Selasa, 22 Desember 2015

AKHIRNYA CINTA ITU BERBALAS

“Na, bukannya itu kecengan kamu?”
Kalimat itu terlontar begitu saja dari mulut Lauren saat gadis itu menatap ke luar jendela kelas ku. Sontak aku menoleh padanya dan memelototinya.
“Jangan keras-keras!” tegur ku, “Kamu bikin malu tahu!”
“Santai aja sih, Na. Toh di kelas ini nggak ada banyak orang,” jawabnya santai.
“Gimana bisa santai kalau kamu ngomongnya sekeras itu!” balas ku kesal, “Kalau dia denger gimana?”
“Astaga, Ariana! Kamu tahu kelas ini ada di lantai berapa? Lagi pula jendelanya kan tertutup, jadi suara ku nggak akan terdengar sampai ke luar”
Ada benarnya juga apa yang Lauren katakan. Kelas ku berada di lantai tujuh dan tentu saja, di dalam ruang kelas dengan jendela-jendela yang tertutup suara nyaring Lauren tak akan terdengar sampai ke luar. Anak itu tak akan bisa mendengarnya.
“Itu coach Deva, kan?” tanya Ferdi.
“Benar juga. Coach tim basket mu kan, Fer?” sambung Kevin.
Emosi ku mulai naik mendengar dua orang sahabat itu membicarakan orang yang sama dengan yang dibicarakan oleh ku dan Lauren.
“Hey, kalian cowok berdua! Nggak usah ikut nimbrung deh!” tegur ku.
“Nimbrung? Siapa yang nimbrung? Itu coach tim basket ku,” sanggah Ferdi sembari membetulkan posisi kacamatanya.
“Ya, benar!” tambah Kevin, “Lagi pula kita nggak peduli dengan urusan percintaan—”
“Nggak usah diperjelas ya,” potong ku.
Bocah dengan Beats berwarna putih yang menggantung di lehernya itu terkikik pelan, sementara Ferdi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sembari mengelus dadanya.
“Astgafirullohaladzim,” ujar Ferdi dengan gaya bicaranya saat menjadi mentor di acara pengajian Jumat malam yang diadakan oleh DKM masjid kampus ku, “Akhwat kok galak banget”
Aku menghela napas panjang, meredakan kekesalan ku. Astaga, mengapa aku jadi begitu emosional setiap kali aku melihat atau mendengar sosok itu disebut?
“Na, mendingan kamu cepat ke studio sekarang,” tegur Lauren, “Lihat, sudah jam satu lebih lima belas. Kamu mau terlambat siaran?”
Aku melirik jam dinding di kelas ku. Jarum panjang menunjuk tepat ke arah jam tiga, sementara jarum pendek berhenti di angka satu. Sial! Aku harus segera berangkat atau aku akan terlambat dan dimarahi program director ku.
“Ah, aku harus pergi sekarang!” ujar ku seraya membereskan buku-buku ke dalam tas ku, “Dan kalian, jangan lupa request. Ingat, request!”
“White Shoes And The Couples Company!” seru Kevin, “Senandung Maaf”
“Oke! Request tersimpan!” jawabku.
Aku berlari ke luar kelas dan sesaat sebelum aku mencapai ujung koridor, aku segera berlari kembali ke kelas ku. Orang-orang yang berada di kelas terkejut dengan kembalinya aku yang begitu tiba-tiba.
“Ada apa?” tanya Lauren.
“Jangan ada yang bahas tentang Deva!” tegas ku.
“Ge er!” celetuk Ferdi, “Sudah, mendingan kamu cepat berangkat”
“Ya. Aku tunggu lagu request ku diputar nih!” tambah Kevin.
Setelah yakin bahwa nama Deva tak akan beredar di percakapan orang-orang yang tersisa di kelas, aku pun segera berangkat menuju stasiun radio tempat ku bekerja. Astaga, ini baru pukul satu namun jalanan telah ramai oleh kendaraan-kendaraan yang berseliweran di jalan raya. Semoga saja aku tak terjebak di kemacetan yang biasa ku temui di jalan Cihampelas.
“Ya, sekarang saatnya Ariana bacakan request berikutnya. Request berikutnya datang dari Kevin di kelas. Kelas yang mana ya? Kevin ingin request lagu Senandung Maaf dari White Shoes And The Couples Company. Pesannya, semangat untuk announcer yang sedang bertugas. Semoga—”
Aku menghentikkan kalimat ku saat aku membaca kata-kata yang muncul berikutnya.
“Semoga tetap semangat. Ya, terima kasih Kevin untuk request-nya!”
Aku terpaksa mengubah pesan itu lalu kembali membacakan request-request yang masuk sembari mencoba meredakan kekesalan ku. Sial! Beraninya anak itu menyebut nama Deva di pesan request-nya. Lihat saja apa yang akan ku lakukan terhadapnya besok di kelas.
“Ya, satu lagu dari White Shoes And The Couples Company, Senandung Maaf. Selamat mendengarkan”
Ku putar lagu bernuansa tahun delapan puluhan itu lalu ku sandarkan tubuh ku pada kursi sembari mengatur napas ku. Anak itu membuat ku kewalahan. Jika saja aku benar-benar membacakan pesannya, apa yang para pendengar ku akan pikirkan tentang ku? Ku ambil ponsel ku di atas meja dan segera ku ketikkan pesan singkat untuk teman sekelas ku itu.
“Kevin! Apa-apaan kamu sebut nama Deva di request kamu?!”
Tak lama kemudian, ku terima pesan balasan dari Kevin.
“Hahahaha! Habis kamu ngelarang kita untuk bahas Deva di kelas, jadi kita sepakat untuk bahas Deva di pesan request”
Aku meringis kesal. Di satu sisi, teman-teman ku memang cerdik. Aku baru menyadari ucapan ku dan aku merasa tak berdaya dengan kecerdikan mereka. Di sisi lain, kecerdikan mereka membawa bencana bagi ku. Harusnya ku suruh mereka untuk tak membahas Deva di manapun.
“Mbak Ariana, mau Starbucks?” tanya Agung, operator yang hari ini bertugas menemani ku.
“Boleh. Seperti biasa ya, Gung,” jawab ku, “Nanti bill-nya biar saya yang bayar aja”
“Jadi hari ini Agung ditraktir mbak Ariana nih?” tanya Agung antusias.
“Ya. Hari ini saya yang traktir,” jawab ku seraya tersenyum.
“Terima kasih banyak, mbak! Agung balik lagi secepatnya!” ujarnya riang.
Operator muda itu pun meninggalkan ruang siaran dan ku lihat melalui tembok kaca, ia berlari ke luar lobi dan bergegas menuju lift. Aku tertawa kecil melihat tingkahnya. Ku alihkan pandangan ku ke luar jendela, menatap pemandangan kota dari ketinggian empat belas lantai. Sengatan matahari yang ganas tak menghentikan langkah-langkah kaki orang-orang dan deru kuda-kuda besi yang dari waktu ke waktu nampak semakin gagah.
Petang menjelang dan aku menapaki trotoar yang rimbun. Gedung Bank Indonesia berdiri megah di sisi selatan. Di timurnya, di seberang jalan, ku lihat menara Santo Petrus tak ingin melewatkan perpisahannya dengan matahari senja. Aku tiba di persimpangan dan dengan hati-hati menyeberangi jalanan yang mengerikan ini. Dalam hati aku mengumpat, mengutuk para pengendara mobil dan motor yang seolah-olah tak ingin sedetik pun membiarkan ku meletakkan telapak kaki ku di permukaan aspal jalan ini.
“Jembatan penyeberangan justru tak aman,” pikir ku.
Aku tak berani menyeberang melalui jembatan penyeberangan sejak ku dengar kasus penodongan yang terjadi pada salah seorang teman ku di salah satu jembatan penyeberangan di kota ini. Setelah tiba di seberang jalan, aku berjalan ke arah katedral Santo Petrus. Saat itu, di bawah sapuan cahaya senja, ku lihat seorang pria berjalan ke arah yang berlawanan dengan ku. Langkahnya gontai, kepala tertunduk, dan headset yang menempel di telinganya. Jaket kulit hitam melindungi tubuhnya dan tasnya yang nampak lusuh tergantung di bahu kanannya. Aku terdiam sejenak menatap sosok tersebut berjalan ke arah ku. Ia menaikkan dagunya dan matanya menangkap ku tepat di mata ku. Kami saling menatap untuk beberapa detik sebelum kata-kata terlontar ke luar dari mulut ku.
“Hai, Deva. Apa kabar?”
Deva tak menyunggingkan sebuah senyum sama sekali. Ia hanya menatap ku, menundukkan kepalanya dan kembali berjalan. Ia berjalan melewati ku begitu saja, membuat ku tercengang. Apa ada yang salah dengan ucapan ku? Aku berbalik dan melihatnya berbelok. Dengan dinginnya ia melewati ku begitu saja. Astaga, pria macam apa ia? Dan mengapa aku bisa menyukainya?
Bocah itu mengaduk isi mangkuknya. Aroma bumbu berempah seketika menyerbak.
“Makan mie ayam nggak pake saus sambal itu kayak buat cokelat panas tanpa gula,” celetuk Ferdi.
“Loh, memangnya salah?” tanya Lauren.
“Jelas salah!” jawab Ferdi, “Kamu mau minum cokelat panas yang pait?”
“Ini udah masuk era globalisasi! Artificial sweetener udah beredar!” tukas Lauren.
“Lagipula minum cokelat panas pahit enak juga kok,” sambung Kevin.
“Setiap minuman punya seninya masing-masing,” tambah ku.
“Aduh, ampun deh kalau pakar kopi yang ngomong. Aku nyerah,” ujar Ferdi terpojokkan.
Bocah yang bahkan masih mengenakkan jersey tim basketnya itu mulai menyumpit mie ayam yang ia pesan. Aku, Kevin, dan Lauren pun mulai menikmati sajian makan siang kami.
“Tumben banget latihan mu sudah selesai jam setengah dua belas,” ujar Kevin.
“Ya. Coach De..”
Ferdi mengerem ucapannya lalu melirik ku.
“Coach bilang d-dia harus pergi,” ujar Ferdi, sedikit terbata-bata.
“Pergi? Kemana?” tanya ku.
“Entahlah. Mungkin ia harus bekerja,” jawab Ferdi.
“Bekerja?”
“Memangnya kamu nggak tahu? Coach selama ini punya kerja sampingan. Malam hari coach bantu kerja di kedai punya Neneknya di dekat stasiun kereta”
Aku mengernyitkan dahi ku.
“Na, kamu nggak tahu tentang hal itu?” tanya Lauren.
“Kalau kamu nggak tahu berarti kamu nggak lulus buat jadi kecengannya tuh,” sindir Kevin.
“Kev, ini bukan waktunya bercanda ya,” tegur ku.
“Ferdi bilang kalau Deva kerja di kedai punya Neneknya di dekat stasiun kereta. Apa itu artinya dia tinggal di sekitar situ?” tanya Lauren.
“Entahlah,” jawab Ferdi, “Tapi yang pernah ku dengar sih coach seringkali bertengkar dengan Neneknya. Kemungkinan besar coach nggak akrab dengan Neneknya”
“Lantas, kemana orangtuanya?” tanyaku.
“Mereka tinggal di luar kota. Coach sejak SMP sudah tinggal dengan Neneknya,” jawab Ferdi.
Aku tertegun sejenak. Ucapan Kevin tiba-tiba menelusup pikiran ku. Selama ini aku diam-diam mengaguminya, namun aku bahkan tak tahu banyak tentang sosok yang ku kagumi.
“Sejak kapan coach Deva punya kerja sampingan?” tanya Kevin.
“Entahlah, sudah cukup lama sih,” jawab Ferdi, “Tapi coach memang nampaknya pekerja keras. Maksud ku, setelah beres latihan ia pasti ada kerjaan. Coach juga sempat ngajar les untuk anak-anak SMP”
Mendengar penuturan Ferdi, rasa kagum ku pada Deva semakin besar. Di saat yang bersama, rasa ingin tahu ku tentangnya semakin besar pula. Aku benar-benar ingin mengenalnya lebih dalam, mengetahui apa yang selama ini tak ku ketahui darinya. Sikapnya yang dingin justru membuat ku semakin tertarik untuk bisa lebih dekat dengannya.

****
Setengah berlari aku menuju lift dari lobi menara ini. Ah, syukurlah hari ini aku tak terlambat lagi. Ku harap Agung telah menyiapkan segelas Frappucino untuk ku karena siaran hari ini nampaknya akan cukup melelahkan. Sembari menunggu lift tiba, aku menggunakan ponsel ku untuk melihat berita-berita terbaru melalui akun Twitter-ku. Tiga orang ikut mengantre lift dengan ku: seorang wanita karir berusia paruh baya dengan penampilan yang begitu berkelas, seorang pria keturunan asing berusia sekitar empat puluh tahunan, dan seorang pengantar pizza dengan mulut topinya yang membayangi wajahnya. Saat pintu lift terbuka, aku dan tiga orang itu segera memasuki lift. Ku tekan tombol angka empat belas.
“Lauren emang pelupa,” gumamku saat ku baca tweet Lauren mengenai buku catatan mata kuliah Literary Theories-nya yang tertinggal di kelas.
Pria asing itu berhenti di lantai empat, dan wanita itu berhenti di lantai enam. Kini hanya tinggal aku dan pria pengantar pizza yang ada di lift ini. Aroma keju menyerbak dan itu membuat ku merasa lapar lagi.
“Ah, aku jadi lapar,” gumam ku.
Kehilangan konsentrasi ku, aku menjatuhkan buku dan iPad-ku. Aku terkejut dan segera berjongkok untuk mengambil buku dan iPad-ku, dan di saat yang sama pria pengantar pizza itu membantu ku. Saat ia memberikan buku ku, aku melihat wajahnya.
“Astaga! Deva?!”
Aku terkejut. Bagaimana bisa aku bertemu dengannya di kapsul besi berukuran satu setengah kali satu setengah kali tiga meter ini?
“Buku mu,” ujarnya dingin.
“Thanks,” jawab ku seraya menerima buku tersebut.
Aku kembali berdiri sambil, kali ini, memegang erat buku dan iPad-ku agar jangan sampai aku melakukan hal bodoh lagi di hadapan orang yang ku sukai.
“Kamu kerja part-time di Domino?” tanyaku.
“Ya,” jawabnya singkat.
“Pizza itu.. Siapa yang pesan?” tanyaku, “Orang dari radio ku ya?”
“Bukan urusan kamu,” jawabnya.
Aku tercengang untuk yang kedua kalinya dalam minggu ini karena sosok pria dingin ini. Sial! Mengapa ia bersikap begitu dingin pada ku?
“Kenapa cara kamu ngejawab dingin banget?” tanya ku mulai kesal.
“Memangnya ada kaitannya dengan urusan mu? Kamu nggak perlu repot-repot urusin kerjaan orang lain,” jawabnya.
Aku meringis kesal.
“Aku berhenti di sini,” ujar Deva saat lift mencapai lantai dua belas.
Pria itu meninggalkan ku di lift sendirian kali ini, dan saat aku yakin hanya CCTV yang menemani ku, aku menggaruk-garuk kepala ku dan menggerutu kesal. Gila! Anak itu benar-benar gila! Bagaimana bisa ia membuat ku kesal sekaligus tergila-gila?
Matahari telah kembali ke peraduannya saat aku menyelesaikan sesi siaran ku hari ini. Agung, rekan operator ku melepaskan headphone-nya saat aku melewati meja kerjanya.
“Mbak Ariana sudah selesai?” tanya Agung.
“Sudah, Gung. Lagi pula hari ini saya nggak dapat jadwal siaran malam, jadi saya bisa pulang,” jawab ku.
“Mbak Ariana mau Agung antar pulang?” Agung menawarkan bantuan, “Jauh loh, dan juga udah malam. Apalagi mbak Ariana kan perempuan”
“Nggak perlu, Gung. Saya bisa pulang sendiri kok. Lagi pula udah biasa,” jawab ku.
“Atau gimana kalau Agung antar sampai stasiun aja? Nanti mbak Ariana kan bisa lanjut pakai angkot dari sana. Yang penting Agung harus pastikan mbak Ariana setidaknya aman sampai mbak Ariana dapat angkot”
Aku tersenyum kecil.
“Kamu itu terlalu baik, Gung,” ujar ku, “Saya bisa cari angkot dari halte di seberang kok. Tenang aja”
Aku pun pamit pada Agung lalu segera berjalan ke luar menuju lift. Setelah menekan tombol lift, aku terdiam, teringat ucapan Agung beberapa saat yang lalu.
Dan aku pun segera kembali.
“Gung, kayaknya maag-ku kumat lagi nih,” ringis ku.
“Wah, mbak Ariana perlu Agung belikan sesuatu? Obat maag ada kok di ruang kru kalau mbak perlu,” tanggap Agung cepat.
“Nggak. Saya harus pulang cepat, Gung,” jawab ku.
“Hmm.. Ya udah, mbak tunggu di sini. Agung ambil jaket dulu nanti Agung antar mbak Ariana sampai rumah,” ujar Agung.
“Eh, nggak perlu sampai rumah, Gung. Sampai stasiun aja. Nggak apa-apa kok,” tukas ku.
“Loh, katanya maag mbak kumat? Kalau kumat di angkot bagaimana?”
Aku meringis pelan.
“Agung percaya deh sama saya. Nggak apa-apa kok”
Agung terdiam sejenak, berpikir, lalu segera bangkit dari tempat duduknya.
“Mbak Ariana tunggu di sini sebentar ya. Agung ambil jaket dulu di ruang kru”
“Benar nih mbak Ariana nggak apa-apa?”
Raut kekhawatiran nampak jelas di wajah rekan kerjaku itu. Aku mengangguk dan tersenyum kecil.
“Kelihatannya maag-ku sudah mulai baikan,” ujar ku, “Kalaupun di angkot terasa sakit lagi, toh tadi kita sudah beli obat maag di apotek”
“Agung tambah khawatir sama mbak Ariana,” ujar Agung khawatir.
“Tenang aja, Gung. Kamu nggak perlu sekhawatir itu,” jawab ku menenangkannya, “Mendingan kamu cepat kembali ke studio. Kasihan tuh mbak Lidya giliran siaran, masa nggak kamu bantu”
Sebelum sosok berjaket merah itu pergi, aku sempat memberinya selembar uang sebagai hadiah terima kasih ku kepadanya. Aku merogoh ponsel ku dan mengetikkan pesan singkat untuk Ferdi.
“Fer, kamu bilang coach-mu sering bantu kerja di kedai Neneknya di dekat stasiun. Kedainya kayak gimana?”
Aku mencari tempat duduk tak jauh dari pintu gerbang stasiun. Di dekat ku pula banyak mobil-mobil angkot berbaris menunggu penumpang, dan juga beberapa motor yang terparkir di depan deretan toko-toko. Aroma tembakau tercium kuat dari kepulan asap yang dikeluarkan oleh sekelompok pria-pria tua yang duduk di dekat motor-motor itu terparkir.
“Aku nggak tahu pasti, tapi kalau nggak salah kedai itu semacam kedai yang jualan nasi campur atau nasi kucing”
Aku mengernyitkan dahi ku. Nasi kucing? Apa mungkin kedai itu ada di antara deretan toko-toko itu? Aku pun bangkit dan memberanikan diri melihat deretan toko-toko tersebut. Tatapan pria-pria tua itu jujur saja membuat ku takut. Toko-toko yang berderet ini nampak lusuh -sebuah toko servis barang-barang elektronik, sebuah tempat jasa pengiriman barang, dan..
“Aduh!”
Bahu ku menabrak seseorang karena aku terlalu serius memperhatikan deretan toko-toko itu. Aku berbalik untuk meminta maaf namun justru bukan ucapan maaf yang ke luar dari mulutku.
“Deva?”
Sosok Deva mendekati ku dan menatap ku tajam.
“Kenapa kamu ada di tempat kayak gini?” tanyanya dingin.
“A.. Aku.. Katanya kamu bantu kerja di kedai punya Nenek mu, ya?” tanya ku gugup.
“Kalau ya memang kenapa? Memangnya apa urusan kamu?” jawabnya sinis.
“Aku kan cuman tanya, kenapa kamu sinis begitu?” aku membela diri.
“Aku nggak ngerti. Sejak kemarin aku terus berpapasan sama kamu. Mau kamu apa sebenarnya?”
Kekesalan ku muncul.
“Kamu pikir selama ini aku memang sengaja ikuti kamu? Enak aja!” tepis ku.
“Habisnya aku lihat kamu dimana-mana dan—”
“Lantas karena kita sering berpapasan apa itu artinya aku ikuti kamu?” potong ku.
Deva terdiam, lalu mendengus kesal. Tak jauh dari tempat ku berdiri, ku lihat sebuah kedai yang nampak cukup ramai. Ada seorang wanita tua yang duduk di depan kedai tersebut dengan wajah yang pucat dan tubuh yang lemah, mencengkeram kuat lengan kursi yang didudukinya.
“Itu Nenek mu?” tanya ku.
“Ya. Dan dia udah tua,” jawab Deva, “Sekarang kamu puas setelah tahu di mana aku bekerja dan seperti apa Nenek ku?”
“Aku nggak berpikir seperti itu. Kamu jangan asal bicara,” tegur ku.
Deva menegakkan kepalanya.
“Aku harus pergi,” ujarnya seraya pergi begitu saja.
Aku menatap punggung tegapnya yang semakin menjauh. Ku hela napas panjang sejenak. Astaga, mengapa ia begitu dingin dan sinis pada ku? Melihat kembali ke arah kedai itu, aku memutuskan untuk membeli makanan untuk makan malam ku. Wanita tua yang menjaga kedai itu menyapa ku ramah.
“Neng, mau makanan apa?” tanyanya ramah.
“Itu aja bu, tempe dan tahu goreng masing-masing dua. Ayam goreng satu. Nasi satu porsi. Dan sayur lalap bu, jangan lupa,” jawab ku.
Wanita itu segera menyiapkan pesanan ku. Berada cukup dekat dengannya, aku dapat melihat matanya yang merah berair dan jemarinya yang nampak rapuh. Napasnya tak teratur dan sesekali wanita itu terdiam sembari memejamkan matanya untuk sesaat, lalu kembali bekerja.
“Ibu sakit apa?” tanya ku.
“Ah, nggak apa-apa, neng. Kalau sudah tua sih sakit mah biasa,” jawabnya.
“Kalau sakit lebih baik Ibu istirahat atau periksakan ke dokter,” ujar ku.
“Neng, orang seperti saya yang nggak punya uang mah nggak bisa pergi ke dokter,” ujarnya.
Aku tertegun. Rasanya air mata ku mulai berkumpul di pelupuk mata ku.
“Neng, temannya Deva ya?” tanya wanita itu.
“Eh.. Ya, bu,” jawab ku.
“Maaf ya neng. Deva mah kitu budakna. Hapunten,” ujarnya.
Aku mengangguk pelan. Wanita itu memberikan pesanan ku seraya menyebutkan harganya.
“Dua belas ribu, neng,” ujarnya.
Aku merogoh dompet ku dan mengeluarkan selembar uang senilai seratus ribu. Wanita itu terkejut.
“Aduh, neng. Teu aya artos alit? Ibu nggak punya kembalian,” ujarnya.
“Ambil semua aja bu, tapi jangan bilang sama Deva kalau saya datang ke sini,” ujar ku.
“Nggak usah, neng. Kalau Deva tahu pasti Deva marah,” tolak wanita itu.
“Ambil aja, bu. Nggak apa-apa. Asalkan Ibu tidak bilang ke Deva”
Wanita itu terdiam sejenak.
“Benar neng ini nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa kok bu. Lagi pula barangkali bisa dipakai untuk biaya ke dokter”
Wanita itu nampak bahagia. Ah, ku mohon jangan menangis. Jika wanita itu menangis, pasti aku akan ikut menangis.
“Terima kasih banyak, neng. Terima kasih. Kalau neng mau makan, datang saja ke sini ya. Ibu kasih gratis kanggo neng mah,” ujar wanita tersebut terharu.
“Ya, bu. Sama-sama,” jawab ku.
Setelah berpamitan, aku segera mencari angkot menuju Ledeng. Di dalam mobil aku menyandarkan tubuh ku dan menghela napas lega. Semoga saja Deva tak tahu. Semoga saja.
Ponsel ku berdering, membuat ku menjadi pusat perhatian di dalam mobil angkot ini. Para penumpang yang kebanyakan berusia setidaknya dua tahun lebih tua dari ku menatap ku dengan tatapan yang membuat ku tak nyaman dan ingin dengan sekali kedipan, menghentikan nada dering ponsel ku.
“Ya, Agung. Ada apa?” tanya ku setelah menjawab panggilan masuk.
“Mbak Ariana lagi dimana sekarang?” tanya Agung sedikit terbata-bata.
“Saya di perjalanan menuju CiWalk,” jawab ku, “Memangnya ada apa? Kok suara mu kayak gugup begitu?”
Terdengar Agung berbicara pada dirinya sendiri, mengungkapkan kepanikan yang nampaknya sedang melanda studio.
“Mbak Ariana bisa siaran Love Hour nggak malam ini?”
“Apa? Malam ini?”
Aku melirik arloji di tangan ku. Waktu telah menunjukkan pukul tujuh lebih dua puluh menit.
“Mbak Nova nggak bisa siaran karena sakit demam. Mas Guruh jelas-jelas nggak bisa siaran karena sedang live report di Jakarta,” jelas Agung.
“Loh, memangnya announcer kita cuman sedikit?” tanya ku mencari alasan agar aku tak perlu bertugas siaran untuk malam ini.
“Mbak Ariana lupa ya hari ini banyak yang pergi ke Jakarta untuk live report konser jazz?” jawab Agung, membuat ku terpojokkan.
Aku menghela napas sejenak.
“Saya makan malam dulu deh, Gung. Nggak apa-apa kan? Nggak akan sampai satu jam kok. Nanti selepas makan malam saya akan naik taksi supaya cepat sampai. Gimana?” tawar ku.
“Wah, terima kasih banyak, mbak!” seru Agung, “Agung nggak tahu deh harus gimana kalau hari ini nggak ada yang siaran Love Hour”
Setelah mengucapkan terima kasih yang kelima kalinya, Agung mengakhiri percakapannya di telepon dan aku telah tiba di depan salah satu mall di kota ini. Dalam hati aku berharap semoga program director memberi ku gaji tambahan untuk jadwal kejutan seperti ini.

****

“Tiga, dua, satu!”
Agung memberi aba-aba dan tepat setelah jingle radio ini berakhir, suara ku pun mengudara.
“Selamat malam, best pals! Kembali lagi di gelarannya Love Hour dan kali ini bersama saya, Ariana. Mungkin best pals bingung kenapa Love Hour malam ini ditemani sama Ariana. Hmm.. Well, karena alasan kesehatan Nova yang biasa menemani kamu di Love Hour nggak bisa siaran. Tapi jangan khawatir, selama dua jam ke depan Ariana akan tetap menemani best pals semua yang mungkin ingin berbagi cerita, atau sekedar request lagu dan titip salam. Satu lagu pembuka dari Ariana untuk malam ini, Ten2Five dengan Love Is You”
Lagu pertama untuk sesi malam ini ku putar, dan sembari menunggu aku melanjutkan kembali To Kill A Mockingbird yang sempat ku baca saat aku berada di taksi. Pintu kaca diketuk oleh seseorang dari luar -Agung melambaikan tangannya, dengan satu tangannya menggenggam segelas kopi. Aku menganggukkan kepala ku dan rekan operator ku itu pun masuk.
“Buat mbak Ariana supaya nggak ngantuk,” ujar Agung seraya menaruh segelas kopi Starbucks di atas meja ku.
“Terima kasih, Gung,” ujar ku, “Seperti biasanya tagihannya–”
“Agung yang traktir, mbak. Tenang aja,” potongnya.
Aku tersenyum kecil.
“Terima kasih ya, Gung,” ujar ku.
“Sama-sama,” balasnya, “Semangat ya mbak siarannya”
Ku tutup novel ku lalu kembali ku kenakan headphone dan ku nyalakan mikrofon ku, bersiap untuk kembali mengudara.
“Tadi adalah tembang akustik manis dari Ten2Five yang berjudul Love Is You. Well, judul lagunya sama dengan judul lagu yang dibawakan oleh Cherrybelle, ya. Hahahaha.. sepertinya ada coincidence atau.. Yah, yang penting kedua lagu itu punya ciri khasnya masing-masing. Oke, request yang masuk sudah banyak nih rupanya dan akan Ariana bacakan dulu sepuluh request pertama. Yang pertama datang dari Mira di Kopo”
Sembari membacakan request yang telah masuk, aku pun mengatur playlist lagu yang akan ku putar, sembari sesekali mengirim pesan pada Agung melalui messenger di komputer ku untuk mencarikan beberapa lagu yang tak bisa ku temukan di komputer ku. Saat aku membacakan request ke-tujuh, Agung memberi isyarat bahwa ada penelepon yang masuk.
“Ah, rupanya sudah ada penelepon pertama untuk Love Hour di malam Minggu ini. Langsung akan Ariana sapa penelepon pertama kita. Halo! Selamat malam!”
“Malaaaam!”
Aku tertawa kecil mendengar respon penelepon pertama di malam ini.
“Baik, dengan siapa dan dimana?”
“Na! Ini aku, Lauren!”
“Astaga! Lauren!”
“Na! Aku penelepon pertama, kan? Wah, keren banget!”
Aku dan Lauren tertawa untuk sejenak.
“Aduh, maaf best pals, rupanya sahabat Ariana yang satu ini memang kerjanya menghantui Ariana kapanpun dan dimanapun, bahkan saat Ariana sedang siaran,” ujar ku, “Oke deh kalau begitu, Lauren malam ini mau curhat atau request lagu?”
“Mau gangguin Ariana dong!” jawab Lauren dengan suara riangnya.
“Aduh.. Ganggunya nanti lagi aja di kelas ya. Oh ya, kamu nggak malam mingguan?”
“Nggak. Malam ini aku mau jadi anak baik, diam di rumah dan ngerjain tugas Literary Theories”
“Hahahaha! Tumben rajin!”
“Harus dong!”
Aku terkikik pelan.
“Oke. Lauren mau request lagu apa? Jangan request lagu dangdut ya”
“Nggaklah! Lady Antebellum yang Need You Now dong”
“Hmm.. Oke. Ada pesan-pesan atau mungkin ingin berkirim salam?”
“Buat Ariana aja. Semangat ya siarannya!”
“Terima kasih banyak. Kamu juga, Lauren, semoga sukses dengan tugasnya”
“Beres siaran langsung nugas ya!”
“Ya deh, terserah Lauren. Hahahaha!”
Penelepon pertama pun akhirnya mengakhiri percakapannya. Tak berapa lama, Agung kembali memberi isyarat bahwa ada penelepon kedua yang sudah masuk.
“Hmm.. Nampaknya sudah ada penelepon kedua. Ah, semoga kali ini bukan sahabat Ariana yang sama hebohnya dengan Lauren ya. Halo, selamat malam! Dengan siapa dan dimana?”
Tak ada jawaban yang ku dengar dari penelpon kedua di malam ini, meskipun aku masih bisa mendengar suara napasnya. Aku menatap Agung dan mengangkat kedua bahu ku. Agung pun nampak kebingungan.
“Halo, selamat malam! Dengan siapa dan dimana?”
Aku sampai harus menaikkan volume suara headphone-ku agar aku dapat mendengar suara penelepon kedua ku lebih jelas. Tak lama, penelepon kedua itu pun memberikan jawaban.
“Deva,” jawabnya pelan.
Aku tertegun sejenak. Astaga, nama itu…
“Oke. Deva dimana?”
“Bandung”
Aku meringis pelan, sepelan mungkin agar tak sampai terdengar mengudara. Saat aku bertanya tentang lokasi, yang ku inginkan adalah jawaban yang lebih spesifik. Bandung, memangnya kota ini sekecil apa?
“Oke, Deva. Malam ini–”
“Boleh aku cerita?” potongnya.
“Hmm.. Oke. Silahkan,” jawab ku.
“Apa kamu pernah merasa menyesal karena tak sempat mengutarakan perasaan kamu yang sebenarnya kepada orang yang kamu sayang?” tanyanya.
Aku mengernyitkan dahi ku.
“Sejauh ini belum. Atau lebih tepatnya, Ariana nggak mau hal itu sampai terjadi. Tapi kalau berbicara secara umum, hal seperti itu memang umum terjadi dan penyesalan pasti muncul setelahnya,” jawab ku.
Terdengar isak pelan dari penelepon ku.
“Apa yang harus Deva lakukan sekarang?”
Aku terkejut. Penelepon kedua ku menangis, dan ini membuat suasana di studio malam ini menjadi berbeda. Melalui jendela kaca, ku lihat orang-orang yang ada di studio melirik ke arah speaker di dinding dan menunjukkan ekspresi terkejut, sekaligus bingung, bahkan beberapa tersenyum kecil.
“Memangnya apa yang terjadi sama kamu? Kalau kamu mau, kamu boleh cerita sama saya,” ujar ku yang secara refleks mengubah cara bicara ku.
“Selama ini Deva sering bersikap kasar dan belum bisa jadi sosok yang menyenangkan buat orang yang Deva sayang. Deva sayang dia, tapi Deva nggak tahu bagaimana Deva harus menunjukkan rasa sayang itu. Terkadang Deva nggak bisa mengatur emosi Deva dan dia pasti selalu jadi korban pelampiasan emosi Deva,” tuturnya.
“Saat kamu marah atau bersikap kasar, bagaimana respon dia?”
“Sering kali pada akhirnya kita bertengkar. Terkadang kita sampai mengucapkan kata-kata yang nggak seharusnya diucapkan. Deva menyesal”
“Apa dia tahu tentang kamu, bahwa kamu selama ini sayang sama dia tetapi kamu nggak tahu cara untuk menunjukkan hal itu?”
“Entahlah, tapi Deva rasa dia tahu. Deva juga merasa bersalah karena terkadang Deva selalu meminta hal-hal yang terlalu besar dan sulit untuk dia berikan. Deva selama ini sudah jadi sosok yang egois dan jahat”
Aku terus mendengarkan ceritanya sembari sesekali meneguk kopi ku. Semakin lama, aku semakin terlarut dalam ceritanya dan emosi ku pun mulai terlibat.
“Deva bersikap terlalu dingin pada orang lain. Deva juga bisa dibilang sosok yang penyendiri, dan karena itu Deva hanya punya beberapa teman-teman dekat aja. Saat Deva ingat tentang orang yang Deva sayang, seringkali Deva jadi murung dan sedih. Deva tahu Deva nggak punya banyak waktu, dan Deva sadar Deva belum bisa berbuat banyak hal untuk orang yang Deva sayang. Deva kecewa sama diri Deva sendiri”
“Hmm.. Berkaitan dengan orang yang kamu sayang, sebelumnya kamu tanya apakah saya pernah mengalami penyesalan karena nggak sempat menyatakan perasaan saya yang sebenarnya pada orang yang saya suka. Kalau saya boleh tahu, mengapa kamu merasa menyesal atau.. apa yang terjadi dengan orang yang kamu sayangi itu?”
Deva tak bicara, dan aku mulai merasa bahwa apa yang ia ucapkan akan membuat ku merasa semakin iba pada sosok pria ini.
“Dia akan pergi jauh. Deva hanya punya waktu sedikit dan Deva rasa Deva nggak akan sempat untuk berbuat banyak hal untuk dia”
“Kalau gitu, kenapa kamu nggak mulai lakukan sesuatu dari sekarang atau sekarang juga beritahu orang yang kamu sayang bahwa kamu sayang sama dia”
“Tapi waktu Deva benar-benar sedikit lagi”
“Setidaknya kamu masih punya waktu, entah itu banyak atau sedikit. Kasih tahu perasaan kamu yang sebenarnya sebelum kamu benar-benar menyesali itu. Deva, kamu harus ingat bahwa penyesalan itu hukuman batin yang bisa menghantui kamu sampai kamu tua nanti. Kamu ingin dihantui oleh rasa menyesal? Nggak, kan?”
Deva mulai tersedu, dan aku merasa semakin iba. Inilah salah satu alasannya mengapa aku tak begitu suka untuk membawakan acara Love Hour. Jika penyiar ikut menangis tersedu-sedu, bukankah itu akan terdengar konyol? Bagaimana penyiar itu akan menyelesaikan acara yang ia bawakan jika ia sendiri terlarut dalam emosinya?
“Dia terlalu baik. Dia selalu sabar menghadapi Deva walaupun Deva selama ini belum bisa benar-benar bersikap baik. Bahkan di saat Deva sedang sedih, dia setidaknya nanya apa yang terjadi dan berharap supaya Deva bisa kembali ceria lagi”
“Kalau begitu, orang yang kamu sayangi itu menyayangi kamu juga”
“Deva tahu, dan Deva yakin bahwa dia juga sayang sama Deva”
“Kalau gitu sekarang lakukan apa yang saya sudah katakan sama kamu”
“Kalau kamu ada di posisi Deva, apa yang akan kamu lakukan sekarang?”
“Hmm.. Kalau saya berada di posisi kamu, karena saya tahu bahwa saya hanya punya sedikit waktu untuk menyatakan perasaan saya pada orang yang saya suka sebelum orang tersebut pergi, saya akan langsung datangi dia, nggak peduli berapa jauh jarak yang harus saya tempuh, dan saya akan beritahu dia perasaan saya yang sebenarnya. Jadi, saat orang tersebut pergi dan mungkin nggak kembali lagi, setidaknya saya sudah buat dia tahu bahwa saya sayang sama dia. Kalau dia juga menyayangi kamu, dia pasti pergi dengan tenang karena dia tahu orang yang dia sayangi menyayangi dia juga”
Untuk sekitar dua menit berikutnya, yang ku dengar darinya hanyalah isakan pelan, dan aku hanya bisa mencoba menghiburnya, menyemangatinya. Pada akhirnya, penelepon bernama Deva ini pun mengatakan sesuatu.
“Terima kasih banyak, Na. Deva nggak tahu harus gimana kalau Deva nggak cerita sama kamu. Setidaknya sekarang Deva lega setelah bisa keluarkan beban yang Deva emban selama ini”
“Sama-sama. Kamu tetap semangat, ya”
“Ariana juga, ya. Salam buat Nova. Semoga cepat sembuh”
“Ya, nanti saya sampaikan”
Dan itulah akhir dari percakapan antara aku dan penelepon kedua ku yang bernama Deva. Ku putar sebuah lagu lalu aku kembali menikmati kopi ku dan membaca novel ku. Belum lama aku membaca, Agung tiba-tiba saja masuk ke ruangan.
“Mbak Ariana, orang yang barusan telepon lagi dan titip pesan sama Agung buat menyampaikan terima kasihnya untuk mbak Ariana,” ujar Agung.
“Yang barusan? Yang mana? Penelepon kedua?” tanya ku.
“Ya. Yang namanya Deva itu. Kayaknya orangnya sedang depresi deh, mbak. Agung takut orangnya mau bunuh diri”
“Hus! Agung, nggak boleh bicara kayak gitu”
“Tapi kedengarannya gitu, mbak. Mungkin kecengannya mau pergi ke luar kota atau ke luar negeri untuk waktu yang lama”
“Kecengan?”
“Entahlah. Agung asal tebak”
Aku tertegun sejenak. Jika penelepon kedua tadi adalah Deva yang ku kenal, apa mungkin selama ini ia telah menyukai seseorang yang lain? Tiba-tiba saja aku merasa sangat gugup.
“Mbak Ariana kenapa?” tanya Agung mengejutkan ku.
“Ah, nggak apa-apa, Gung,” jawab ku.
Ku sembunyikan wajah ku di balik novel ku. Ya Tuhan, semoga saja pikiran ku salah.

****

Segelas teh limun dingin menyegarkan ku kembali setelah berkutat dengan dua matakuliah memusingkan di hari Senin ini. Kevin nampak menikmati biskuit gandum krim cokelatnya -satu pak ukuran besar yang nampaknya akan ia habiskan sendiri. Lauren menunggu pesanan nasi gorengnya tiba sembari mendengarkan musik dari ponselnya, sementara Ferdi meletakkan kepalanya di atas meja, menunjukkan ekspresi kelelahan.
“Ada apa, Fer?” tanya ku.
“Cape,” jawabnya singkat.
“Pasti hari ini kamu diminta ngelatih tim basket cewek,” tebak Kevin.
“Kamu mau gantiin aku jadi pelatih, gak?” tanya Ferdi pada Kevin.
Bocah itu menggelengkan kepalanya.
“Kalau diminta jadi pengawas tes lari, aku mau. Fer, kamu kan tahu sendiri aku nggak punya bakat di bidang olahraga,” jelas Kevin.
“Aduh, siapa lagi dong yang bisa diminta tolong untuk gantiin aku jadi pelatih tim cewek?” Ferdi nampak frustrasi.
“Memangnya kemana coach Amel?” tanya Lauren.
“Coach Amel kan sejak Minggu udah pergi ke Australia untuk ikut program pertukaran pelajar selama tiga bulan. Katanya, ada kemungkinan juga kalau coach Amel nggak akan kembali lagi,” jawab Ferdi.
Aku segera melirik Ferdi.
“Fer, Amel dekat sama Deva, nggak?” tanya ku.
“Dekat. Dekat banget. Mungkin karena mereka sama-sama coach tim basket, jadi mereka dekat satu sama lain. Kadang-kadang mereka juga sering bertengkar gara-gara beda pendapat, tapi itu udah biasa. Kayaknya, kedua coach itu saling suka,” jawab Ferdi.
Jawaban Ferdi membuat ku terkejut sekaligus sedih. Lauren dan Kevin segera menegur Ferdi, dan tak berapa lama Ferdi langsung meminta maaf pada ku berulang kali. Aku terdiam, mengacuhkan kekacauan yang terjadi di antara sahabat-sahabat ku. Mungkinkah Deva yang menelepon ku Sabtu malam kemarin adalah Deva yang ku kenal? Dan mungkinkah seseorang yang ia sayangi adalah Amel, teman sesama pelatihnya?
“Na, aku minta maaf. Swear, aku nggak maksud buat bikin kamu gamang!” ujar Ferdi meminta maaf pada ku.
“Kamu sih, Fer! Makanya kalau ngomong itu dipikir-pikir dulu,” tegur Lauren.
“Aku nggak ikut terlibat di masalah ini, ya,” ujar Kevin lepas tangan.
“Na, please. Aku minta maaf, Na,” Ferdi semakin panik.
Aku menghela napas sejenak, lalu bangkit dari tempat duduk ku.
“Aku mau ke toilet sebentar. Aku titip tas dan buku ku, ya,” ujar ku.
Aku masih bisa mendengar Lauren dan Kevin menegur Ferdi, dan Ferdi merasa bersalah karena telah mengucapkan hal yang sejujurnya membuat ku sedih. Tapi alasan ku pergi ke toilet bukan karena aku sedih atau ingin menangis. Perut ku terasa sakit. Meskipun begitu aku masih tetap tak dapat mengelak dari rasa sedih ku. Mungkin sudah waktunya bagi ku untuk membiarkan Deva mencintai orang yang ia sayangi. Toh melihat orang yang ku sayangi merasa bahagia seharusnya menjadi sebuah kebahagiaan bagi ku.
Ku buka perlahan pintu kelas dan aku terkejut karena Ferdi telah berada di kelas. Aku mengernyitkan dahi ku, merasa heran atas kehadirannya yang begitu awal.
“Tumben udah datang,” ujar ku.
“Udah dua hari ini nggak ada latihan,” jawabnya.
“Kenapa?”
“Coach Deva nggak ada”
“Memangnya kalian nggak bisa latihan tanpa coach?”
“Bisa sih, tapi.. Kamu tahu kan anak-anak kayak gimana. Latihan lima belas menit, sisanya malah main nggak jelas”
Aku mengernyitkan dahi ku.
“Memang coach kalian kemana?”
“Entahlah. Gika bilang katanya coach sejak kemarin nggak masuk kuliah”
“Kalian nggak coba hubungi Deva?”
“Nggak bisa. Kayaknya coach matiin ponselnya. Mungkin coach terlalu–”
Ferdi segera mengerem kalimatnya, lalu mengeluarkan textbook Cultural Studies dan memasang headset ke telinganya. Ia berkutat dengan pemutar musiknya untuk beberapa saat, lalu mengernyitkan dahinya.
“Coach Deva kayaknya membosankan, ya,” celetuknya.
“Memangnya kenapa?” tanya ku.
“Preset radionya cuman ada satu”
“Kenapa nggak dengar lagu-lagu aja?”
“Bukan genre-ku”
“Memang berapa frekuensi di preset radionya?”
“Entahlah. Sembilan puluh sembilan poin lima”
Aku segera menghampiri Ferdi.
“Itu music player punya Deva?” tanya ku.
“Ya. Di jam istirahat, aku suka pinjam player punya coach,” jawab Ferdi, “Aku lupa belum kembalikan ke coach”
Aku memeriksa music player milik Deva, dan saat aku melihat preset radionya, hanya ada satu yang tersimpan. Sembilan puluh sembilan poin lima, dan aku sadar itulah frekuensi stasiun radio tempat ku bekerja. Di cover belakang music player itu, tertempel sebuah stiker bertuliskan namanya, Deva.
“Kelihatannya coach hanya dengar siaran dari stasiun radio itu,” ujar Ferdi.
“Ah, mungkin aja kebetulan,” sanggah ku.
“Kebetulan? Hmm.. Agak aneh kalau sebatas kebetulan”
“Maksudnya?”
“Coach beli music player ini setahun yang lalu. Kalau sampai sekarang preset radionya hanya ada satu, apa lagi artinya kalau coach memang hanya dengar siaran dari stasiun radio itu? Oh ya, kalau nggak salah kamu mulai siaran setahun yang lalu, kan?”
Petir seolah menyambar ku. Apa maksud dari semua ini? Tidak, pikiran ku pasti sedang kacau. Tapi, penjelasaan Ferdi dan fakta bahwa aku memulai siaran perdana ku setahun yang lalu seolah-olah berkaitan. Ponsel Ferdi berdering dan ia nampak terkejut oleh pesan yang diterimanya.
“Inalillahi.. Coach..”
Aku meliriknya.
“Ada apa, Fer?”
“Neneknya.. Ternyata coach dua hari ini nggak bisa hadir karena Neneknya meninggal dunia”
Aku tercengang, membayangkan bagaimana perasaan Deva saat ini. Ditinggal pergi oleh dua orang yang disayanginya, itu pasti menyakitkan. Deva kehilangan Amel dan beberapa hari kemudian ia harus kehilangan Neneknya. Jika penelepon radio yang menelepon Sabtu malam kemarin adalah benar Deva yang ku kenal, maka aku tak menyangka bahwa orang sedingin dan setegas Deva bisa sampai menangis. Astaga! Aku hampir lupa bagaimanapun juga Deva adalah seorang manusia yang punya hati nurani.
Ku taruh headphone-ku dan ku masukkan buku-buku ku ke dalam tas. Aku merasa tak bersemangat sore ini. Ku lihat ke luar jendela untuk sesaat, masih pemandangan yang sama ku lihat dari tempat yang sama. Senja nampak tak seindah biasanya, dan ku harap pikiran ku salah  dan ku harap aku akan menyukai senja hari ini, seperti di hari-hari lainnya.
“Mbak Ariana kenapa?” tanya Agung, mengejutkan ku.
“Aduh, Agung! Kalau mau masuk ruangan ketuk pintu dulu!” tegur ku.
“Maaf, mbak. Agung lihat mbak Ariana hari ini kayaknya kurang bersemangat,” jelas Agung.
“Mbak lagi sakit?”
“Nggak, Gung. Saya nggak apa-apa, kok,” jawab ku.
“Mbak perlu Agung antar pulang?”
“Nggak usah, Gung. Kamu lebih baik di sini aja, siap-siap untuk acaranya mas Guruh. Lima belas menit lagi dia mulai siaran”
“Benar mbak Ariana nggak apa-apa nih? Agung jadi khawatir”
“Kamu udah terlalu banyak khawatir sama saya, Gung. Saya nggak apa-apa kok”
Setelah berpamitan pada Agung dan berpapasan dengan guruh, rekan sesama penyiar, dan mengobrol sebentar dengannya, aku pun segera pulang. Namun sesuatu merasuki ku. Aku tak melangkahkan kaki ku ke halte di mana aku biasa menunggu kendaraan umum. Kaki ku melangkah begitu saja ke arah jalan Braga, melewati deretan toko-toko kue dan parfum, lukisan-lukisan jalanan, jendela-jendela Prancis di gedung bergaya Art Deco, sampai akhirnya tak sadar aku telah berada di depan gedung Bank Indonesia.
Langit berubah keunguan, menyisakan gradasi jingga keemasan di ufuk barat. Lampu-lampu dari bangunan-bangunan pencakar langit dan kendaraan-kendaraan berpendar seperti bintang. Menyeberangi jalan, aku akhirnya tiba di depan katedral Santo Petrus. Aku berhenti di bawah naungan sebuah pohon untuk sejenak dan memeriksa ponsel ku. Pukul enam lebih dua puluh tiga menit. Aku memasukkan kembali ponsel ku ke dalam tas ku dan saat aku melihat ke arah selatan, sesosok pria berjalan ke arah ku.
Tersorot cahaya lampu-lampu kendaraan bermotor, aku dapat melihat wajahnya. Pria itu, pria yang dua hari ini singgah di benak ku. Ia berhenti beberapa meter di depan ku, membetulkan kacamatanya, dan menyunggingkan sebuah senyuman kecil.
“Hei,” sapanya.
Aku tertegun. Inilah pertama kalinya aku melihat pria ini tersenyum.
“Kamu mau marah karena kita–”
“Nggak, Na,” potong Deva, “Aku sengaja ikuti kamu sampai sini. Maksud ku, aku menebak ke mana kamu akan pergi dan saat aku tahu kamu akan pergi ke tempat ini, aku segera cari jalan lain menuju tempat ini—”
“Supaya seolah-olah kita bertemu karena ketidaksengajaan, bukan karena kamu ikuti aku?”
Deva tersenyum malu.
“Sejak kapan kamu ikuti aku?” tanya ku.
“Sejak kamu ke luar dari tower,” jawabnya.
“Maksud ku udah berapa lama kamu ikuti aku? Untuk apa kamu ikuti aku?”
“Baru hari ini aku ikuti kamu. Untuk berterima kasih”
Aku tertegun.
“Na, Sabtu malam kemarin yang menelepon itu aku. Maksud ku, ya.. Aku rasa mungkin kamu tahu bahwa aku yang menelepon tapi aku cuma ingin kamu yakin bahwa memang aku yang menelepon,” ujarnya.
“Dan tentang orang yang kamu sayang, apa kamu udah beritahu dia kalau kamu sayang sama dia?” tanya ku.
“Sudah. Karena itu, aku mau berterima kasih sama kamu,” jawabnya.
Aku tersenyum kecil, meskipun sebenarnya aku merasa sedih.
“Amel pasti senang akhirnya kamu bisa jujur tentang perasaan kamu,” ujar ku.
“Amel? Err.. Dia, ya…”
“Dia juga pasti sayang sama kamu”
“Amel? Dia udah punya seseorang yang lain”
“Maksud mu?”
“Amel sudah punya pacar”
“Dan kamu.. Tapi setidaknya kamu udah ungkapkan perasaan kamu yang sebenarnya, bukan?”
“Perasaan? Aku nggak punya perasaan apapun terhadap Amel. Kita cuman teman biasa”
Kali ini aku dibuat terkejut oleh perkataannya. Apa maksud dari ucapannya?
“Na, selama sepuluh tahun ini aku tinggal sama Nenek ku dan kita sering sekali bertengkar, sampai terkadang aku pergi dari rumah dan pulang keesokan harinya. Nenek ku pernah bilang bahwa aku ini hanya merepotkan dan aku pun pernah bilang bahwa aku benci Nenek ku. Sulit buat aku dan Nenek ku untuk akur,” tuturnya, “Saat aku tahu bahwa sakit Nenek semakin parah dua bulan yang lalu, aku mulai berpikir untuk berbuat sesuatu untuk Nenek ku. Sabtu sore kemarin, kondisi Nenek sangat kritis dan harus dibawa ke rumah sakit. Dokter bilang mungkin waktu yang Nenek punya nggak banyak lagi, dan saat itu aku merasa sedih dan menyesal karena selama ini aku nggak bisa bersikap baik kepada Nenek”
“Dev, tentang Nenek mu.. Aku udah dengar dari Ferdi dan.. Aku turut berduka,” ujar ku.
“Nggak apa-apa, Na. Sekarang Nenek pasti berada di tempat yang lebih baik. Nenek pasti terbebas dari rasa sakit yang selama ini menyiksa Nenek selama bertahun-tahun,” jawab Deva, “Setelah percakapan di Love Hour malam itu, aku segera datang ke ruangan Nenek ku dan aku bilang sama Nenek ku bahwa selama ini aku sayang Nenek. Aku juga minta maaf dan menyesali sikap ku selama ini. Nenek juga berkata hal yang sama. Nenek bahkan bilang bahwa dia sempat bertemu kamu dan Nenek bilang bahwa kamu adalah teman yang baik buat ku. Kamu tahu, Na? Nenek meninggal dengan tenang, dan aku bersyukur aku masih sempat untuk bilang bahwa aku sayang Nenek ku sebelum Nenek ku pergi. Kamu berhasil menyelamatkan aku sebelum aku dihantui oleh rasa menyesal seumur hidup ku”
Refleks air mata ku terjatuh. Aku tak menyangka peran ku sebagai seorang penyiar biasa dapat menyelamatkan seseorang -menyelamatkan sosok Deva dari penyesalan yang bisa saja menghantuinya seumur hidupnya. Namun aku menyelamatkannya dan aku membantunya membebaskan dirinya dari beban yang selama ini ia pikul.
“Na, kenapa kamu nangis?” tanya Deva seraya merogoh sapu tangan dari dalam saku jaketnya.
“Nggak. Nggak apa-apa, Dev. Aku cuma terharu aja,” jawab ku.
“Terharu karena apa?”
“Karena.. Ah, sudahlah”
Kukira Deva akan meminjamkan ku sapu tangannya, namun ia justru yang menyeka air mata ku. Aku terdiam sejenak dan menyadari bahwa aku telah sedekat ini dengannya, jarak yang dulu tak pernah ku bayangkan akan bisa ku miliki dengan sosok ini.
“Na, kamu kasih tahu aku supaya aku memanfaatkan waktu yang ku punya untuk jujur tentang perasaan ku terhadap orang yang ku suka, bukan?”
Aku mengangguk pelan.
“Maaf, selama ini aku mungkin bersikap dingin dan sinis sama kamu. Tapi.. Na, aku suka kamu”
Aku tersenyum.
“Aku nggak perlu menjawab, kan?”
“Kenapa?”
“Menurut mu apa yang selama ini beredar hanya gosip semata?”
“Jadi itu.. Jadi selama ini kamu menyukai ku?”
“Ya, Deva. Aku suka kamu”
Dan Deva -di bawah naungan langit yang telah menghitam, di bawah pendaran cahaya purnama, di antara kilauan lampu-lampu kota dan hingar bingar jalan raya. Dan aku -ada aku di dalam dekapannya.


SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar