Senin, 14 September 2015

Edelweis Terakhir Untuk Nada

Edelweis Terakhir Untuk Nada

     Cahaya matahari masih setia masuk ke cela-cela jendela kamar milik perempuan bernama Nada. Dan cahaya itu menyinari sepasang mata yang sedikit sayu akibat begadang. Cahaya memantul hidung jambu yang berminyak ketika kukuruyuk ayam membangunkan. Bibirnya menguap lebar sisa lelah semalam. Dan ia tampak cantik saat bangun pagi.

     Ia melihat sekitar dinding kamarnya yang banyak foto bunga abadi dari kekasihnya dan ia menyukai bunga Edelweis. Ia melihat lagi sekeliling kamarnya. Masih memperhatikan dindingnya. Banyak harapan yang dituliskan didinding kamarnya, salah satunya yaitu adalah harapan untuk sembuh dari penyakitnya.

     Pagi ini bahagia menghampiri dirinya, karena hari ini bertepatan dengan hari ulangtahunnya. Di setiap hari ulangtahunnya, biasanya pagi hari atau tepat jam 12 malam lelaki yang ia cinta datang kerumahnya. Mengetuk pintu kamarnya, lalu memberikan ia foto bunga abadi kesukaannya, pun senja dan matahari terbit kala menyapa puncak gunung manapun. Tapi tidak untuk pagi ini. Pagi yang seharusnya bahagia.

******

     ‘Dian kemana sih dari kemarin belum ngabarin, mau kasih kejutan kali ya, kan hari ini hari ulangtahun ku.’ Ia berbicara dengan kembarannya di cermin, menggerutu kesal karna lelakinya belum mengabarinya hingga kini.

     Ia melihat handphone nya. Banyak notification ucapan selamat hari ulangtahun dari temannya dan teman lelakinya. Tetapi, bukan ucapan dari temannya yang ia tunggu melainkan ucapan hari ulangtahun dari kekasihnya. Tapi tidak ada.

     Nada memutar music di Hp miliknya. Payung Teduh tentunya. Ia selalu suka dengan petikan gitar yang dialunkan vokalis, selalu nyaman dengan gesekan bass betot yang dimainkan pun alat musik lain yang menghadirkan perpaduan lagu yang membuatnya tenang.

     Untuk perempuan yang sedang dalam pelukan sedang berputar di tampilan Hp pun diingatannya. Ia ingat saat kekasihnya menyanyikan lagu itu dengan gitar saat hari ulangtahun. Memberikan foto edelweis tentunya.

     Dian adalah lelaki yang setia memberikannya foto bunga abadi kesukaannya. Ia adalah seorang pencinta alam dan pencinta perempuan yang menyukai bunga abadi itu.

     Nada menghampiri foto yang tertempel didindingnya. Ia menjumpai satu foto yang disertai tulisan apik disana. Mengingat ingatan tentang foto itu. Foto itu adalah foto saat Dian menyatakan perasaan kepadanya, Dian memberikan ia seikat bunga edelweis yang ia beli di gunung bromo saat ia berkunjung kesana. Foto itu membuat ia senyum tersipu malu.

******
     Di tempat yang lain, Dian sedang memotret banyak foto edelweis untuknya. Menghampiri setiap edelweis. Gatal ingin memetik pastinya. Tapi ia urungkan niatnya itu.

Ia menulis satu paragraph di lembar foto hasil kamera polaroidnya itu. Di setiap foto untuk Nada ia selalu menyelipkan kata-kata disana. Kali ini ia juga menuliskan satu surat untuk Nada.

******

‘Pokoknya harus cantik.’ Nada mengenakan kemeja hitam pemberian almarhum Ibunya, menyelimuti bibir pucatnya dengan lipstick. Memoles wajahnya agar tidak kelihatan seperti orang sakit. Ia tampak cantik.

Tanpa pesan terakhir dari Seventeen sedang memutar di Hp nya. Ia diam seketika. Tak tahu ada apa.

Hidup terlalu singkat untuk cerita Tentang kau dan aku, Kau pergi tanpa pesan terakhir Dariku yang menyertai mu, Kau selalu ku kenang.

'tok, tok, tok.’ ada yang mengetuk pintu rumah Nada.

‘Pasti Dian.’ Ia berlari menuju pintu rumah dengan senyum yang sumringah.
Benar itu Dian. Ia tampan mengenakan baju putih, tapi ia tampak bercahaya. Dian berdiri didepannya, memberikan bunga dan amplop hitam. Dengan senyuman yang selalu ada di sudut bibirnya. Tapi, ia tidak berkata apapun. Lalu ia pergi, meninggalkan Nada yang masih melamun di depan pintu coklat rumahnya.


Saat kau langkahkan kakimu tuk tinggalkanku Dan kau pergi jauh untuk selamanya Hingga bayangmu pun tak mampu ku lihat lagi. Kini kau tlah pergi jauh untuk selamanya.
‘Dian ?’ Nada tersadar dalam lamunanya. Ia masih terpaku didepan pintu. Bait kedua lagu berputar. Terdengar sampai depan pintu. Nada menangis tanpa aba-aba. Air mata mengucur saat bayang Dian tak mampu dilihatnya.

Perasaan ini sama ketika Ibunya meninggalkannya. Ia membuka amplop hitam pemberian Dian tadi, berisi 1 surat, 2 lembar foto edelweis dan 2 lembar senja di puncak gunung semeru.

Nada, jangan marah ya aku pergi gak pamit hehehe. aku mau cerita sedikit Nada, tentang perasaan ku mendaki di Semeru. Kau harus tau rasanya Nada, seru sekali, menantang saat mau tiba dipuncaknya. Kau pernah menonton film 5cm itu, kan ? iya Nada aku sudah beberapa kali tertimpa batu besar saat merayap untuk mendaki. Kepalaku bocor Nada, wajah ku penuh luka. Pasti kau kagum dengan ku, kan ? sudahlah Nada ngaku saja.Oiya, Nada tapi ada yang aneh dari diriku Nada, perasaan ku tidak seperti biasanya Nada. Biasanya kalau aku mendaki dan sampai di puncaknya aku selalu senang apalagi ketika aku asik memotret banyak edelweis untuk mu. Tapi kali ini perasaan ku lain, Nada. Aku khawatir dengan diriku sendiri. Seperti takut untuk tak bisa jumpa lagi dengan mu. kalau aku berkumpul dan menyusul Ibu mu, kau tak cemburu kan ? jangan cemberut begitu Nada. Senyumlah! kau harus seperti bunga edelweis yang mekar dan abadi di tempat yang kalau ingin disinggahi harus dengan hati. Kau harus selalu tumbuh dengan keindahan mu Nada. barangkali ini foto edelweis terakhir untuk mu Nada. Usap air mata mu, Nada. Bunga Edelweis tak pernah menangis saat pendaki meninggalkannya. Oiya Nada, maaf aku belum sempat mengajakmu mendaki bersama , kau simpan dulu kemauan mu, kalau kau sudah benar-benar sembuh kau pasti bisa mendaki, bahkan puncak gunung yang tinggi sekalipun. Kau kan perempuan tangguh. Siapa dulu kekasihnya aku hehehe. Selamat Ulangtahun Nada. 


Air mata Nada makin deras mengucur, tangannya gemetar membaca surat terakhir pemberian Dian. Ia tak sanggup menyeka air matanya. Biasanya kalau ia menangis seperti ini Dian lah yang mengusap air matanya dengan penuh rasa. Tapi, kini sosok itu pergi.

‘tok, tok, tok.’ Ada suara ketukan lagi dipintu rumah Nada.

Nada menghampiri pintu rumahnya dengan air mata yang masih mengalir dipipi. ‘Nada,  Dian udah gak ada. Dia terguling saat hendak turun gunung. Kepalanya terbentur batu besar Nada, jasadnya sedang dijalan pulang.’ Teman Dian menjelaskan dengan tatapan kasihan.

Tubuhnya berdiri kaku, seperti tak bernyawa tapi bisa merasa, seperti tak percaya dengan ini semua,

Ada yang hilang dalam hari-hariku, Saat tak bersamamu Kau selalu ku kenang dan selalu ku kenang.

Lirik Seventeen mengingatkannya lagi. Ada yang hilang dalam harinya dan Hatinya.

Tangisan Nada semakin deras mengalir, ketika membaca satu kalimat yang ditulis
difoto edelweis terakhir pemberian Dian.

‘kau bunga abadi yang selalu dihati: aku-cinta-kau.’
‘kau yang sudah pergi dan tak mungkin kembali.’
‘aku-juga-mencintai-kau. Dengan sangat.’




===== SELESAI =====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar