Rabu, 21 Oktober 2015

Cinta Yang Semestinya

Delapan tahun itu adalah waktu yang lama. Waktu yang cukup membuat Nindy dan Axcell benar-benar saling jatuh cinta. Delapan tahun bahkan banyak hal yang berubah. Delapan tahun yang lalu, saat SBY belum jadi presiden, saat Justin Bieber belum terkenal, saat handphone touchscreen masih dalam bayang-bayang manusia… Nindy dan Axcell telah memulai segalanya dari sana. Sejak delapan tahun yang lalu, Nindy masih pakai seragam putih-biru, rambutnya yang panjang sepundak suka dikuncir dua, plus pakai bandana dengan poni-poni tipis yang berjatuhan di pelipisnya. Sungguh sebuah keindahan yang sempurna di mata Axcell yang baru kelas 3 SMA. Dan memperingati hari jadian mereka adalah sebuah keharusan. Bahkan sudah seperti tradisi yang perlu dirayakan. Bukan Cuma oleh Nindy dan Axcell, tapi juga keluarga mereka.
1 november 2013
“Ndy, sebenernya ada sesuatu yang mau Axcell sampein ke Nindy. Axcell harap Nindy nggak marah…”
Nindy tegang. “Apa Cell?”
“Hmm… mungkin ini akan jadi dinner hari jadi kita yang terakhir, Ndy…”
“Maksud Axcell?”
“Mm… maksudnya, Axcell udah nggak bisa lagi… jadi, Pacar Nindy”
“Ah, Axcell becandanya nggak lucu banget sih”
“Axcell nggak becanda Ndy. Axcell serius… Axcell udah nggak mau lagi jadi pacar Nindy.”
What?… Nindy kaget.
“Hmm, kayaknya barusan Nindy salah denger deh.. Masa’ Nindy kayak denger Axcell udah nggak mau jadi pacar Nindy lagi, itu… itu lucu banget kan Cell?” sahut Nindy sambil senyum-senyum salting.
“Nggak Ndy. Nindy nggak salah denger. Axcell emang bener-bener ngomong gitu.”
Nindy menatap Axcell lekat di matanya. Sedetik kemudian, tangan Axcell sudah berada di genggamannya.
“Cell… ini dinner kita untuk ngerayain hari jadian kita yang ke delapan. Kita udah delapan tahun jadian, Cell… udah banyak hal yang kita lakuin demi mempertahankan ini, trus tiba-tiba Axcell ngomong gitu…? Salah Nindy apa Cell?… Apa yang perlu Nindy rubah?, Nindy nggak bisa Cell… Delapan tahun itu bukan waktu yang sebentar, tapi apa waktu selama itu belum cukup untuk Nindy ngeyakinin Axcell?… kita emang udah berkali-kali putus nyambung, tapi itu Cell… itu yang bikin kita lebih mengenal.” Pelan-pelan ada air yang turun di sudut mata Nindy. Sulit menerima kenyataan bahwa Axcell akhirnya mengucapkan kalimat yang sama sekali nggak ingin Nindy dengar.
Tapi…
Axcell mengusap pipi Nindy yang mulai merah dan basah.
“Axcell tau, Ndy… delapan tahun itu memang bukan waktu yang sebentar. Meskipun banyak hal yang kadang membuat kita sakit, tapi itulah yang membuat kita sadar kalo kita memang saling membutuhkan. Axcell capek Ndy, putus nyambung terus… jadi Axcell pingin kita nggak usah pacaran lagi”
Nindy menarik tangannya yang ada di genggaman Axcell. Axcell menahannya.
“Tunggu Ndy, Axcell belum selesai ngomong…”
“Tapi Nindy udah nggak bisa dengerin Axcell lagi..”
“Nggak. Nindy harus dengerin Axcell sampe selesai… pliss Ndy”
“Pliss, Cell… Nindy nggak bisa.”
Dengan sedikit memaksa, Nindy menarik tangannya dan cepat-cepat meninggalkan Axcell bersama seribu lilin makan malam mereka.

Rumah Axcell cukup besar untuk langkah kecil Nindy yang bergegas menuju gerbang. Tapi di ruang tamu, Nindy melihatnya ada Ayah-Bundanya lengkap dengan keluarga Axcell. Nindy agak terkejut melihat kehadiran mereka. Mereka juga terkejut melihat Nindy yang tiba-tiba datang dengan mata basah. Di belakangnya ada Axcell yang berlari kecil mengikuti langkah Nindy yang tergesa.
“Ndy, tunggu… Nindy harus dengerin Axcell dulu, Axcell emang nggak mau kita pacaran lagi, Karena.. Axcell pingin jadi suami Nindy. Axcell nggak mau kita pacaran lagi karena Axcell mau kita nikah”
Nindy membalikkan badannya. Ia menatap Axcell entah dengan pandangan apa. Tapi di detik berikutnya, tubuh mungilnya sudah melebur di pelukkan Axcell.
Intan, kakaknya Axcell yang juga baru nikah berdiri dan tepuk tangan diikuti suara tepukkan yang semakin riuh.
“Kita mulai lagi semuanya dari awal, sayang…” bisik Axcell di telinga Nindy.

Dan hari itu pun ditentukan. 11 desember 2013. Hari yang akan merubah segalanya dalam hidup Nindy dan… Hari itu adalah besok.
Erni menatap tenda-tenda yang bergoyang tertiup angin. Besok anak semata wayangnya akan menikah. Ada rasa haru dan sedih yang menggemuruh bergantian di hati Erni. Hari itu membawanya larut dalam memori dua puluh tiga tahun yang lalu. Hari dimana ia juga akan menjadi pengantin. Tenda telah terpasang, gaun telah dipesan… perempuan manapun akan menanti hari itu. Hari dimana mereka akan menjadi pengantin. Erni juga menanti hari mendebarkan itu. Dan hari itu semakin mendebarkan karena pengantin prianya adalah Alvin. Sebelum menikah, nggak banyak yang Erni tau tentang Alvin. Begitu juga sebaliknya. Mereka dipertemukan oleh tantenya Erni yang kebetulan adalah partner Ibunya Alvin. Alvin itu tipikal laki-laki yang mendekati sempurna. Dengan alisnya yang melengkung di atas kelopak matanya yang sedikit cekung mengapit hidungnya yang tinggi. belum lagi bibirnya yang merah dan sedikit agak gemuk. Ditambah perawakannya yang atletis dan karirnya yang bagus di dunia bisnis.

Erni menatap suaminya dari jauh. Alvin sedang tertawa-tawa bersama beberapa kerabatnya. Seperti tak ada yang berubah. Alisnya, matanya, senyumnya, sikapnya yang hangat… tak ada alasan bagi Erni untuk tidak mensyukuri itu semua.
“Bunda, itu bunganya taruh dimana kata mbak-mbak itu…” lapor Nindy membuyarkan ingatan Erni tentang dua puluh satu tahun yang lalu.
Di menit-menit selanjutnya, Erni sudah lupa untuk mengingat dua puluh tiga tahun yang lalu. Ia sudah berbaur dengan kesibukkan untuk hari pengantin anaknya.
“Jangan capek-capek, Bun…” Tegur Alvin ketika kebetulan berpapasan dengan Erni yang sibuk menggotong-gotong bangku dengan beberapa pekerja lain.
“Misi Yah, misi Yah…” Erni acuh dengan teguran Alvin. “Iya mbak, itu disitu aja… nanti bunganya taruh di sampingnya, trus sedap malamnya bisa ditaruh sini nih… nah kan disini jadinya bisa buat naruh kipas angin. Biar pengantinnya nggak kegerahan.”
Alvin berlalu. Erni menatap suaminya dengan senyum tipis di pinggir bibirnya. Detik berikutnya ia sudah berjalan di belakang Alvin.
“Gimana Bundanya nggak capek… Ayahnya nggak bantuin…” ucapnya manja di belakang Alvin. Alvin menoleh sambil tersenyum.
“Hehe… lagian Bunda. Kan udah ada yang ngerjain, pake ikut-ikutan… jadi capek kan?, Ayah mau bikin kopi nih, Bunda mau nggak?”
“Mau atuh, kalo dibikinin mah…”
“Kalo bikin sendiri?”
“Mending ngangkat bangku”
Alvin nyengir mendapat jawaban istrinya yang sedikit asal. Sebelum ia berbelok ke dapur, Erni memanggilnya.
“O iya, yah…”
Alvin menoleh.
“Hm, kayaknya kemarin Bunda minta Ayah ngerapiin rumput yang di samping itu deh Yah. Kok masih berantakan ya?”
“O iyaaa… Ayah lupa Bun”
“Hadeehh.. ya udah sini kopinya Bunda yang bikin”
“Trus Ayah ngapain?”
“Yaaa beresin rumput lah…”
Alvin senyum. Sikap apa adanya Erni itu selalu bikin Alvin senyum. Malah kadang ngakak. Sebelum ia ke pekarangan samping, bibirnya mampir di pipi Erni.
“Iiii… Om Alvin ketauaaann” ledek Ebigeil yang tiba-tiba muncul entah dari mana. Erni nggak menahan senyumnya yang merekah otomatis. Ada kehangatan menjalari pipinya.
“Nah lho… ketawan anak kecil, kaburrr aaahh…”
Ebigeil cekakakan mendapati Om dan Tantenya salah tingkah.

Selesai bikin kopi, Erni ke kamarnya yang ada dilantai atas. Sebelumnya ia menitipkan pesan pada Ebigeil.
“Bigeil, nanti bilangin Om Alvin yaa, kopinya di kamar.”
“Ciyeee Tante, nungguin di kamar niyeee…” ledeknya sambil ngacir. Erni Cuma geleng-geleng kepala melihat keponakannya yang usil.

Di kamar, lamunan Erni kembali menjelma.
Dua puluh tiga tahun sudah berlalu sejak hari pernikahan itu. Pernikahan yang dinanti. Pernikahan yang semewah pesta Cinderella. Pernikahan yang telah berjalan puluhan tahun. Erni belum pernah mendengar kata-kata kasar dari mulut Alvin. Tak ada sikap Alvin yang rasanya perlu dicurigai. Meski kadang ia lembur. Tak ada alasan untuk bersedih. Mereka tak pernah bertengkar. Setiap guncangan yang terasa, segera diredakan dengan sikap bijak. Semua orang memuji keharmonisan rumah tangga mereka. Erni tidak pernah tidak bahagia menjadi pendamping Alvin. Alvin sering memuji kecantikannya, kerajinannya, keuletannya, bahkan apapun yang ada di diri Erni selalu disanjung sekalipun itu sebuah kekurangan. Wanita mana yang sempat bersedih jika bersanding dengan laki-laki seperti ini. Alvin selalu pandai membuat wajah Erni merah tersipu-sipu. Apa sih yang kurang dari rumah tangga mereka?… Nindy memang anak satu-satunya yang tersisa. Sebelum Nindy, Erni pernah hamil tapi keguguran. Setelah Nindy pun Erni sempat hamil, tapi baru seminggu bayi yang dilahirkannya meninggal.
Tak ada yang tak disyukuri Erni. Tapi, entah kenapa Erni selalu merasa ada yang belum lengkap. Dengan semua keindahan yang ia rasakan, dengan semua kebahagiaan yang mengelilinginya, Erni merasa kosong. Ia iri dengan seorang perempuan bernama, Rahma. Wanita sederhana berkulit sawo matang yang agak sedikit gemuk. Sejujurnya Erni iri sekali kepada Rahma. Ia memang tidak memiliki suami setampan Alvin, tidak memiliki suami yang seorang pengusaha, suaminya hanya pegawai swasta biasa. Tapi, setidaknya ia memiliki suami yang dicintai Erni. Dimas.
Erni bukan tidak mencintai Alvin. Ia mencintai Alvin. Ia hanya tidak tau bagaimana cara untuk berhenti memikirkan Dimas.

Semuanya memang sudah berlalu, tapi perasaan itu masih tertanam. Entah kenapa, semakin Erni mencoba melupakan justru kegalauan yang ada. Ia cemburu pada Rahma. Mencemburui segala hal yang ada di dekat Dimas. Puluhan tahun ia berlatih mengatakan “Aku mencintaimu” pada Alvin. Dan puluhan tahun itu pula lah ia gagal. Ia mencintai Alvin sebatas di bibir. Lain dengan ia mencintai Dimas. Dimas yang nggak tau apa-apa tentang Erni mencintainya.
Erni dan Dimas berteman sejak lama. Jauh sebelum ia bertemu Alvin. Dan pertemanannya dengan Dimas yang sejak lama itu membuat ia terpukau dengan segala hal yang Dimas miliki. Segala sesuatu tentang Dimas adalah hal paling menarik yang selalu ingin Erni dengar. Bahkan tentang wanita yang mendampinginya saat ini. Hal yang paling mampu membuat Erni cemburu adalah ketika memikirkan Dimas hidup dengan orang lain. Dimas emang nggak tau apa-apa tentang Erni mencintainya. Tapi Dimas juga pernah mencintai Erni. Dulu. Sebelum ia kuliah dan bertemu Rahma. Satu hal yang menjadi alasan Dimas mencintai Rahma adalah karena ia tidak tau Erni mencintainya. Sedangkan alasan Erni menerima pinangan Alvin adalah karena ia tau bahwa ia hanya seorang sahabat bagi Dimas. Nggak pernah lebih. Untuk apa pula kita harus menunggu seseorang yang mencintai orang lain untuk mencintai kita?, bukankah kita hanya akan membuang-buang waktu?, bukankah kita diciptakan untuk orang yang mencintai kita?… tapi kenapa Dimas tidak diciptakan untuk Erni?…
Ada rasa sakit yang menggores tiap-tiap bagian di hati Erni, ketika kenangan itu melintas. Rasa sakit yang entah mengapa tak pernah bisa disembuhkan oleh segala kebahagiaan yang mengelilinginya. Bahkan dengan fakta bahwa Alvin seribu kali lebih baik dari Dimas. Dan hal itu selalu membuat Erni meluruhkan air mata.
Bukan. Bukan karena ia tidak dapat memiliki Dimas. Air mata itu luruh untuk Alvin. Untuk ketulusan Alvin yang sulit ia balas. Untuk cinta dan kasih sayang Alvin yang belum ia kembalikan. Juga untuk segala kepalsuan dan kepura-puraannya mencintai Alvin. Bahkan mencintai Nindy itu jauh lebih mudah dari mencintai Alvin. Erni tak pernah berharap Alvin akan tau hal ini.
Berjodoh dengan orang yang kita cintai itu suatu kebetulan. Tapi, mencintai jodoh yang telah ditakdirkan untuk kita adalah kewajiban.
Erni membuka kembali lembaran lamanya yang ia simpan di antara rak bukunya. Itu adalah tempat paling aman, karena Alvin bukan tipe orang yang suka baca-baca novel sambil santai. Diary biru lusuhnya itu, akan aman bukan?, ketimbang diletakkan di tempat tersembunyi yang barangkali Alvin temukan.
Ia sudah lama tidak membuka buku itu lagi. Sebuah buku biru sederhana yang menyimpan segala kenangan Erni tentang Dimas. Saat sahabat adalah orang yang paling ia cintai. Segala hal tentang Dimas. Segala hal. Foto, tulisan, juga surat. Surat yang pernah ditulis tapi tidak pernah dibaca. Surat yang Erni tulis untuk Dimas di malam terakhirnya melepas masa lajang. Membaca surat itu lagi, seperti menguak luka yang belum sempat mengering.
Dalam surat itu tertulis,

Untuk Dimas
Dari Erni Sekar Ayu
Nggak nyangka yah, kita udah temenan belasan tahun. Sekarang kita sama-sama udah dewasa. Aku tau ini bodoh, mungkin ini hal terbodoh yang aku lakuin di mata kamu. Yaitu, mengatakan bahwa aku mencintai kamu. Aku tau kamu nggak mungkin percaya, apalagi merasa seperti yang aku rasakan. Aku juga nggak butuh jawaban. Karena, aku udah tau jawabannya. Aku Cuma pingin kamu tau, bahwa kadang aku merasa menjadi teman buat kamu, kadang lebih, kadang bukan siapa-siapa.
Sekarang aku menikah. Suatu saat kamu juga akan menikah, entah itu dengan Rahma atau siapapun. Tapi perlu kamu ingat, dengan siapapun aku menikah, aku tetap mencintai kamu. Dengan siapapun kamu menikah, selama wanita itu baik dan nggak menyakiti kamu, aku akan bahagia.
Maaf aku nggak bisa nulis kata-kata romantis buat kamu, aku Cuma berusaha menyampaikan maksud aku dengan sederhana. Karena aku mencintaimu dengan sederhana, seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Karena aku mencintaimu dengan sederhana, seperti isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya mendung. Begitulah aku mencintaimu. Tanpa tau kapan dan mengapa. Begitulah aku mencintaimu… karena aku tak tau cara lainnya.

Untuk yang kesekian kalinya, Erni menangis.
Tok, tok…
“Bunda… Bunda…” suara serak Nindy menembus daun pintu yang tertutup. Erni secepat kilat menyeka air matanya dan membuka pintu. Disana ia menemukan wajah anaknya yang berseri. Wajah wanita yang berseri karena akan menikah dengan laki-laki yang dicintainya.
“Bun.. itu di bawah ada temen Bunda yang dari Tangerang”
“Siapa?”
“Itu lhoo Bun.. yang cantik. Yang kata Bunda punya kafe coffee itu…”
“Mbak Atikah?”
“Iya Bun. Tante Tikah… Sama cucu-cucunya cantik banget.”
“O ya?”

Erni langsung mengekor Nindy menuruni anak tangga. Atikah itu figure idola bagi Erni. Sosok paling menyenangkan. Ia kadang menjelma jadi peri curhat kalau Erni lagi penat. Juga tempat Erni curhat tentang Dimas tentunya.
Mereka langsung cipika-cipiki. Erni nggak nyangka Atikah bakalan datang. Keluarga Erni juga menyambut Atikah dengan antusias. Alvin yang baru selesai beresin rumput juga ikut nimbrung.
“Waahhh apa kabar nih, keluarga jauh?” Tanya Alvin yang tiba-tiba muncul dengan celana digulung dan tangan yang penuh tanah.
“Iii Ayah, cuci tangan dulu kek..” protes Nindy.
“Iya, iya… Waahh, Mas Andre nih pasukannya makin banyak aja” komentar Alvin sebelum menghilang dari kerumunan. Ia segera ke atas untuk ganti baju.

Beberapa menit kemudian Alvin balik lagi dengan dua kaleng biskuit. Bertemu keluarga Atikah adalah sesuatu yang menyenangkan. Anaknya yang paling besar sudah memberikan dua cucu yang lucu-lucu.
“iya nih bentar lagi juga kita nyusul kok… jadi kakek-nenek” ucap Alvin sambil merangkul Erni yang duduk di sebelahnya. Erni sempat menatap mata Alvin yang menatapnya dengan pandangan kosong. Entah kenapa saat itu waktu seolah berhenti. Seketika suasana terasa hening, bagi Erni. Alvin mendekatkan wajahnya ke wajah Erni. Tapi Erni segera menunduk. Erni agak risih dengan itu, karena banyak anak kecil. Tapi ia segera menikmati obrolan demi obrolan yang memancing tawa. Di mata Erni, Atikah adalah wanita paling beruntung yang pernah ia kenal. Di usianya yang hampir lima puluh ini, ia masih cantik. Dan tentu ia menikah dengan laki-laki yang mencintai dan dicintainya.
Uups, tiba-tiba saja Erni teringat suratnya yang belum sempat ia bereskan.
“Aku tinggal ke atas dulu sebentar ya Mbak Tikah…”
“Oh iya, silahkan…”

Erni menaiki tangga dengan langkah tergesa. Di kamar ia tidak menemukan bukunya. Ia berharap ia lupa bahwa buku itu sudah ia letakkan di tempat semula. Erni mencari buku itu di rak.
Tapi.. gawat!,
Buku itu tidak di tempatnya.
Erni membalikkan selimut, menengok kolong kasur, membuka-buka laci… dan buku itu,
“Cari ini ya?”… di tangan Alvin.
Erni bisa merasakan desir darahnya yang tiba-tiba seolah berhenti. Ia merutukki kecerobohannya.

Alvin menghampiri Erni yang terduduk lesu di ujung ranjang. Alvin menjajarinya dan mengembalikan buku itu pada Erni.
“Ini kan yang kamu cari?” Tanya Alvin yang lebih mirip halilintar di telinga Erni.
“Aku… Maaf…” Erni bingung harus berkata apa selain kalimat itu.

Alvin diam. Erni membisu. Untuk beberapa saat, sunyi mengambang di ruangan itu. Erni mencoba melihat wajah Alvin yang tertunduk dengan tatapan hampa menekuri lantai. Tidak ada tanda-tanda kemarahan atau emosi yang meledak disana. Yang ada hanya seraut wajah penuh kecewa yang membias natural. Erni tau, ia telah melakukan satu kesalahan besar. Dan air mata itu meluruh lagi. Tiba-tiba saja Erni merasa tak ingin berada dalam suasana itu. Ia pun beranjak ketika suara Alvin menahannya.
“Bagaimana kamu merahasiakan hal ini selama lebih dari dua puluh tahun?”
Erni membalikkan badan dan tersungkur di lutut Alvin dengan tangis yang semakin deras. Alvin meraih bahunya. Membimbing Erni duduk menjajarinya. Erni menutup wajahnya dengan dua telapak tangan yang terasa dingin.

“Aku minta maaf… aku minta maaf…” Suara Erni terdengar parau.
Alvin menatap wanita yang telah ia nikahi dua puluh tiga tahun silam dengan tatapan tajam yang hampa.

“Kamu nggak perlu minta maaf… itu bukan suatu kesalahan. Itu hal yang wajar. Hal itu bisa terjadi kepada siapapun. Aku hanya heran… Bagaimana pernikahan kita bisa berjalan dua puluh tiga tahun tanpa kita sama-sama saling mencintai, bagaimana kita bisa tidak tau bahwa kita sama-sama tidak saling mencintai, selama dua puluh tiga tahun… kenapa kamu harus pura-pura mencintaiku? Bagaimana selama itu pula, kita sama-sama menyimpan rahasia yang sama…”
Erni terkejut. Tanpa kita sama-sama saling mencintai? sama-sama menyimpan rahasia yang sama?… kalimat itu rasanya perlu digaris bawahi.

“Maksud kamu?”
“Aku rasa tanpa diperjelas pun sebenarnya kamu paham…”
“Maksud kamu… kamu…?”
Alvin tidak menjawab. Ia hanya menyerahkan Lenovo A390 silvernya dan segera menuju balkon.
Erni menatap rangkaian nomor yang berjajar di inbox message-nya. Membukanya satu persatu.

Bagaimana persiapannya besok?
Ya, sudah 99 persen lah…
Lalu, kamu sudah bicara pada istrimu?
Tentang?
Tentang rencana pernikahan kita.
Nantilah, kalau pernikahan anakku sudah beres
Tapi kamu serius kan dengan tawaranmu?
Ya, aku serius. Dari dulu pun aku serius. Kamunya aja yang ninggalin aku.
Iya, iya, maaf ya sayang… aku khilaf. Dan aku janji, itu nggak bakal terjadi dua kali.
Sekarang kamu tau kan, seberapa besar cintaku ke kamu.
Iya sayang. Apalagi kalo kamu mau menceraikan istrimu. Aku tambah yakin.
Ya, itu kita liat nanti aja. Kalau dia siap dimadu, aku rasa nggak masalah. Tapi kalau nggak siap, ya sudah… selesai masalahnya.
Air mata Erni semakin deras. Apakah benar, Alvin akan menceraikannya?. siapakah wanita ini?, sanggupkah ia menghadapi ini?…
Ada keperihan menggores perasaannya. Rasanya ia sudah tak tahan untuk membaca pesan-pesan lainnya. Ini sudah cukup membuatnya layak menjadi pasien rumah sakit jiwa.
Erni tak mampu lagi menerjemahkan gejolak di hatinya. Ia mungkin memang tidak mencintai Alvin, tapi ia tak pernah membayangkan akan berpisah dengan Alvin. Bagaimana jika, Alvin benar-benar…
Erni lemas. Ternyata percuma. Percuma ia berusaha mencintai orang yang tak pernah berusaha mencintainya, bahkan justru akan meninggalkannya.
“Nuriza invertil. Laki-laki yang dulu membuat dia ninggalin aku, justru balik ninggalin dia karena invertil. Bagaimana aku bisa melihat wanita yang kucintai disia-siakan seperti itu… padahal aku sangat ingin menghabiskan sisa hidupku bersama wanita itu.”
Kalimat Alvin barusan benar-benar seperti pedang yang mampu mematikan Erni dengan sekali tebas. Entah bagaimana, hatinya menyesal telah mencintai Dimas. Dan yang lebih ia sesali adalah ia harus berhadapan dengan kenyataan, bahwa selama ini ia hidup dengan laki-laki yang tidak menginginkannya. Dua puluh tiga tahun bukan waktu yang sebentar.
Bagaimana aku bisa melihat wanita yang kucintai disia-siakan seperti itu?… padahal aku sangat ingin menghabiskan sisa hidupku bersama wanita itu.
Kalimat itu menggema di telinga Erni. Kalimat yang membuatnya ingin melompat dari gedung bertingkat delapan belas. Kalimat yang membuatnya berpikir bahwa sebuah pisau di perutnya cukup untuk menghilangkan rasa sakit ini.
Dan saat itu, rasanya ingin sekali Erni memeluk laki-laki yang telah menikahinya selama dua puluh tiga tahun, lalu mengatakan bahwa “Aku mencintaimu sayang… Sungguh aku benar-benar jatuh cinta padamu saat ini dan selamanya…”.
Tapi percuma. Toh, ia hanya akan mendapat selembar surat gugatan perceraian.
“Besok Nindy nikah… Aku nggak mau dia tau apa-apa tentang orangtuanya yang tidak saling mencintai… Kita bahas ini nanti” kalimat terakhir Erni sebelum akhirnya keluar dari kamar.

Alvin masih mematung di balkon. Menatap malam yang semakin larut. Ia memang masih mencintai Nuriza selama puluhan tahun. Sama seperti yang dirasakan Erni pada Dimas.
Pandangan Alvin menyapu ruangan yang kini kosong. Hanya ada isak tangis Erni yang masih lekat di telinganya. Tangis yang sebenarnya ingin ia redakan. Tangis yang membuat ia merutuk, entah pada siapa, entah untuk apa…
Di bawah, Erni mengetuk kamar Nindy. Ia menemukan anaknya berbaring santai di antara dua wanita gemuk yang mengolesi lulur ke seluruh tubuhnya.
“Bunda?… Bunda kenapa nangis?”
“Nggak apa-apa sayang… Bunda terharu.”
“Terharu?, Karena besok Nindy nikah?”
Erni mengangguk.

Dua wanita gemuk itu pamit.
“Oh iya, mbak… Mbak Atikah tadi sudah dikasih tau kamarnya?”
“Sudah, Bu”
Erni menghampiri Nindy yang masih memakai kemben. Lalu memeluknya dan terisak disana.
“Bunda… makasih ya udah merawat Nindy. Nindy berutang banyak sama Ayah dan Bunda…”
Air mata Erni semakin deras. Nindy mengeratkan pelukkannya.
“Bunda nggak usah sedih… meskipun Nindy udah nikah, Nindy tetap anak Bunda sama Ayah. Nindy juga pingin menikmati masa tua berdua dengan Axcell, seperti Bunda mengahabiskan waktu bersama Ayah”
Erni memeluk Nindy lebih erat. Seolah ingin berbisik… “Setelah kamu nikah, Bunda nggak punya siapa-siapa lagi, sayang… kamu harus mencintai suami kamu dengan tulus. Semoga kamu bahagia Nak, dengan laki-laki yang kamu cintai… kebahagiaan kamu adalah kebahagiaan Bunda, begitu juga kebahagiaan Ayah adalah kebahagiaan Bunda. Meski Bunda harus kehilangan kalian dalam waktu yang bersamaan…”
Erni tau, sebentar lagi ia akan kehilangan segalanya dalam waktu yang nyaris berbarengan. Dia sudah pernah kehilangan orang yang dicintainya. Dan saat ini ia akan mengalaminya lagi. Bahkan lebih berat. Jika ia butuh waktu puluhan tahun untuk bisa melupakan Dimas, berapa tahunkah ia mampu merelakan Alvin?…

Satu hal yang baru ia sadari, bahwa ia mencintai Alvin jauh dibanding cintanya kepada Dimas. Dan ketika cinta itu datang menyerbu kisi-kisi batinnya, ia justru harus siap mengahadapi kehilangan yang menyakitkan itu lagi…
Andai tuhan ingin menyabut nyawa sesorang pada malam ini, Erni bersedia nyawanya ditukar dengan orang itu…
Sungguh tuhan…
Ia tak pernah merasa selemah ini sebelumnya.

Pagi itu pun tiba…
Pagi dimana kebahagiaan menyeruak dalam hati dua insan yang siap menjadi satu dalam sebuah ikatan agung nan suci.
Mata Erni sedikit membengkak, sebab menangis semalam suntuk. Erni duduk berdampingan dengan Alvin. Tapi keduanya tak ada yang mencoba mencairkan suasana. Mereka larut dalam hening dan pikiran mereka sendiri.
“Erni… mata lo bengkak. Kenapa?” Tanya Priscill, adiknya Erni yang bungsu.
“Itu Tante, Bunda semalem nangis di kamar Nindy.” Ucap Nindy pelan. Tapi cukup jelas terdengar oleh Erni juga Alvin.
“Napa Ndy?”
“Bunda sedih katanya. Terharu Nindy udah gede. Cantik lagi. Kaya Bunda…” jawab Nindy bercanda.
“Yeee ngapain sedih. Kan enak si Nindy nikah, jadi bisa berduaan mulu gitu… Ahaydah” ledek Priscill sambil menyikut lengan Erni.
“Iiii Tante Priscill…”
Erni senyum. Tapi di sudut matanya, air itu jatuh lagi. Erni cepat-cepat ke belakang sebelum ada yang tau. Ia ke kamar. Air matanya jatuh tanpa bisa dicegah. Make up-nya luntur. Ia tidak peduli dengan brukatnya yang mulai berantakan.
Kan enak si Nindy nikah, jadi bisa berduaan mulu gitu… ahaydah.
Kalimat Priscill menggema di telinganya berselingan dengan kalimat Alvin
Bagaimana aku bisa melihat wanita yang ku cintai disia-siakan?… padahal aku sangat ingin menghabiskan sisa hidupku bersama wanita itu.
Nindy juga pingin menikmati masa tua berdua dengan Axcell, seperti Bunda mengahabiskan waktu bersama Ayah…
Semua kalimat itu bersahut-sahutan di benak Erni. Ia menelungkupkan tangan ke wajahnya. Berharap ini hanya mimpi dan berakhir ketika ia membuka matanya. Ada tangan halus yang menyentuh jemarinya, lalu menggenggamnya erat-erat. Entah ilusi atau bukan, tapi Erni terlalu takut untuk menegaskannya. Ia khawatir bahwa ini hanya ilusi yang akan hilang saat ia membuka mata. Tapi jauh di lubuk hatinya, harapannya amat besar bahwa ini adalah sebuah kenyataan yang diharapkannya.
Ia membuka matanya pelan-pelan, ada wajah yang amat ia cintai disana. Wajah yang mungkin akan hilang dari hari-harinya sebentar lagi. Ia tak sanggup membalas tatapan itu. Tatapan yang bisa jadi akan menjadi tatapan terakhir yang pernah ia lihat.
Tapi jari-jari itu menyentuh pipinya dengan lembut. Jari-jari itu memaksa Erni mengangkat wajahnya dan membawa mata Erni untuk menatap mata itu. Selama sedetik mereka bertatapan. Pada detik berikutnya, tangis Erni meluruh di pelukkannya. Alvin menyambut tubuh Erni. Di peluknya wanita itu erat-erat. Sangat erat.
“Kamu nggak perlu nangis seperti ini, sayang… kita akan terus bersama-sama. Maafin aku… aku nggak akan pernah ninggalin kamu, aku cinta kamu, sayang… aku akan membuat kamu mencintaiku… aku akan melakukan apapun untuk membuat kamu mencintaiku… aku minta maaf untuk kepura-puraanku sepanjang usia pernikahan kita, tapi saat ini, aku mencintaimu. Aku jatuh cinta padamu, saat ini Erni. Bahkan seribu kali lebih hebat dari malam pernikahan kita. Aku ingin kita memperbaiki ini, sayang… dan kita akan melihat cucu-cucu kita tumbuh bersama-sama… maafin aku sayang..” ucap Alvin bertubi-tubi menghujani Erni dengan kata-kata cinta. Ia tau, ia tidak pernah bisa melihat wanita yang dicintainya disia-siakan oleh siapapun. Dan wanita itu adalah Erni.
Erni menatap Alvin dalam-dalam. Ada sesuatu yang hangat membanjiri jiwanya ketika tatapan mereka bertemu.
“Kamu sudah membuat aku jatuh cinta, sayang…”
“O ya?, kapan?”
“Semalam.” Jawab Erni sambil menyunggingkan senyum. Alvin mengulum senyum itu. Terasa begitu manis. Erni larut dalam suasana cinta yang tiba-tiba menyeruak.
Tok, tok…
“Permisi Pak, Bu… penghulunya sudah datang” kata seseorang di balik pintu.
Alvin menarik bibirnya dari bibir Erni. Senyum mereka mengembang.
Erni merapikan make up-nya yang luntur. Lalu ia menggamit lengan Alvin.
“Apa kita akan menikah lagi?” bisik Erni manja.
“Nggak perlu. Tapi kita akan bulan madu lagi…”

“Saya nikahkan Nindy Ramdhani binti Alvin Zairi dengan Axcell Dimitri bin Dandy Ferdinand dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan emas seberat 25,76 gram dibayar tunai.”
“Saya terima nikahnya Nindy Ramdhani binti Alvin Zairi dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan emas seberat 25,76 gram dibayar tunai”
“Sah?”
“Alhamdullillah, sah…”

Tamu-tamu menyalami pengantin juga orangtua mereka. Erni melihat Dimas dan Rahma di antrian tamu. Ia teringat Nuriza.
“Sayang, Nuriza jadi dateng gak?” bisiknya pelan di telinga Alvin
“Nggak tau. Tuh Dimas dateng.” Sindir Alvin. Erni cemberut.
“Aku udah jatuh cinta sama kamu, sayang…”
Alvin senyum.
“Waahh… ada yang bakalan jadi nenek nih. Ahaha, Mas Alvin sabar ya, ngadepin nenek-nenek bawel begini” ledek Dimas santai ketika berjajar di antrian tamu untuk menyalami pengantin, tanpa tau bahwa ia hampir menyebabkan Erni dan Alvin cerai.
“Biarin nenek-nenek, yang penting cantik!” balas Erni.
“Digh, mana ada nenek-nenek cantik, dimana-mana nenek-nenek itu peyot.”
“Yee, Papa lupa ya? nanti kan istrinya juga jadi nenek kalo si Yuna udah nikah. Kayak nggak bakal jadi kakek-kakek aja.” Omel Rahma.
Dimas manggut-manggut. Sambil berbisik di telinga Alvin,
“Dasar nenek-nenek gak dimana-mana, sama aja. Bawel.”
Alvin Cuma ketawa. Setelah Dimas dan Rahma lewat, ia berbisik di telinga Erni,
“Ciyeee yang abis diledekkiin…”
Erni melotot. “Awas ya, nanti malem.”
Akhirnya mereka lupa dengan kejadian tadi malam. Yang mereka ingat hanya bahwa hari ini adalah hari dimana hati mereka dijatuhi cinta.


Wanita yang janji akan datang juga tak luput dari acara ini. Nuriza yang tidak tau tentang Alvin dan Erni, sudah siap-siap. Selain siap-siap menghadiri acara pernikahan Nindy, ia juga bersiap-siap menjadi Ibu baru bagi Nindy. Ia sudah akan berangkat jika taksi pesanannya sudah datang.
Sebuah mobil tiba-tiba berhenti di halaman rumahnya. Mobil itu bukan taksi. Itu APV Arena silver. Nuriza menunggu seseorang keluar dari dalam. Dan ia menemukan sosok yang sudah lama ingin ia temui.
Fahmy.
Entah mengapa ia datang hari itu.
“Ada perlu apa?” Tanya Nuriza terdengar dingin.
“Nggak ada perlu apa-apa. Aku Cuma mau minta ke kamu, supaya kita menikah lagi.”
Nuriza terkejut. Tapi rasanya ia tak perlu penjelasan apa-apa untuk hal itu. Kehadiran Fahmy di hadapannya saat ini sudah cukup menjelaskan bahwa laki-laki itu tidak akan mengulangi kesalahannya lagi dengan meninggalkan Nuriza. Dan permintaannya adalah suatu kejelasan bahwa ia telah siap dengan segala kekurangan Nuriza. Ia segera melebur tangis di pelukkannya. Fahmy menyambut tubuh Nuriza dengan haru. Ia tidak tau harus dengan cara apa berterima kasih pada kesediaan Nuriza memaafkannya setelah sepuluh tahun Fahmy meninggalkannya.
Bagi Nuriza, tak ada yang salah. Mereka hanya butuh waktu untuk mengerti bahwa mereka saling membutuhkan. Semuanya hanya masalah waktu.
“Dua puluh tiga tahun kita membangun rumah tangga tanpa saling mencintai… entah berapa ribu tahun yang cukup untuk kita membangun rumah tangga dengan saling mencintai…” Alvin menggenggam tangan Erni dan mengecupnya.
Begitulah… usia memang hanya sebuah angka jika cinta menemukanmu…


~ TAMAT ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar