri.
Paramedis datang beberapa saat kemudian. Dicka dibawa ke rumah sakit dengan ambulan. Ana bersikeras untuk ikut. Hanya dia yang kenal dengan Dicka.
Beberapa jam setelah mendapat perawatan, Dicka akhirnya sadar. Dia kaget melihat jam sudah menunjukkan pukul satu malam. Apalagi, dia merasa ada seseorang di sampingnya. Tapi, siapa? Ayahnya kan sedang tugas ke luar Jawa.
Ana beringsut bangun dan melihat Dicka sedang menatapnya dengan pandangan heran.
“Ngapain aku ada di sini? Lho, ini dimana?” Dia tidak paham untuk beberapa saat. Badannya terasa sakit semua.
“Tapi, menurut dokter kamu nggak ngalamin gegar otak, kok. Masa mereka salah mendiagnosa?” pikir Ana.
“Ana, kenapa aku bisa ada di rumah sakit? Aku kan baik-baik saja.”
“Huf, untunglah kamu masih kenal aku.”
Ana bernapas lega.
“Dengar ya. Tadi, dokter bilang tiga tulang rusuk sama kakimu patah.”
“Hah, apa?” tanya Dicka tak percaya.
“Lihat saja sendiri gimana keadaanmu,” jawab Ann sambil menyerahkan sebuah cermin kepadanya.
“Aku sudah kayak mumi gini,” komentar Dicka sambil meringis kesakitan.
“Rasain. Salah sendiri pake ngebut segala. Aku kan sudah bilang…”
“Jadi, ceritanya aku nggak bisa naik motor, nih?”
Ana memandang Dicka dengan rasa kasihan. Dia tahu arena balap adalah hidupnya, dunianya. Dan, dia tak bisa memungkirinya.
“Nggak, kok. Cuma dua bulan.”
“Selama itu?”
“Gara-gara kamu sendiri yang ceroboh. Coba siapa yang repot, kan aku.”
“Oh ya, ngapain kamu ada di sini?”
Dicka bego. Masa nggak pernah ngerti juga? batin Ana.
“Yah, daripada di rumah. Nggak ada orang. Pergi semua,” kata Ana berusaha menutupi kesedihannya.
Dicka ber-o panjang. Dia memang sudah mendengar bahwa kedua orangtua Ana adalah usahawan yang sukses. Jarang ada di rumah.
“Nih, sudah kubelikan nasi goreng dua bungkus. Selera makanmu nggak mungkin berkurang. Lagipula, makanan di rumah sakit, kamu tahu kan?”
“Makasih banyak. Seandainya kamu itu pacarku, aku tentu akan merasa sangat bahagia,” kata Dicka.
Jantung Ana berdebar kencang, sampai-sampai dia takut bila Dicka mendengarnya.
”Aku ngomong apaan, sih? Sori, aku ngerepotin kamu terus. Aku juga nggak bisa ganti uang kamu,” kata Dicka lagi. Kesombongan yang ditunjukkan Dicka selama ini sudah menguap entah kemana.
“Ah, nggak masalah. Aku sudah senang kamu nggak bisa naik motor lagi. He… he… he…”
Dicka merengut pura-pura kesal. Padahal, di dalam hatinya, dia merasa… bahagia. Ada seseorang yang memperhatikannya. Ah, dia benar-benar beruntung bisa bertemu dengan Ana.
Selama seminggu, Dicka berada di rumah sakit. Setiap hari, Ana menjenguknya dengan membawa buah-buahan ataupun makanan.
Dia perempuan yang baik, pikir Dicka, dan aku laki-laki yang buruk. Mana pernah ada kecocokan?.
Saat ini, Dicka sedang kebingungan. Dia jelas-jelas tidak mempunyai uang untuk membayar biaya perawatannya. Dia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya. Ana pasti mau menolongnya, tetapi selama ini dia sudah cukup membuatnya repot.
Dicka termenung sendirian di tempat tidur. Lusa adalah hari kepulangannya. Bagaimana ini? Dia pun kemudian memutuskan untuk bangun dan berjalan di sepanjang lorong rumah sakit. Dengan gugup, Dicka bertanya ke bagian administrasi.
“Mbak, biaya perawatan saya berapa, ya?”
“Maaf, nama mas siapa?” tanya salah seorang perawat sopan.
“Dicka Hermawan S dari kamar 307.”
“Sebentar,” kata perawat itu sambil mengecek dari dalam komputernya.
Dicka menunggu dengan cemas, lebih cemas daripada menanti hasil ujiannya beberapa tahun yang lalu. Dan, akhirnya perawat itu berkata, “Oh, semua sudah lunas.”
Dicka menghela napas sesaat, tetapi hanya sekejap.
“Mbak nggak bohong?” tanya Dicka untuk meyakinkan bahwa telinganya masih normal.
“Anda menginginkan struk kopinya?”
“Ya,” jawabnya cepat sekali.
Lalu, dia pun melihat struk itu, dan terbengong tak percaya. Nominal yang tertera di sana hingga puluhan juta, tepatnya dua puluh lima juta enam ratus lima puluh dua ribu rupiah. Wuih, Dicka sampai bengong membayangkannya.
Siapa yang telah menolongku? pikir Dicka, apakah Ana? Ah, nggak mungkin Ana mempunyai uang sebanyak itu.
Dia tidak bisa menemukan jawabannya, dan justru semakin menambah pusing kepalanya. Ah, dipikir nanti saja!
Sudah hampir tiga bulan berlalu. Dicka merasa benar-benar pulih dari kecelakaan sialan itu. Dia sudah tidak sabar untuk kembali berada di tengah-tengah arena balap. Namun, sebersit pikiran tiba-tiba melintas di benaknya, mengganggu jalan pikirannya. Ana melarangnya ikut.
Dia diurus belakangan aja, deh, batin Dicka. Memang, kecintaannya pada dunia Rossi ini sudah mencapai taraf yang kronis. Sulit untuk disembuhkan. Ana pun tidak akan bisa membujuknya!
“Permisi,” kata Ann. Dia sedang berada di depan rumah Dicka sambil menjinjing keranjang buah. Pintunya setengah terbuka, tetapi kok seperti tidak ada orang.
Tiba-tiba, saat hendak beranjak pergi, Ana mendengar suara Dicka, “Tunggu sebentar!”
Ana pun lalu dipersilakan masuk.
“Ada apa, An?” tanya Dicka.
“Nih, untuk kamu,” kata Ana menyodorkan keranjang di tangannya. Pada saat itulah, dia merasakan tangan Dicka yang menegang.
“Kamu tidak apa-apa?” Ana melihat keringat dingin mengalir turun dari dahi Dicka.
“Ayahmu ada di rumah?” tanya Ana.
Tiba-tiba, dari sebuah kamar terdengar suara seorag wanita.
“Siapa itu di luar, sayang?” katanya mesra.
Ana terperanjat kaget. Sesaat, dia merasa sudah tidak menginjak tanah, melayang entah kemana. Pikirannya menjadi kacau. Dia sangat… sangat syok, seperti terkena serangan jantung.
“Eh, oh, aku mengganggu, ya?” ujar Ana, setelah dia mati-matian memaksa keluar suaranya.
Dicka terdiam. Wajahnya pun ikut-ikutan menjadi pucat.
“Kalau gitu, aku pergi dulu,” tambah Ana sambil melangkah keluar.
“An, tunggu…,” kata Dicka tersendat-sendat.
Ana menoleh. Tapi, lagi-lagi Dicka merasa mulutnya terkunci rapat. Dia tidak tahu apa yang mesti dijelaskannya pada Ana.
Akhirnya, Ana berkata, “Apapun yang kamu lakukan, itu nggak ada hubungannya denganku. Aku bukan pacarmu apalagi ayahmu. Aku nggak berhak melarang apa yang kamu lakukan. Kamu sudah dewasa, kan? Bisa nentuin mana yang bener mana yang salah. Tapi, aku tetap percaya pada kamu, kok. Bukanlah suatu dusta bila kau telah menolongku, memperlakukanku dengan baik. Dan, aku sangat menghargainya.”
“Maaf…,” jawab Dicka lirih. Namun, kemudian dia sendiri merasa heran mengapa dia meminta maaf. Dia nggak salah, kok.
Apakah benar dia tidak bersalah?
Sepeninggalan Ana, Dicka merenung. Lama sekali. Ternyata, apa yang dikatakan Ana memang benar, pikirnya.
Entah mengapa, tiba-tiba dia merasa jijik dengan dirinya sendiri. Dia pun berjanji nggak akan pernah melakukan hal… hal yang bodoh, hina seperti itu lagi. Tanpa berpikir panjang, Dicka pun segera mengusir wanita itu pergi.
Pada saat sendiri seperti saat ini, dia tidak bisa melupakan pandangan Ana tadi. Bukan pandangan jijik! Bukan! Dia yakin itu.
Pandangan itu, pandangan Ana… begitu kecewa… sakit… terluka. Seumur hidup, Dicka tidak ingin melihatnya lagi. Entah mengapa, saat membayangkan kejadian itu, hatinya seperti selalu tersayat-sayat pisau. Pedih sekali.
“Gampang sekali! Aksimu memang top!” kata Iwan.
“Siapa dulu, dong!” jawab Randi sombong, “nggasak motornya si Dicka tuh kayak nggecek semut. Langsung keok waktu kuhantam dari belakang. Biar sekalian mampus.”
“Thanks ya, bro. Uangnya cukup, kan?”
“Ya, nggak ada masalah. Dengan begini, kamu bisa jadi juara tanpa ada penghalang.”
“Toast untuk kita berdua,” kata Iwan. Kemudian, mereka mengangkat gelas tinggi-tinggi dan membenturkannya di udara.
Di tempat duduknya, Dicka merasa sangat geram. Kemarahannya sudah sampai di ubun-ubun. Tanpa sengaja, dia mendengar percakapan mereka. Rasanya, ingin sekali dia membunuh para cecunguk itu. Mejanya hanya beberapa langkah dari mereka. Namun, banyak orang berada di restoran itu. Tindakannya pasti akan sangat mencolok. Polisi pun… dia tidak mau membicarakannya. Apalagi, saat ini Ana berada di hadapannya yang bersikeras untuk ikut. Untuk pesta kesembuhannya, kata Ana tadi.
“Ka, tenang. Jangan berbuat macam-macam,” kata Ana. Ternyata, dia juga mendengar pembicaraan mereka.
“Ayo, kita pergi dari sini,” ajak Ana.
Ana memang benar-benar mengerti dirinya. Dia seperti merasa mempunyai seseorang yang selalu menjaganya, tak pernah meninggalkannya… sesulit apapun situasinya. Dan, entah mengapa dia ingin hal ini berlangsung selamanya.
Dicka mengendarai motornya dengan ugal-ugalan. Melewati mobil, menyalip truk dan bus. Sebenarnya, Ana merasa takut, tetapi dia diam saja dan memejamkan mata menahan ngeri. Batas antara kehidupan dan kematian itu begitu tipis. Kalau saja kecelakaan…, dia berusaha mati-matian untuk tidak memikirkannya. Sebab, dia tahu bila suasana hati Dicka sedang tidak enak.
Akhirnya, Ana bisa bernapas lega juga. Dicka akhirnya menghentikan motornya. Ketika membuka mata, Ana melihat sebuah taman kota yang indah. Bunga-bunga bermekaran di tepinya, dan daun-daun berguguran, ditambah lagi ada angin yang berhembus perlahan. Tempat yang romantis, batinnya. Namun, pikiran itu segera dibuangnya jauh-jauh. Mana mungkin Dicka berpikiran sama dengan dirinya?
Saat ini, mereka sedang duduk di sebuah bangku yang bercat putih.
“Lihat saja! Akan kubalas mereka, nanti!” seru Dicka sambil mengepalkan tinjunya. Ternyata, dia masih dongkol dengan kejadian tadi. Ana sampai geleng-geleng kepala melihatnya.
“Lalu, kamu mau apa?” tanya Ana lirih, hampir tak terdengar.
“Aku? Aku akan menghajar mereka sampai babak belur dan tidak bisa terbangun sampai setengah tahun,” jawab Dicka. Pikirannya saat ini memang penuh nafsu untuk membalas dendam.
“Setelah memberi pelajaran pada mereka, apa yang kamu dapat? Tak ada,” jelas Ana.
Dicka termenung. Dalam hati, dia membenarkan kata-kata Ana. Dengan berbuat begitu, dia justru akan menyusahkan banyak orang, termasuk Ana dan ayahnya. Namun, akan dikemanakan harga dirinya jika dia membiarkan cecunguk-cecunguk itu bebas melenggang pergi.
“Ah, persetan dengan harga diri. Sudah sejak lama aku tidak punya harga diri,” putus Dicka akhirnya.
“Kau benar, An. Nggak ada gunanya aku nantang mereka.”
“Sudahlah, anggap saja kecelakaan itu peringatan Tuhan padamu.”
“Tuhan?”
“Ya.”
“Tak pernah ada Tuhan dalam hidupku.”
Ana bertanya-tanya dalam hati mengapa Dicka berkata seperti itu. Dan, ternyata dia tidak perlu lama menunggu jawaban keluar dari mulut Dicka.
“Dulu, setiap hari, ketika aku masih kecil, aku selalu berdoa supaya Tuhan membawa ibu kembali pulang ke rumah, pulang ke sisiku. Aku menunggu… dan terus menunggu, hingga aku merasa sangat lelah. Tapi, Tuhan tetap tidak mau mendengar doaku. Akhirnya, aku memutuskan bila aku membenci-Nya.
Peristiwa itu memang telah berlangsung lama, tetapi masih membekas di dalam ingatan Dicka, sampai sekarang.
Aku yakin, suatu saat Tuhan pasti akan mendengarkanmu, batin Ana.
“Ayo, kita jalan-jalan saja,” ajak Ana. Dan, tanpa sadar dia memegang tangan Dicka.
“Hei… jangan tarik-tarik tanganku, dong. Kamu kan bukan anak kecil lagi.”
“Oh, sori,” jawab Ana sambil cepat-cepat melepaskan tangan Dicka.
Mereka pun berjalan-jalan di sekitar taman.
“Hei, kita kok kayak orang yang lagi pacaran?” Dicka hanya bermaksud bercanda, tetapi Ann tiba-tiba menjadi gugup. Tangannya terasa membeku, dingin sekali. Bahkan, dia sudah tidak sanggup menimpali kata-kata Dicka. Hanya kata ‘oh’, ‘ah’ yang keluar. Namun, Dicka sama sekali tidak menyadarinya.
Setelah puas melihat-lihat, melihat apanya? batin Ana, lha sebagian besar yang mereka lihat adalah orang yang sedang berpacaran.
“Ayo pulang,” kata Dicka mengagetkan Ana.
Dicka menggandeng tangan Ana. Ana yang terkejut segera melepaskan tangannya.
“Ups, sori. Nggak sadar. Suasananya mendukung banget, sih. Lagipula, sudah kebiasaan,” ujar Dicka meminta maaf.
“Sudah kebiasaan?” tanya Ana bingung.
“Gini lho. Cewek-cewek itu sukanya nempel terus sama aku. Aku cakep, sih. Biasanya, mereka mau aja kugandeng, terus…”
“Sudah! Sudah! Dasar cowok narsis,” sela Ana. Dia tidak ingin mendengar kelanjutan cerita Dicka.
“Ha… ha… ha…, nggak ada hubungannya, ya,” kata Dicka sambil tertawa. Kemarahannya tadi sudah menguap entah kemana.
Ana mempercepat langkahnya, meninggalkan Dicka yang masih bengong tidak mengerti.
“Eh, An. Tunggu!” kata Dicka setelah tersadar dari lamunanannya.
Akhirnya, dia berhasil juga mensejajari langkah Ana. Tiba-tiba, Dicka berkata, “Tapi, kamu itu beda banget. Nggak kayak cewek lain yang gampangan.”
Mau nggak mau, hati Ana berdebar mendegarnya. Aduh, mengapa jantungku hari ini terus-terusan kaget, sih? batin Ana.
Bila dapat mengatakan perasaannya dengan jujur, sesungguhnya dia mencintai Dicka. Kalau nggak, ngapain juga selama ini dia selalu membelanya, menolongnya. Ah, cinta memang kadang sungguh aneh. Mengapa dia bisa mengagumi laki-laki yang hobinya cuma kebut-kebutan, berkelahi nggak ada kapok-kapoknya. Namun, dia tidak pernah mendapat jawaban yang logis.
Dicka tidak pernah tahu, bila Ana menahan hatinya habis-habisan walau itu sangatlah menyiksa. Dia tidak ingin Dicka menganggap bahwa dia telah menodai persahabatan mereka. Sahabat? Ya, mereka hanya sekedar sahabat. Tidak lebih.


***


“Hei, cepetan turun dong. Kamu tidur ya. Sudah sampai di depan rumahmu, nih.”
“Apa?”
“Nggak denger, ya! Aku teriak, lho.”
“Ya… ya…, aku segera turun,” kata Ana.
“Ngapain aja kamu tadi?”
“Ah…”
“Kamu ngapain dari tadi?” ulang Dicka.
“Oh, lagi…”
Belum sempat Ana meneruskan kata-katanya, Dicka sudah memotong, “Lagi ngelamunin aku, ya? Aku kan cakep.”
“Dasar narsis!” jawab Ann sambil menepuk punggung Dicka agak keras.
“Adaaww, sakit tahu!”
“Biarin.”
Setelah berbicara beberapa saat, Dicka berlalu. Saat itu, Ana tidak sadar bila ayahnya sedang mengamatinya dari balik gorden.
“An…”
Suara itu, batin Ana dengan kaget… ternyata ayah sudah pulang.
“Ya, ayah?” tanya Ana sambil berbalik menghadap ke arah ayahnya.
“Kamu sudah berjanji…”
“Ya.”
“Tentunya, kamu nggak akan menghindar.”
Ana merasa badannya lemas dalam sekejap. Dia tidak akan pernah melupakan janjinya pada ayah. Ya, dia memang tidak bisa lagi menghindar. Tidak akan bisa.
Ana memandang langit-langit di kamarnya. Memang, tidak ada apa-apa di sana. Hanya saja, Ana seolah melihat bayangan ayah dengan dirinya sedang berbicara di ruang tamu…
Ketika dia tiba di rumah, ayah sedang membaca koran sambil minum kopi. Padahal, tidak biasanya ayah pulang sesore ini. Namun, untunglah. Ayah pasti bisa menolongnya.
“Ayah!”
“Ada apa?” tanya ayah. Tak sekalipun dia menoleh pada Ana.
“Ayah, aku butuh…”
“Uang? Berapa?”
Ayah seakan bisa membaca pikiran Ana.
“Dua puluh enam juta.”
Ayah sekalipun tak bereaksi ataupun menunjukkan emosinya. Ana menjadi takut.
“Buat apa?” Akhirnya ayah berkata setelah lama berdiam diri. Ana menunggu dengan tegang.
“Buat temanku.”
“Itu saja? Ana, dengar. Ayah tidak akan membantu temanmu jika kau tidak memberi ayah alasan yang masuk akal.”
Ana menyerah. Dia tidak punya pilihan lain. Hanya ayah yang bisa membantunya.
“An, hindari dia.”
“Tapi, ayah…” protes Ana, “dia sudah menolongku.”
“Ya, ayah sudah dengar,” jawab ayah tegas, “Siapa tadi nama temanmu?”
“Dicka.”
“Ayah merasa kamu tidak cocok dengannya. Dia hanya ingin memperalatmu. Kamu tidak pantas bergaul dengannya.”
“Ayah tahu apa tentangku? Tidak ada. Ayah tidak mengerti aku. Aku juga tak pernah mengenal siapa ayah sebenarnya,” keluh Ana dengan suara serak. Ditahannya air mata yang ingin mengalir turun dengan susah payah.
“Kalau begitu, ayah juga tidak bisa membantunya…”
“Ayah…” Hilang sudah satu-satunya harapan. Ana tahu, Dicka bukanlah anak orang kaya. Lagipula, ayahnya sedang bertugas beberapa bulan dan rasanya sungguh mustahil untuk menghubunginya.
“… kecuali kau mau menerima persyaratan dari ayah.”
Harapan Ana kembali melambung.
“Apa?” tanya Ana dengan semangat.
“Kamu tidak boleh menemuinya. Empat bulan lagi kamu akan kuliah, dan tidak akan bertemu dengannya lagi. Jadi, selesaikan semuanya dari sekarang,” tegas ayah.
“Ya, ayah. Aku janji.”
Apakah aku punya pilihan lain? pikir Ana.
“Ayah tahu kamu sudah dewasa.”
Ana tidak mengerti apa yang dikatakan ayahnya.
Kini, tinggal satu bulan lagi. Ana belum juga mengatakan apa-apa pada Dicka. Dia masih bingung. Reaksi apa yang akan ditunjukkan Dicka nanti? Sedih atau justru tenang-tenang saja?
Mengapa aku berpikir dia akan sedih? Kami hanya teman biasa. Sebentar saja dia pasti sudah melupakanku, pikir Ana.
“Kamu mau ngomong apaan, sih?”
“Aku serius, Ka.”
“Iya. Lalu…”
“Aku akan pergi…”
“Aduh, mau pergi aja harus bilang-bilang. Jangan lupa oleh-olehnya, ya.”
Hati Ana menjadi bimbang. Katakan atau tidak? Dia tidak diberi kesempatan dua kali.
Setelah menghela napas, Ana berkata, “Ka, aku akan pergi sebulan lagi. Jadi, mungkin kita tidak akan bertemu lagi setelah itu.”
“Untuk apa?”
“Kuliah,” jawab Ana singkat.
Dicka terpana. Lalu, dia mengatakan, “Oh, selamat ya. Kamu akan jadi mahasiswi, dong. Kamu kan pintar, nggak kayak aku.”
Ana merasa sedih. Dicka juga. Akan tetapi, mereka tidak mau menampakkan perasaannya masing-masing dengan jujur.
“Aku nggak bermaksud…”
“Udah dulu, ya. Aku mau pergi,” kata Dicka. Dia tidak ingin Ana tahu bila dia sangat membutuhkannya. Selalu membutuhkan kehadiran Ana. Selalu! Selalu! Dan selalu! Saat ini, dia tidak tahan harus berhadapan dengan Ana lebih lama lagi.
“Tunggu…”
“Apa?”
“Nggak ada apa-apa.”
Biarlah perasaan cinta ini terpendam saja di dalam hatiku, batin Ana.
Sesampainya di rumah, Dicka menyalahkan dirinya sendiri.
“Bodoh! Bodoh! Bodoh! Dasar Dicka bodoh. Mengapa aku nggak nyadar?” katanya sambil memukul-mukul kepalanya dengan tangan,” sudah banyak tanda yang ditunjukkan Ana. Apakah semuanya sudah terlambat sekarang?”
Dicka mengenang kembali pertemuan mereka yang aneh. Ana yang menolongnya sewaktu di warung, di arena balap. Dia jadi tersenyum-senyum sendiri.
Ana yang selalu menjaganya, memberinya semangat, dan selalu mendukungnya. Dia lah teman yang selalu ada di sisinya. Tidak seperti orang lain yang baru mengaku sebagai teman di saat suka saja.
Dicka masih ingat saat Ana pernah bilang, “Tuhan itu ada. Dia selalu berada di samping kita. Kita diberi kesehatan yang tak ternilai harganya. Banyak orang kaya yang sakit-sakitan, lho. Terus, buat apa harta mereka? Ka, kamu jangan merusak dirimu sendiri, ya. Buat apa? Nggak bakalan ada gunanya. Tindakanmu justru akan menyusahkan orang lain.”
Lalu, Ana menepuk bahunya pelan.
Saat ini, dia akan pergi dari kehidupan Dicka, mungkin untuk selamanya. Dia tidak tahu harus sedih atau tertawa. Ternyata, Tuhan memang senang mempermainkan dirinya. Bila Ana tidak ada, bagaimana dengannya?
“Apakah aku merasa senang bila dia pergi? Tidak.”
Entah sejak kapan, Dicka berhenti main cewek dan minum. Ana sudah memberi warna dalam hidupnya. Lalu, dia akan kehilangannya begitu saja?
Mengapa dia baru sadar, betapa berartinya seseorang ketika hampir kehilangan? Apakah itu cinta? Cinta yang tidak dipenuhi oleh nafsu.
Keesokan harinya, Dicka bergegas menemui Ana.
“Lho, kenapa matamu?”
“Ah, nggak apa-apa. Aku nggak bisa tidur semalaman.”
“Memangnya kamu sedang mikirin apa sampai nggak bisa tidur?”
“Mikirin kamu.”
“Hah?”
“Aku mencintaimu, An.”
“Tunggu! Tunggu dulu.”
“Apa?”
“Maksudmu?”
“Maksudku, aku benar-benar mencintaimu. Maukah kamu menjadi…”
Ana tentu saja terkejut setengah mati mendengarnya.
“Apa-apaan ini? Kenapa tiba-tiba?”
“Jawabanmu?”
“Ka, kamu lagi demam, ya.”
“Jawabanmu?”
Ana sebenarnya ingin berkata ‘ya’, tetapi lagi-lagi perkataan ayahnya merasuk ke dalam pikirannya.
“Maaf… aku tidak bisa.”
“Kenapa? Bukankah kau juga mencintaiku?”
Jantung Ana sudah benar-benar copot dari tempatnya. Sejak kapan Dicka tahu? Sekarang, sudah tak ada gunanya berbohong.
“Ya, aku memang mencintaimu,” kata Ana dengan pahit.
“Lalu, masalahnya apa? Kita kan masih bisa bertemu saat kau pulang ke rumah.”
“… tapi, aku sudah berjanji pada ayah,” kata Ana, “bila ayah mau memberiku dua puluh enam juta…”
Ana terkejut sendiri. Apa yang sudah dikatakannya tadi? Namun, untunglah Dicka tak mungkin tahu soal itu.
“Jadi, kau yang… Katakan, An. Ngapain kamu melakukannya. Aku nggak butuh pertolonganmu.”
Dicka tampak sama kagetnya dengan Ana.
“Ka, aku takut. Aku sudah tak punya jalan lain. Aku tak mau kehilanganmu. Yah, setidaknya aku bisa melihatmu sampai hari ini,” kata Ana seraya mencoba untuk tersenyum, walau saat itu dia ingin menangis.
Sebenarnya, Dicka ingin memeluk Ana dan membisikkan kata-kata bahwa semua akan baik-baik saja. Akan tetapi, ternyata dia hanya terpaku di tempatnya saja, hingga Ana berkata, “Besok aku akan berangkat.”
“Secepat itu?” tanya Dicka kaget.
“Ya, keberangkatanku dipercepat satu minggu.”
Hening.
Sesaat kemudian, “Jadi, lupakan aku.”
Ketika mengucapkanya, hati Ana seperti teriris sembilu. Rasanya pedih sekali.
“Ya, bila kau takdirku, suatu saat, entah kapan, entah dimana, kita akan bertemu lagi. Dan, aku nggak akan melupakanmu.”
Dicka benar-benar paham, dirinya tak mungkin pantas untuk Ana. Dia terlalu tinggi untuk digapai.
Ana mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Perasaannya mengatakan bahwa Dicka ada di dekatnya, sedang memandangnya.
“Kamu lihat apa? Cepat naik!”
“Ya, ayah.”
“An, ayo!” seru ibunya.
Ana bergegas menuju ke dalam mobil. Sekali lagi, diedarkan pandangannya. Tiba-tiba, matanya terpaku pada sosok seseorang yang sedang berdiri di balik rimbunnya pepohonan.
Dicka sedang memandang ke arah mobil… seakan ingin menembus kaca mobil yang gelap untuk memandang Ana. Dan, Ana ingin sekali berlari menghampirinya, tetapi saat itu mobil sudah melaju meninggalkan halaman rumah.
Maafkan aku, dirimu akan selalu tersimpan di hatiku, batin Ana… setelah yang kita alami bersama.
Sepeninggalan Ana, hidup Dicka menjadi kacau dan hampa. Diacuhkannya saja teman-temannya yang mengajaknya balapan. Dia tidak menginginkan apapun. Dia hanya ingin bersama Ana. Senyumnya, tatapan matanya, suaranya, semuanya. Mengapa dia merasa tersiksa begini?
Ya, dia memang harus mengakhiri semuanya.
Saat membuka mata, Dicka sudah berada di rumah sakit. Dan, ayahnya sedang terkantuk-kantuk di sampingnya. Menunggunya? Lalu, sejak kapan ayah pulang? Dan, mengapa dia tidak ingat sama sekali apa yang menimpanya. Dicka termenung sendirian. Rasanya, dia seperti baru saja terbangun dari tidur yang panjang.
“Dasar anak tidak tahu diri. Bagaimana kalau Ayah tidak pulang tadi!” teriak ayahnya.
“Pak, harap tenang,” kata salah seorang perawat.
“Maaf,” jawab Ayah, tanpa mengurangi volume suaranya.
“Emangnya aku kenapa?” tanya Dicka bingung.
“Seharusnya Ayah yang tanya. Mengapa kamu melakukannya?”
“Melakukan apa?”
“Lihat tanganmu,” jawab Ayah dengan jengkel.
Dan, ketika melihat perban di tangannya, Dicka kembali mengingat semuaya. Semua masalah yang bertumpuk di pikirannya, hingga dia memutuskan untuk…
“Ngapain Ayah nolong Dicka segala?” protesnya, “aku ingin mati saja. Aku sudah terlalu lelah…”
Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi Dicka.
“Ayah…”
Ayahnya sudah tak mempedulikan lagi pandangan kaget di sekeliling mereka.
“Tapi, bukankah ayah lebih senang jika aku menghilang selamanya?”
“Dicka, hanya kamu satu-satunya milik ayah di dunia. Bagaimana ayah bisa hidup tanpamu? Ayah sangat menyayangimu,” kata Ayah sambil memegang tangan Dicka yang gemetar.
“Tapi, bukankah selama ini…”
“Sssst… sudahlah, nak. Masalah itu jangan diungkit-diungkit lagi,” kata ayahnya lembut.
Sejak kapan terakhir kali Ayah memanggilnya dengan sebutan ‘nak’? Dicka sudah tak mengingatnya lagi.
“Ayah akui bila selama ini ayah yang salah karena telah mengacuhkanmu. Ayahmu ini gagal. Maaf, nak. Ayah membiarkanmu tumbuh sendirian.”
“Ya! Ayah memang keterlaluan, mau menang sendiri…!”
Dicka tidak jadi meneruskan kata-katanya ketika dia melihat ayah memandangnya dengan tatapan kosong.
“Ayah?”
Tiba-tiba Ayah berkata, “Bila melihatmu, ayah selalu merasa sedang berhadapan dengan perempuan itu.” Dan, Dicka melihat ada rasa sakit di mata ayah.
“Siapa? Ibu?” tanya Dicka.
“Jangan menyebut-nyebut namanya lagi.”
Dicka langsung terdiam tak berkomentar.
Kemudian, katanya, “Ayah tidak berharap banyak bila kamu mau memaafkan ayah. Kamu sudah terlalu banyak disakiti.”
Dicka merasa bimbang. Di satu sisi, dia benar-benar ingin memaafkan ayahnya, tetapi dia masih ingat dengan jelas bagaimana ayah menghajarnya tanpa belas kasihan.
Namun, tiba-tiba dia teringat dengan perkataan Ana.
“Maafkan Dicka juga, Yah. Selama ini aku nggak pernah membuat Ayah merasa bangga.”
Ya, harus ada kesempatan kedua bagi kita berdua, batin Dicka. Dan, mereka tersenyum. Senyuman yang penuh kelegaan.
Memang tak ada pelukan hangat. Namun, saat itulah Dicka merasakan kehangatan yang mengalir ke dalam hatinya. Dia tahu… salah satu kebahagiaannya telah kembali. Ayah menyayanginya, mengkhawatirkannya.
“Ayah, aku akan mencoba untuk berubah.”
“Ya, ayah juga.”
Sejak saat itu, Ayah sungguh-sungguh membuktikan ucapannya. Begitu juga dengan Dicka. Dia tidak ingin membuat ayahnya kecewa.


***

“Selamat ya…”
“Terima kasih. Tanpa dukungan kalian, saya tidak akan dapat berada di sini,” jawab Dicka sambil menyalami orang-orang yang mengelilingi dirinya.
“Kamu memang hebat…”
“Kalau boleh tahu, kemenangan ini kau persembahkan untuk siapa?” tanya wartawan sebuah koran lokal.
Sambil tersenyum, dia menjawab, “Untuk Ayah yang selalu mendukungku dan seseorang yang selalu ada di hatiku.”
“Siapa dia?” desak wartawan itu.
“Maaf, saya tidak bisa mengatakannya.”
“Satu pertanyaan lagi!”
“Ya?”
“Bagaimana perasaan Anda ketika menjadi juara dalam perlombaan tahun ini?”
“Tentu saja saya merasa senang sekali. Sekarang, impian saya telah menjadi kenyataan. Sekali lagi, terima kasih untuk semuanya.”
Arena balap masih berteriak-teriak menggaungkan namanya. Namun, Dicka seakan sudah tenggelam ke dalam dunianya. Di antara gemuruh para penonton yang memadati arena, dia merasa sangat kesepian. Senyuman yang selalu dia sunggingkan selama ini hanyalah sebuah senyum kepalsuan.
Sejak hari itu…, dia tidak dapat tersenyum sama seperti dulu. Gadis yang selalu diharapkannya setiap malam, mungkin tidak akan pernah kembali ke dalam hidupnya. Ya, dia sudah pergi.
Satu minggu sebelumnya…
“An, tahu nggak? Dia tuh cakep banget, keren, cool…”
“Kamu ini lagi ngomongin apa, sih?” tanya Ana tidak mengerti.
“Nih, lihat sendiri,” jawab Leni, teman satu kosnya, menyodorkan sebuah koran lokal ke tangannya, “tapi, kamu nggak boleh ikut-ikutan ngefans lho sama dia. Dia sudah menjadi milikku.”
“Aduh, Leni. Nggak pernah kenal juga…”
“Makanya, minggu depan aku ingin mengajakmu untuk menemuinya. Yah, setidaknya aku bisa foto bareng dengan dia. Lalu, fotonya akan kupajang di kamarku, dan aku bisa memimpikannya setiap malam.”
“Ngaco.”
“Biarin. Terserah aku, dong.”
“Len, belum apa-apa juga…”
“Biarin.”
“Untuk menemui artis kan harus bikin janji dulu. Nah, mana mungkin mereka ngijinin kamu nyelonong seenaknya?” protes Ana.
“Lho, siapa bilang dia artis?”
“Jadi…” kata Ana sambil terus membolak-balik koran itu. Akhirnya, dia menyerah, “Halaman berapa, Len?”
“Kayaknya sih, fotonya tadi ada di halaman 7. Cari lagi yang teliti, dong.”
“Iya, iya. Trus, kamu tadi mau ngomong apa?”
“Oh ya, hampir lupa. Dia tuh bukan artis, tapi seorang pembalap.”
Hampir terlepas koran yang dipegang Ana karena terkejut. Sudah lama dia tidak mendengar kata itu, sejak…
“Ka, seandainya aku dapat bertemu denganmu,” gumam Ana.
“An, kamu ngomong apa barusan? Aku kok nggak denger.”
“Oh, nggak ada apa-apa, kok,” jawab Ana berbohong, “Aku balik ke kamar dulu, ya,”
“Kok, tiba-tiba…” kata Leni bingung.
Lebih bingung lagi ketika dia melihat air yang menggenang di pelupuk mata Ana.
“Apakah aku sudah berkata sesuatu yang menyakiti hatinya?” tanya Leni tidak mengerti, “entar, deh.”
Leni pun ikut berangsur pergi, meninggalkan begitu saja korannya yang terbuka…
Dicka Hermawan S, pendatang baru berbakat yang ikut meramaikan ketatnya persaingan dalam dunia balap, berhasil menggenggam gelar juara tahun ini. Yang perlu dicatat adalah dia telah mencapai garis finish pertama sebanyak delapan kali dari tiga belas kali pertandingan. Dia seakan tidak dapat dibendung oleh lawan-lawannya. Sungguh suatu prestasi yang menakjubkan…
“An, kamu kenapa kemarin?”
Ana hanya diam saja.
“Kamu sakit?”
Ana menggeleng.
“Apa aku berbuat sesuatu yang salah padamu?”
Ana menggeleng lagi.
“Lalu, ada apa sampai kamu nangis segala?”
Deg! Hampir copot jantung Ana mendengar kata-kata Leni.
Ternyata Leni melihatnya kemarin, batin Ana.
“Kalau lagi ada masalah, bilang saja ke aku. Jangan dipendam sendirian. Bisa stres, lho.”
“Oh, aku baik-baik saja, kok. Cuma…”
“Cuma…” kata Leni menirukan ucapan Ana.
“Nggak. Cuma pusing sedikit, tapi sudah sembuh. Tenang saja.”
Namun, Leni tidak bisa semudah itu mempercayai kata-kata Ana.
Pasti ada sesuatu yang tidak beres, entah apa. Ana sedang menyembunyikan sesuatu dariku, pikir Leni.
Tapi, Leni tidak memaksa Ana untuk menceritakan ‘sesuatu’ itu padanya, karena dia yakin bila suatu saat nanti Ana sendiri yang akan mengatakan yang sesungguhnya.
Akhirnya, minggu berikutnya, Ana sudah ada di arena balap. Dia tidak bisa menolak ketika Leni ngotot… Bukan! Leni memaksanya untuk ikut.
“Ayolah, An. Daripada hari ini nggak ada kegiatan, mending kita nonton. Pasti seru.”
“Tahu darimana kalau balapan itu seru?”
“Ya, dari mana-mana, lah.”
“Nggak.”
“Kok, gitu… Masa sama temen sendiri tega, sih?”
“Terserah aku, dong.”
“Ayo, dong,” rajuk Leni.
“Kenapa nggak nonton bareng pacarmu? Daripada denganku?”
“Pacar yang mana?”
“Itu, yang namanya…”
“Oh, Andi.”
“Ya, betul. Andi.”
“Dia sih sudah aku putus sebulan yang lalu.”
“Apa? Baru dua bulan pacaran juga.”
“Nggak apa-apa, dong. Andi tuh orangnya kekanak-kanakan banget, nggak kayak si dia yang dewasa.”
“Oo… pangeran kesianganmu itu.”
“Jangan ngeledek, ya. Nanti nyesel, lho kalau nggak datang.”
“…”
“Ngomong-ngomong, aku kok nggak pernah liat kamu berduaan dengan cowok, sih?”
“Nggak pengen aja.”
“Kenapa? Mmm… pasti kamu sudah punya pacar, ya. Dimana dia sekarang?”
Ana menggeleng. Dan, saat itulah Leni melihat wajah Ana yang sendu. Padahal, tidak biasanya dia sedih seperti itu.
Dia paham dan segera mengalihkan pembicaraan.
“Pokoknya, kamu harus ikut. Nanti, kutraktir bakso di warungnya Pak Paijo.”
“Nggak usah, aku mau di kos saja.”
“Oke, ini cara terakhir. Kalau kamu nggak bisa jawab pertanyaanku, kamu harus pergi. Gampang, kok.”
“…”
“Katakan sama aku, alasanmu nggak pengen pergi. Itu aja.”
Dan, pertanyaan itulah yang tidak bisa dijawab Ana.
“Jawab atau ikut.” Leni memberikan dua pilihan yang sama sulitnya.
“Aku ikut, deh,” jawab Ana akhirnya. Lemas.
“Mengapa kamu nggak mau jawab? Aku tahu. Soalnya, pacarmu yang entah ngilang kemana itu, juga seorang pembalap. Betul nggak yang aku bilang?”
Sebenarnya, Ana tahu jika Leni mengatakannya setengah bercanda, tetapi itulah. Yang dikatakannya… benar. Dan, dia tidak ingin mengatakan masalahnya pada Leni. Tidak untuk sekarang.
“Kalau mau berangkat, sekarang aja, yuk,” kata Ana sambil berusaha menyembunyikan rasa sedih yang tiba-tiba menyergap hatinya.
Dan, di sinilah dia berada. Di arena balap yang sebenarnya ingin dia hindari, karena selalu mengingatkan dia pada kenangan-kenangannya yang berharga, sekaligus seringkali membuatnya… merasa hampa.
Tiba-tiba, Leni mengagetkannya.
“An, tahu nggak? Pertandingan kali ini merupakan pertandingan yang terakhir. Makanya, aku ngotot banget pengen lihat.”
“Lalu?”
“Tahu aja, kamu. Sebenarnya, aku hanya ingin melihat pangeranku. Ketika aku melihatnya, aku langsung jatuh cinta. Apa itu namanya? Aku kayak ngalamin love in the first sight.”
“Tunggu dulu. Jadi, sebelumnya kamu sudah pernah ke sini?”
“… Iya, sih. Sa… sama Andi.”
“Oo… ketahuan sekarang. Kamu mutusin dia gara-gara pangeran antah berantahmu itu.”
“Kamu ngerti juga akhirnya.”
“Kamu ngapain sih, Len. Cinta kok dibuat mainan.”
“Lho, kita hidup di dunia ini kan hanya sekali. Sebisa mungkin, aku akan menikmatinya. Nggak kayak kamu yang nungguin si dia terus. Eh, sampai jambul ubanan bisa-bisa kamu cuma bisa bengong doang.”
“Kamu ngeledek aku, ya. Mana kepalamu, kujitak biar tahu rasa.”
“Jangan, dong. Emangnya, kepalaku ini batok kelapa?”
Saat ini, Ana sungguh bersyukur mempunyai teman sebaik Leni. Leni yang selalu memandang dunia dengan positif. Leni yang selalu ceria, dan mampu menghiburnya dengan kata-katanya.
“Jangan bercanda melulu, ah. Sebentar lagi balapannya dimulai. Nanti, akan kutunjukkan yang mana pangeranku. Sabar aja,” kata Leni menoleh ke arah Ana. Dan, dia terkejut ketika melihat Ana justru sedang membaca majalah dengan santai.
“Apa-apaan, sih? Masa baca majalah di tempat seperti ini?”
Kemudian, Leni segera merebut majalah itu dari tangan Ana, dan segera memasukkannya ke dalam tas. Tanpa menghiraukan protes dari Ana, Leni berteriak kegirangan, “Itu tuh, An. Yang pake helm sama pakaian warna merah. Kyaaa…, dia emang top.”
“Ya… ya…, nggak teriak juga sudah kedengaran kok,” jawab Ana akhirnya ikut memperhatikan pria yang ditunjuk Leni.
“Terus kenapa? Nggak ada yang istimewa dari dia.” Padahal, di dalam hati, Ana merasa penasaran juga. Cara dia ngebut…, cara dia mengendarai motornya, mirip dengan Dicka. Ah, tapi mana mungkin dia ada di sini, pikir Ana.
“Ya sudah, terserah kamu, deh kalau mau tetap setia sama pacarmu yang nggak ketahuan itu. Yang penting, kamu nanti harus menemani aku minta foto bareng dia.”
“Lho, kenapa ngajak aku? Kamu kan sudah dewasa.”
“Sudahlah. Ikut saja, jangan banyak protes.”
Ana menyerah, dan mengikuti Leni menuju ruangan ganti pemain.
Ketika tiba di sana, sudah banyak orang yang mengerumuni pembalap itu.
“An, kamu tunggu di sini, ya?”
“Tenang aja, aku nggak mungkin pergi, kok.”
Ana melihat Leni dengan gesitnya ikut merengsek maju dan beberapa detik kemudian dia sudah tertutup oleh lautan manusia. Dia hanya geleng-geleng kepala melihatnya.
Ana kemudian mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling. Arena balap memang sudah tidak asing lagi baginya, tetapi tempat ini selalu mengingatkannya pada sosok itu, yang mengisi hari-harinya dengan rasa yang tidak menentu. Kadang sedih, kadang bahagia. Dan, dia mengerti bila memang begitulah alur hidup mengalir.
Saat Leni pergi, kesedihan Ana kembali lagi. Dia merasa sendirian…
Entah sudah berapa lama dia menunggu, ketika akhirnya Leni berlari-lari kecil sambil berteriak memanggil-manggil namanya.
“Ana…, aku sudah mendapatkannya!”
Ana pun hanya tersenyum dari kejauhan dan melambaikan tangannya. Namun, tiba-tiba, dia merasa tangannya menegang. Ana terkejut melihat dia… Dia yang ada beberapa meter di belakang Leni. Dia yang selama ini muncul hanya sebagai bayangan.
Jantung Dicka seakan berhenti berdetak ketika dia mendengar nama Ana disebut-sebut. Mungkinkah dia Ana-nya?
Selama ini, namanya selalu menghantui kemanapun Dicka pergi. Dia pasti menoleh ketika ada seseorang yang dipanggil Ana. Namun, setelah itu dia pasti merasa kecewa. Mereka bukanlah Ana-nya. Mereka hanya orang-orang yang mempunyai nama yang sama dengan kekasih hatinya.
Kali ini pun sama. Dicka menoleh, dan mendapati dirinya hampir pingsan karena tidak percaya. Dia melihat Ana sedang menatapnya…
Tuhan, apakah aku sedang melihat fatamorgana? pikir Dicka. Namun, beberapa detik kemudian, dia yakin bahwa semua itu bukanlah ilusi semata. Sinar matanya masih sama seperti dulu, dan dia tak mungkin melupakannya.
Dicka segera berlari pergi. Ditinggalkan begitu saja para cewek yang tadi mengerumuninya. Juga, tak dihiraukannya teriakan protes dari mereka. Ya, Ana tidak boleh menghilang kembali dari kehidupannya.
Waktu seolah berhenti seketika. Mereka saling berpandangan. Lama. Tak ada satu pun kata-kata yang keluar. Namun, pandangan mata yang saling menatap rindu itu, sudah cukup untuk meyakinkan bahwa cinta di antara mereka belum sedikitpun berubah.
Beberapa saat kemudian, ketika mereka sudah sadar dari sihir yang seakan membius mereka…
“An…” kata Dicka, yang kemudian menggandeng tangan Ana dan mengajaknya pergi. Ana mengangguk. Dia lupa bila beberapa langkah di samping mereka, Leni menatap tidak mengerti. Ada sejuta perasaan yang memenuhi hatinya.
“Ayo, kita pulang. Aku nggak mau kamu kedinginan di sini,” kata Dicka.
“Tenang saja… kan ada kamu,” canda Ana. Di tangannya tergenggam sebuah benda yang selama ini hanya menjadi sepotong mimpi. Mereka pun tersenyum bersama, sebagai tanda bahwa mereka saling memahami.
Di kejauhan, ombak semakin sering menjilat-jilat pasir.
Dicka pun mengantar Ana pulang ke kosnya. Namun, alangkah terkejutnya mereka, ketika melihat ayah Ana sudah berdiri menanti di depan pagar dengan gusar.
“Mengapa Ayah bisa tahu…,” batin Ana heran.
Tetapi, tiba-tiba dia sangat paham saat melihat pandangan mata Leni. Tatapan itu sudah mengatakan semuanya.
“An, ayo ikut Ayah!” paksa ayahnya, “Ayah harus mengatakan sesuatu pada kamu.”
“Tapi…”
Dicka yang masih ada di samping Ana pun akhirnya ikut berbicara.
“Om, maaf jika saya lancang. Saya mohon Om mau merestui hubungan kami. Kami saling mencintai.”
“Tidak bisa! Ana harus melanjutkan kuliahnya dulu. Lagipula, kamu tidak pantas berada di samping putriku.”
“Ayah!” protes Ana.
“Diam! Ayah pasti akan mencarikan seorang pria yang sejajar dengan keluarga kita!” Ayah Ana berteriak. Padahal, pada saat itu mereka sedang berada di pinggir jalan.
“An, kamu sudah berani melawan Ayah?”
Ana benar-benar bingung. Keputusan apa yang akan dia ambil? Ayah atau kekasihnya?
“Maaf…,” gumam Ana sambil menggandeng tangan Dicka, mengajaknya pergi.
“An… apa kamu yakin dengan keputusanmu?”
Ana mengangguk pelan. Air matanya menitik jatuh.
“Aku nggak apa-apa. Ayo!”
Kemudian, mereka segera pergi dari tempat kos Ana. Sampai-sampai Ayah Ana syok melihatnya. Beliau tidak akan pernah percaya jika putrinya yang lembut bisa menentang dirinya.
Setelah dapat mengatasi keterkejutannya, Ayah Ana segera memerintahkan beberapa anak buahnya untuk mengejar mereka.
“Cepat! Jangan biarkan mereka lolos!” teriaknya.
“Ka, kita dikejar,” kata Ana, ketika dia melihat beberapa tangan kanan Ayahnya.
“Ya, aku tahu.”
Pada saat itu, jalanan sepi, sehingga Dicka pun menambah kecepatan motornya.
“Aku percaya padamu. Aku percaya kita akan bahagia,” gumam Ana.
Dicka tidak menjawab. Dia sedang memusatkan perhatiannya ke depan. Tiba-tiba, sebuah mobil memotong jalan. Dicka yang sedang mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi segera mengerem. Namun, ternyata semuanya sudah terlambat.
Dicka merasa dirinya melayang ke udara sebelum membentur jalan. Sudah tak terbayangkan lagi bagaimana nyeri yang menyengat di sekujur tubuhnya. Namun, di tengah kesadarannya yang semakin menipis, dia masih mencari-cari sosok Ana. Di mana dia?
Matanya sudah semakin mengabur, ketika dia melihat Ana bersimbah darah, dan… dia tidak bergerak. Dicka seketika menjadi panik. Dengan menyeret-nyeret kakinya menahan sakit, Dicka menuju ke arah Ana.
“An, bangun! Aku ada di sini!” kata Dicka sambil mengguncang-guncang tubuh Ana.
Cringg…, sebuah cincin terjatuh dari tangan Ana.
Dari kejauhan Dicka mendengar orang-orang mulai berkerumun dan berteriak.
“Tapi, mereka meneriakkan apa?” tanya Dicka. Semua tampak bagaikan mimpi bagi dirinya. Apakah ini sebuah mimpi buruk? Tapi, mengapa dia tidak terbangun juga?
Suara ombak memecah karang seperti nyanyian pelantun rindu bagi mereka.
Dicka merogoh sesuatu dari dalam kantongnya. Sebuah benda yang tidak pernah terlepas dari dirinya, dan telah menjadi bagian dari hidupnya.
“Ini!” katanya pada Ana, “maaf kalo nggak ada pembungkusnya,”
Benda itu berkilauan ditempa mentari senja.
“Aku takut nggak sempat memberikannya padamu.”
Ana tersenyum. Manis sekali.
Dicka terbangun dengan jantung berdebar dengan kepala pening. Mengapa aku ada di sini? Bau rumah sakit ini sudah sangat dikenalnya.
Tiba-tiba, dia merasa telah kehilangan sesuatu. Dimana Ana? Hanya ada ayah di sampingnya.
“Yah, Ana dimana?” tanya Dicka gelisah, sambil mencengkeram lengan ayahnya.
Namun, ayahnya tidak menjawab. Beliau justru meletakkan tangannya di atas tangan Dicka dan tersenyum pilu. Dicka pun merasa ada sesuatu yang tidak beres.
“Ana… dimana dia? Dicka nggak membunuhnya, kan?”
“Semua ini bukan salahmu, nak. Semua bukan salahmu.”
Seketika, dunia Dicka menjadi runtuh.
“Ayah?”
Dicka pun menangis di dada Ayahnya.
“Sudahlah. Semua ini bukan salahmu,” jawab Ayah berusaha menenangkan anaknya.
Dicka sudah tidak lagi mempunyai semangat untuk hidup. Seseorang yang selalu mengisi lorong-lorong hatinya, kini sudah menghilang. Menghilang untuk selamanya. Menghilang, tanpa pernah bisa kembali. Ya, Ana sungguh tega meninggalkannya sendirian di sini, tak mengajaknya.
Hari ini… Dia sungguh tidak bisa menghadapi hari ini. Seharian, dia hanya mengurung diri di kamarnya. Dia tidak makan, tidak minum, tidak menginginkan apapun. Para perawat sampai bingung dibuatnya. Walaupun ayahnya selalu mengatakan bahwa semua ini bukanlah kesalahannya, Dicka tetap merasa dirinya berdosa.
Seharusnya, Ana tidak perlu lari bersamanya. Seharusnya, Ana masih hidup hingga sekarang dan memiliki kebahagiaannya. Seharusnya, Ana masih bisa menikmati hari-harinya… Dan, semua ini karena dia. Dia lah yang telah membunuh Ana.
“Tuhan, ambil saja nyawa yang tidak berharga ini! Tapi, kembalikan Ana untukku. Mengapa Engkau justru memilih dia dan membuatku tersiksa seperti ini? Mengapa lagi-lagi aku harus kehilangan dirinya? Belum cukupkah jika Kau hanya mengambil Ibu dariku? Tuhan, aku tidak mengerti semua ini!”
Akhirnya, Dicka memutuskan untuk pergi ke rumah Ana, meskipun dia tahu kehadirannya nanti justru akan semakin menambah suasana menjadi kacau. Namun, dia tidak peduli. Dibunuh pun tidak apa-apa. Dicka hanya ingin melihat Ana untuk yang terakhir. Ana-nya yang cantik, baik, lembut…
Tak ada gunanya jika dia hanya berada di rumah sakit seperti ini dan merenungi kenangan-kenangannya bersama Ana, dan menangis… hingga air matanya mengering.
“Ana, apakah kau merasa kesepian berada di sana? Sungguh, aku ingin menemanimu.”
Ayah Ana menyambut kedatangan Dicka dengan histeris.
“Mau apa kamu ke sini? Pergi! Kamu yang telah membunuh putriku,” teriak Ayah Ana.
Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Dicka. Namun, dia seolah sudah tidak merasakan apapun.
“Sabar, Pak!” kata seseorang sambil berusaha menenangkan Pak Budi.
“Lepaskan! Biarkan aku membunuhnya.”
“Sudahlah, Pak. Semua ini sudah merupakan suratan takdir. Bapak harus mengikhlaskan kepergian putri Bapak.”
“Apa? Suratan takdir? Bila cowok brengsek itu tidak mendekati putriku, semua tidak akan berakhir seperti ini!”
“Lepaskan!”
Saat itu, Dicka sudah tidak mendengar apapun.
“Aku datang, An. Aku ada di sini menemanimu. Mengapa kamu tidak terbangun juga? Bukankah kau juga mencintaiku?” bisik Dicka mencium kening Ana.
Orang-orang mulai berteriak. Tapi, Dicka sudah tidak mendengar apapun.
“Jangan, Pak! Apa yang akan Bapak lakukan?”
Akan tetapi, tidak ada orang yang berani mendekat. Pak Budi mengacung-ngacungkan pisau yang dibawanya ke hadapan orang-orang yang hadir. Dan, semua hanya bisa terpana… terdiam, ketika Pak Budi mendekati Dicka.
Ketika berbalik, Dicka merasakan ada sebuah benda dingin yang menembus perutnya. Dia melihat darah mengalir membasahi bajunya. Merah…
Semua terkejut menyaksikan kejadian itu. Tubuh Dicka roboh. Darah mengalir cepat menggenangi lantai yang berwarna putih.
“An, aku tahu saat ini pasti akan datang…”
Hingga akhir, Dicka tidak pernah mengerti rencana Tuhan untuknya, dan dia tersenyum.
Hari itu… hari yang tak terlupakan.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar