TRAGEDI CINTA SUCI
" Siang itu saat hujan turun rintik – rintik, aku masih berdiam diri di atas
kursi yang hanya terbuat dari kayu yang using,
dan kesendirian ku di temani dengan irama musik dari Lala Karmela yang bejudul
Satu Jam Saja. Aku semakin larut dalam dunia khayalan ku. Fikiran ku melayang
jauh, terbang sampai ke Samudra dalam gambaran bayangan yang Abstrak dan tak
berwujud.
Air mata masih menetes dari matanya, ia memandang sebuah Frame Fhoto usang
yang setiap kali ia melihatnya pasti selalu menangis. Irama itu terus menamani
siang ku dengan membara, aku terbayang dengan semua yang telah terjadi di Lima
Tahun yang lalu. Saat itu, ia dan orang yang ada di dalam fhoto itu melepas
Cinta dengan kegerimisan hati.
“Dia terus berlari. Kakinya berdiri tepat di
ambang penantian. Hidup atau mati?! Hidup menyakitkan dan mati tidak akan menyelesaikan. Tak perlu renungan, karna
aku butuh kepastian” ucap pria itu sambil berlutut memegang jemari sang gadis
yang ada di depanya
“Aku tak tahu harus berkata apa, yang jelas
aku telah larut dalam kedilemaan yang tidak berpilihan.” ucap gadis itu melepas
jemari sang pria yang memegang jemarinya tadi. Kali ini diapun membalikkan wajahnya.
“Haruskah aku bertanya – Tanya lagi, sedangkan engkau berdiri di depan ku?
Haruskah aku terus berdiam diri sedangkan aku menanti jawaban mu?”
“Jangan paksa aku untuk menjawab Bian. Karna aku tidak ingin ada Hati yang
tersakiti karna pilihan hati ku. Jangan rubah semua itu menjadi bencana yang tergores oleh sejarah.”
“Aku mohon, jangan siksa batin ku, ucapkan apa yang kau rasakan. Aku
menanti jawaban mu. Walau pahit yang akan aku terima.”
“Aku…………..Aku………………………Aku………… Aku cinta sama kamu. Tapi cinta itu hanya
berbuah rasa sayang yang berlebihan. Aku tak tahu apa itu.”
“ucapkanlah. Akulah cinta dan ucapkanlah Love, agar keraguan ku menjadi
sebuah cahaya yang meredupkan gelap ku. Jangan kau buat aku lama menunggu,
untuk sesuatu yang tak bisa di jelaskan kembali.”
“Renungan ku………………Harapan ku……………… menjadi debu terbawa semilir angin
menjadi sesuatu yang tak penting. Apa itu yang kau mau Bian? Linangan
kegerimisan hati kala aku harus menjawab semua keraguan mu pada ku?”
“Ijinkanlah aku mengetahui perasaan mu, walau kita harus berpisah dan tidak
akan pernah menjalin satu ikatan cinta lagi.”
“Kamu harus janji sama aku Bian, kamu tidak boleh mendustakan aku, karna
aku telah mengambil pilihan ini. Kalau aku tak bisa bersama mu, untuk membalas
cinta mu.”
“Apakah tidak ada lagi sedikitpun ruang dihatimu untuk menerima cinta ku?”
“Ruang itu terbuka lebar untuk cinta mu, tapi keadaan yang membuat aku
menutup ruang itu agar kita tidak mencintai mu, walaupun sakit yang kita rasa.”
“Salahkah dengan perasaan ini Nadila? Jika aku mengutarakan apa yang aku
rasakan pada mu?” Bian terus memaksa Nadila Untuk mengatakan apa yang
sebenarnya ia rasakan.
“Tidak. Aku hanya bisa terpaku diam dalam kesendirian ku tanpa cinta mu,
yang selama ini aku harapkan dari mu, yang mampu membawa aku terbang tinggi
kedalam Nirwana.”
“Lalu, kenapa kau tak membalas cinta ku?”
“Orang Tua ku yang mengharuskan aku untuk menikah dengan lelaki pilihanya.
Dan aku harus mau dengan pilihan itu. Walaupun aku mengorbankan cinta ku.
Percayalah Bian, kita akan bersatu jika kekuatan cinta tidak akan terhapus dari
cinta kita yang suci ini. Maafkan aku Bian, karna aku telah mengecewakan
dirimu.” Nadila mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Hati Bian remuk saat ia mendengar kalimat yang
keluar dari dalam mulut Nadila.
“Aku mengerti Nadila. Maafkan aku telah mencintai mu. Biarkan aku terpuruk
dengan kebohongan dalam hatiku. Aku hanya ingin kau mengerti dengan perasaan
ku, karna semua ini aku lakukan demi menepis kebodohan ku yang gila
mencintaimu. Namun, biarlah semua itu menjadi cerita Tentang Cinta yang terukir
dan terpahat di dalam hatiku yang tidak akan berakhir sampai aku mati.” Ucapnya
dengan kegerimisan hati yang di dera oleh Patah Hati.
“Aku percaya Bian. Pergilah, aku akan menunggu kekuatan cinta itu
menyelamatkan cinta kita yang tak akan pernah terkikis oleh sang waktu.” Nadila
melepaskan kepergian Bian dengan air mata yang mengalir menangisi perpisahan.
Semuanya telah menjadi bingkisan yang teramat mahal.
Nadilapun tersadar dari lamunannya. Itulah kali terakhir Nadila bertemu dengan sang kekasih. Namanya Bian Aditya. Mereka sudah mencintai tapi tak pernah mengutarakan apa yang mereka rasakan, hingga perjodohan itu datang dan Nadila harus melepaskan Cinta yang ia harapkan selama ini. Tapi itu dulu, sekarang semuanya sudah terbalik. Aku tak mau ada pernikahan itu hingga aku melarikan diri agar pernikahan itu tidak pernah terjadi. Tapi selama Lima Tahun Nadila mencari Bian, tapi dia tidak pernah menemukanya. Hingga saat ini. Setelah lima Tahun saat perpisahaan itu, Bian dan Nadila tidak pernah bertemu lagi. Mereka tak pernah bertemu lagi. Sampai akhirnya mereka bertemu di suatu tempat yang tidak di sengaja. Saat itu Nadila membeli Bunga di sebuah Toko yang berada di pinggir jalan itu. Bianpun berdiri disampingnya, tanpa mengetahui kalau itu Nadila.
“Ini satu – satunya Bunga Edelwaiss yang masih tersisa.
Cuman ini yang di dapat oleh pendaki gunung sebelum Gunung Bromo itu meletus.”
Ucap si penjual Bunga itu. Ia mengatakan kalau ini adalah bunga terakhir.
“Berapa Harganya pak?”
“Seratus Lima Puluh Ribu.”
“Saya akan membelinya, berapapun harganya.”
“Saya lihat, Adik Nadila selalu membeli Bunga Edelwaiss
ini setiap minggunya di toko saya. Anda mengoleksinya?.” Tanya pria itu sambil
merangkai Bunga Edelwaiss itu. Dan di sebelah Nadila berdiri ada seorang pria
berkemeja putih dan berkaca mata sedang memegang setangkai Mawar Putih yang
dari tadi di ciumnya.
“Ya. Saya menaruh Cinta saya di Bunga ini. Cinta yang
abadi akan selalu bersemi di dalam kelopak Bunga Edlwaiss ini. Sekalipun ia
sirna, maka keabadian akan selalu terpancar memberi kekuatan pada cinta. Saya
menunggu cinta itu, untuk langsung memberi Edelweiss ini dari petikan tanganya
sendiri.” Ungkap Nadila lirih. Pemuda itu melirik Nadila tapi tanpa melepaskan
Mawar putih itu dari hidungnya.
“Saya rasa cinta anda akan abadi seperti Bunga itu. Saya
percaya dengan itu.” Ucap penjual Bunga itu meyakini Nadila dengan harapannya.
“Sayap mengepak lebar, meniti Cinta dalam keindahan.
Kekuatan dan kedamaian menciptakan keharmonisan yang abadi seperti Bunga
Edelwaiss.” Ucap pria itu lirih. Nadila yang mendengar kalimat itu langsung
membalikan wajahnya menatap Pria berkemeja Putih itu. Jantung Nadila berdetak
kencang saat pria itu menyebutkan kalimat indah itu. Karna hanya Bian yang
mampu mengucapkan kata seindah itu. Nadilapun Refleks.
“ Bian…” panggilnya sambil langsung memeluk pria
berkemeja putih itu. Bunga Mawar yang di pegang pria itu terjatuh di tanah.
Pria itu tak membalas pelukan Nadila, ia malah menatapnya aneh dengan rasa
kejanggalan. “…aku merindukan mu Bian. Aku merindukan mu” nadila makin erat
memeluknya.
“Saya mohon lepaskan pelukan anda dari tubuh saya. Saya
sulit untuk bernafas.” Ucap Pria itu. Mendengar ucapan itu Nadilapun melepaskan
pelukanya. Ia merasa aneh, mengapa Bian bisa berkata seperti itu. Apakah ia
tidak rindu pada ku? “…kenapa anda memeluk saya?” Tanya Pria itu dengan raut
wajah yang marah.
“Karna aku merindukan mu Bian. Sekarang tidak ada lagi
yang menghalangi cinta kita, aku menolak dengan pernikahan itu. Aku lari dari
rumah, demi cinta kita Bian. Apa kamu tidak merindukan aku?”
“Saya tidak mengerti dengan apa yang anda katakan. Saya
tidak mengenal anda. Saya tidak pernah mencintai anda…” pria itu menepis ucapan
Nadila. Seorang wanita berambut panjang mendekati Pria berkemeja putih itu.
“…karna cinta saya hanya untuk Istri saya Rika.” Ia memeluk wanita itu. Tanpa
di sadari air mata Nadila menetes membasahi pipinya. Ia heran mengapa Orang
yang ia cintai tega berbicara seperti itu.
“Bian, kamu sadar dengan apa yang kamu bilang. Kamu
melupakan cinta kita Bian?” Buru Nadila. Ia masih tidak percaya dengan apa yang
keluar dari dalam mulut Pria itu.
“Maaf mbak, Saya harus pergi dengan Suami saya. Anak
kami sudah menunggu kami di dalam mobil.” Ucap wanita itu sambil menarik jemari
pria itu pergi.
“Dia Bian, dia Cinta saya. Ada yang salah dengan ini
semua. Kamu pasti berbohongkan Bian?” paksa Nadila.
“Tapi Mbak. Suami saya bilang dia tidak mengenal anda.
Itu sudah jelaskan? Maaf, kami harus pergi.” Wanita itu langsung meninggalkan
Nadila yang bersimpuh sambil menangis. Nadila hanya menangis dan bersimpuh
melihat Cintanya harus pergi dengan orang lain langsung dihadapanya. Diambilnya
Bunga yang terajatuh dari tangan Bian. Dianggapnya Bunga itu adalah pemberian
dari Bian.
Nadila selalu memegang Bunga itu, dia menganggap itu
adalah bunga yang di berikan Bian untuknya. Nadila tidak sadar betapa layunya
Bunga itu setelah tiga hari ia pandangi dan
genggam
tanpa di beri air. Nadila selalu menagis kala ia mengingat kejadian di toko Bunga itu, ia tidak menyangka akan seperti ini
jadinya. Lima Tahun Nadila mencari Bian hanya untuk mempersatukan cinta itu, dan kini Bian telah melepaskan cinta itu.
“Setiap hari kamu selalu menangis Nadila, apa yang
terjadi pada diri mu? Ceritakan pada ku!” pinta pria itu. Namanya Jeremi, ia adalah pemuda yang selalu menemani hari – hari ku
yang kelam. Ia sangat memperhatikan aku.
“ Kemarin aku ketemu sama orang yang wajahnya sangat
mirip dengan Bian. Tapi dia malah tidak mengenali aku Jeremi. Aku sedih dengan itu…”
“ Mungkin itu hanya orang yang mirip saja. Kalau memang
itu Bian yang selama ini kamu cari, tidak mungkin dia tidak mengenal kamu
Nadila”
“ Entalah Jeremi. Yang jelas
Bian telah mendustai cintanya pada ku Jeremi. Lima Tahun aku
mencarinya, tapi ini balasanya.” Nadila menangis
kembali. Jeremipun luluh melihat keadaan
itu.
“Aku mengerti dengan apa yang kamu rasakan, tapi hapus
air mata mu. Jangan engkau sia – siakan untuk sesuatu yang tak bisa kembali
lagi.” Jemari Jeremi Menghapus air mata yang
menetes di pipi Nadila.
“Hati ku sakit, dan jantung berguncang penuh ketidak
adilan.” Nadila memeluk kedua lututnya.
“Jangan Berkata lagi, itu sakit untuk ku…” ucap Jeremi spontan, Nadilapun memandangi wajahnya. “…Aku tak ingin
melepasmu dari perasaan ku, Karna aku cinta sama kamu Nadila. Cinta mu padanya,
membuat aku bahagia. Karena cinta mu membuat aku selalu tersenyum untuk mu.” Jeremi mengutarakan perasaanya pada Nadila.
“Setelah larut dalam cinta yang menyakitkan, kini kau
datang dengan cinta mu yang menghampiri perasaan ku. Aku belum bisa menerima
cinta mu itu Jeremi.” Tolak Nadila.
“Biarlah aku sendiri dengan perasaan ku, biarkanlah aku
merangkak dalam pedihnya cinta yang tak bertepi ini. Aku hanya ingin kau
bersama ku.walau ku tahu kau tak mencintai ku, karna mencintai mu adalah hal
terindah yang meluluhkan luka yang amat pedih ini.” Ucap Jeremi lirih.
“Tinggalkan aku sendiri Jeremi.
Aku ingin merenungkan semua ini.”
“Aku akan pergi Nadila. Aku akan merenungi perkataan ku
ini pada mu. Jika aku yakin dengan apa yang aku katakan pada mu Nadila.” Jeremipun meninggalkan Nadila sendiri di balkon rumahnya. Nadila
masih menangis dan Jeremi tampak sedang
patah hati.
♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥
♥
Sore itu Pria berkemeja putih itu sedang bersantai
bersama keluarganya di ruang belakang. Udara sangat sejuk, karna memang tadi
hujan baru reda. Pria itu masih teringat dengan kejadian di toko bunga itu.
Mengapa wanita itu memeluknya dan kenapa gadis itu mengetahui namanya. Kenapa
ia seperti begitu dekat dengan diriku. Aku memang Bian, tapi aku tidak mengenal
dirinya. Entalah………………..
“Ayah, aku mau Cokelate” pinta anak itu pada pria yang
sedang duduk membaca Koran. Anak perempuan itu merengek meminta pada Ayahnya.
“ Nanti Ayah beli ya.”
“ Gadis itu sepertinya mengenali kamu Bian. Apa kamu
benar – benar tidak mengingatnya?” Tanya Rika sambil meletakan secangkir Coffee di atas meja. Iapun duduk di samping Bian sambil memangku
Alin. Anak mereka.
“Aku tidak mengenalnya sayang. Aku juga tidak tahu
mengapa ia seperti itu!” ucap Bian sambil meletakan surat kabar itu di atas
meja dan meneguk coffee itu.
“Tapi dia akan membuat aku cemas Bian. Kecemasan ku ini
akan menjadi ketakutan ku akan kehilangan diri mu Bian.” wanita itu meletakan
kepalanya tepat di atas pundak Bian.
“Aku cinta sama kamu Rika. Aku tidak akan meninggalkan
kamu.”
Nadila tidak putus asa dengan kejadian itu, ia terus
mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Karna Nadila berprinsip, bahwa
Cinta akan menemukan kebenaran yang sesungguhnya. Ia mengajak Jeremi untuk pergi menemui orang tua Bian yang ada di Sumedang. Nadila masih bersiap – siap memasukan beberapa baju ke
dalam tasnya. Sedangkan di depan pintu kamar, Jeremi
masih berdiri mematung memandangi Nadila.
“ Kamu serius Dil?”
“ Iyalah aku serius. Aku harus cari tahu apa yang
terjadi dengan Bian.”
“ Tapi Dil…”
“ Kalau kamu gak mau ikut, biar aku yang pergi sendiri.”
Marah Nadila
“ Ok. Aku ikut.”
Tiga jam lebih mereka berada di perjalanan menuju ke Sumedang. Bus yang membawa mereka
melaju dengan kecepatan normal yang terus membawa para penumpangnya untuk
sampai ketempat tujuan. Setelah beberapa jam, akhirnya mereka sampai juga di Sumedang. Jeremi yang tidak tahu
tempat ini hanya mengikuti Nadila dari belakang. Nadila memanggil becak dan
memberi tahu kemana ia ingin pergi. Nadila dan Jeremipun
pergi dengan becak itu. Di sepanjang perjalanan mereka hanya diam, karna memang
ini sudah petang dan suara Adzanpun sedang
berkumandang. Beberpaa menit kemudian, merekapun sampai di depan rumah orang tua Bian. Seseorang keluar membuka pintu.
“ Ibu….” Lirih Nadila
“Ada apa kamu datang kemari?” Tanya ibu itu ketus
“Apa yang terjadi pada Bian bu, mengapa dia tidak
mengenal saya?”
“Mungkin dia sudah melupakan cintanya sama kamu. Makanya
ia melupakan kamu.” Ucap ibu itu sambil mengalihkan wajahnya dari hadapan
Nadila.
“Bian tidak akan seperti itu. Kalau tidak ada sesuatu
hal yang membuatnya harus melakukan hal itu bu.” Nadila mulai ngotot.
“ Buktinya dia tidak mengenali kamu. Sudahlah Nadila,
jangan ganggu rumah tangga Bian dan Rika. Mereka sudah bahagia, dan bukanya
kamu juga sudah bahagia dengan pilihan orang tua kamu?” ibu itu melirik kearah
Jeremi, dan Jeremi hanya menunduk.
“Saya tidak pernah menerima piliha itu bu. Saya lari
dari rumah demi cinta saya ke Bian. Lalu setelah saya bertemu dengan Bian, ia
sudah menikah dan punya anak. Itu tidak seperti janji Bian pada saya bu. Tolong
Bu, beritahu saya apa yang terjadi pada Bian bu.” Pinta Nadila sambil memohon
dan menangis.
“Pergi dari Rumah Ibu Nadila. Semuanya sudah selesai.”
Ibu itu menutup pintu rumah itu. Sedangkan Nadila masih menggedor pintu rumah
itu sambil menangis. Nadila makin histeris, ia terus menggedor pintu rumah itu dengan suara yang sedikit keras. Jeremi menahanya dengan susah payah agar Nadila menghentikan
aksi gilanya.
“Sudah Nadila. Ayo kita pergi dari sini. Percuma kamu
kayak gini, ibu itu juga tidak akan keluar lagi.”
“Aku harus tahu apa yang terjadi pada Bian Jeremi. Aku gak bisa seperti ini terus. Aku butuh penjelasan.”
Ngotot Nadila
“Tapi kamu dengar sendirikan apa yang dibilang sama
Ibunya tadi.” Jeremi mencoba menjelaskan kepada
Nadila.
“Lepaskan aku Jeremi. Kamu ngomong
seperti itu karna kamu cinta sama aku. Tapi kamu tidak tahu gimana hancurnya
perasaan aku saat Bian tidak mengenali ku. Kamu hanya mementingkan perasaan
kamu aja.” Jeremi langsung bungkam. Nadila
pergi meninggalkan Jeremi yang masih
terpaku dengan perasaanya. Tapi itu tidak bisa di tepisnya. Jeremi masih hanyut dalam pedihnya perasaan yang tak kunjung
usai. Ia masih menelusuri terotoar jalan Raya dengan langkah yang tertatih penuh kedukaan.
Adilkah Dunia ini jika aku harus terus memendam Perasaan ini. Nadila memutuskan
untuk pergi ke rumah Bian untuk mendapatkan kejelasan yang logika. Karna ia
sudah capek larut dalam kepedihan yang terus membuat hati selalu gundah.
Nadila langsung mendatangi rumah pria yang ia duga adalah
Bian. Begitu sampai di Terminal, nadila langsung
memanggil Taxi dan meluncur kerumah Pria itu. Jeremi
masih dalam perjalanan pulang, karena
mereka pulang tidak bersama.
“ Mau apa lagi anda kemari? Bukanya Suami saya sudah
bilang kalau ia tidak mengenal anda.” Ucap wanita itu sambil membuka pintu.
“ saya harus bicara dengan dia, saya butuh kejelasan
dari dia. Saya rela jika nanti dia harus bersama anda, tapi Ijinkan saya
bertemu dengan Bian. Sekali ini saja.” Pinta Nadila.
“ Dia itu siapa?” tantang Rika
“ Suami Anda…” ucap Nadila berat.
“Aku tidak bisa mengijinkannya”
Rika tak mengijinkan.
“Aku janji, aku tidak akan merebutnya dari anda. Aku janji…Ijinkan aku bertemu dengan suami anda.”
Mohon Nadila.
“Ada apa Rika?” pria itu menghampiri kami berdua.
“ Aku harus bicara sama Bian.” Desak Nadila.
“Ada apa lagi mbak? Kenapa anda mendatangi rumah saya.”
Kesal Pria itu yang melihat Nadila berdiri di depan pintu rumahnya.
“Ada hal yang harus kamu tahu Bian. Walaupun kamu tidak
mengenal aku. Tapi biarkan aku bicara empat mata dengan kamu.” Ucap Nadila
Nyerocos.
“Tolong mbak pergi dari rumah saya. Ini sudah melanggar
prifasi orang.” Usir Rika.
“Saya tidak akan pergi sebelum saya bicara dengan Bian. Please Bian…” pinta Nadila.
“Tinggalkan kami berdua disini saying”
pinta pria itu pada Istrinya.
“ Tapi Bian….” Nadila kaget mendengar Nama itu.
“ Percaya sama aku…..” Rika meninggalkan Nadila dan Bian
berdua saja. Iapun mengintip dari balik tirai jendela.”… Saya harap setelah ini
anda tidak akan mengganggu ketenangan kami lagi.”
“Aku janji Bian.”
“Ungkapkan apa yang ingin anda katakan. Saya tidak punya
banyak waktu untuk itu.”
“Ok. Kamu dan aku adalah satu cinta yang tak pernah
terpisahkan. Karna kita mempunyai cinta yang suci. Kamu pernah bilang itu sama
aku Bian. Kamu Bilang, kamu tetap mencintai aku, walaupun aku harus memilih
penikahan itu, yang pada akhirnya aku batalkan. Dan kamu janji sama aku Bian,
kamu akan memberi Bunga Terakhir itu untuk aku. Dan kamu juga ingat Bian, kamu
pernah bilang kalimat ini pada aku ‘Sayap mengepak lebar, meniti Cinta dalam
keindahan. Kekuatan dan kedamaian menciptakan keharmonisan yang abadi seperti
Bunga Edelwaiss.’ Kamu masih ingat bian?” Nadila menjelaskan semua nya. Hal itu
membuat Bian memegangi kepalanya dan memasuki memory yang lalu. Bian memegangi
kepalanya. Sepertinya ia merasakan sesuatu yang amat mendera di kepalanya.
Sepertinya sakit itu membawa ia untuk mengingat sesuatu yang telah terjadi.
Pria itupun mengingat sesuatu.
Siang itu saat Bian pergi melepaskan Jemari lentik nan
Indah itu, Bian tidak bisa lagi bertemu dengan Nadila. Bian harus kehilangan
cintanya saat itu, saat Nadila memutuskan untuk mengakhiri cinta itu. Hati Bian
sangat remuk dan hancur hingga ia tidak sadar lagi kemana ia melangkah. Ia di
tabrak oleh sedan hitam metalik dengan kecepatan Normal. Hingga Bian harus
kehilangan Ingatanya dan melupakan semua kisah cintanya. Dan pada saat itu,
Ibunda Bian menikahkan Bian dengan anak yang
menabrak Bian, yaitu Rika. Sepertinya Bian sudah dapat mengingat apa yang terjadi
padanya, di balik tirai Rika mengintip dengan linangan air mata yang haru.
“ Nadila….” Panggilnya. Ingatan Bian telah kembali. Bian
langsung memeluk Nadila dengan erat.
“ Kamu ingat sama aku Bian? Kamu ingat….?” Senang Nadila
“ Iya Nadila. Aku ingat.”
“Kenapa kamu harus mendustai cinta kita Bian? Dan apa
yang terjadi sama kamu?”
“Entalah. Yang aku tahu, aku mengalami kecelakaan dan
aku tidak tahu lagi apa yang terjadi setelah itu.” Nadila melepaskan pelukan
itu.
“Tapi kamu sudah menikah Bian. Kamu sudah punya Anak.”
Nangis Nadila
“ Ayah…………” Anak itu berlari kepelukan Ayahnya.
“ Dia cantik Bian. Siapa namanya?”
“ Nama saya Alin Tante.”
“Dia Cantik Bian, seperti Ibunya”
“ Kenapa Tante Menangis?” Tanya Anak itu polos.
“ Tidak apa-apa Alin.” Ucap
Nadila berbohong. “…. Mungkin sudah saatnya kita harus berpisah Bian. Kita
harus melupakan cinta kita. Aku hanya ingin kau tahu, kalau aku masih mencintai
kamu.”
“ Hapus air mata mu Nadila, aku tak ingin melihat mu terus menangis karna cinta
ini.”
“Meniti air mata kembali, merupakan hal yang biasa untuk
ku. Walaupun embun masih menempel di kaca jendela ketika hujan sudah reda dan
pelangi mulai muncul, aku akan tetap menangis. Yang jelas aku sudah tahu apa
perasaan kamu ke aku dan apa perasaan aku ke kamu.”
“Aku rasa tidak ada lagi yang harus di bicarakan. Bian
sekarang milik aku, dan bukan punya kamu lagi. Cinta tidak selalu menang dalam
satu keadaan yang berbeda.”
“ya. Aku akan pergi, aku akan menepati janji aku. Kalau
aku tidak akan mengganggu kehidupan kalian lagi. Aku kan pergi………………..” Nadila
melangkahkan kakinya pergi meninggalkan rumah itu. Bian dan Rika melihati
kepergian Nadila dengan linangan Air mata.
Nadilapun kembali kerumahnya dengan kehampaan hati yang
amat sia – sia. Sesampai dirumah, Nadila melihat rumah Jeremi sangatlah ramai. Ia menghapus air matanya dengan ujung
lengan bajunya. Ia heran dengan keramaian itu. Ada apa di rumah Jeremi. Mengapa banyak orang mengenakan kerudung dan ada bendera
kuning. Serta suara orang yang sedang
membaca surat yasin yang terdengar dari dalam rumah Jeremi. Ada apa ini, siapa yang meninggal. Nadila mendekati
rumah itu ia melihat apa yang terjadi.
“Ada apa ini pak?” Tanya Nadila pada pak Abdul
“ Jeremi Meninggal.”
Seru bapak itu
“Apa. Meninggal? Kenapa Pak?”
“Bapak Juga tidak tahu pasti, tapi kata Ibu Mariah. Jeremi terperosok ke jurang saat ia ingin mengambil setangkai
Bunga Edelweiss.”
“ Apa?” Nadila jadi teringat akan satu hal tentang Bunga
itu.
“ Aku Ingin ada orang yang berani mengambil Bunga
Edelweiss itu untuk mengobati luka di hati ku.”
“ Aku janji Nadila, aku akan memberikan bunga itu
langsung ketangan mu. Dan aku akan memetiknya sendiri dengan tangan ku yang
akan aku berikan kepada mu.
Itulah kalimat yang pernah diucapkan Jeremi pada Nadila. Ternyata setelah pulang dari Sumedang tidak
langsung pulang. Tapi ia pergi mendaki gunung dengan persiapan yang minim.
Hingga terjadilah hal naas ini. Aku tak menyangka Jeremi akan seperti itu. Nadilapun berdiri tepat di pintu masuk
itu.
“Ini Gara – gara kamu Nadila. Jeremi sampai nekat melakukan hal bodoh itu.” Ucap bu Mariah
sambil menagis. Bu Mariah adalah Ibu Jeremi. bu Mariah
menyalahkan aku dan aku hanya bisa menangis dan bergumam saat semua orang
melihat kearah ku
“Derai air mata menemukan titik untuk jatuh. Melihat
engkau tertidur tanpa Darah. Senyum tanpa lara dan denyut tak bernadi. Membuat
garisan cinta yang tak pernah hilang dalam hati. Terukir abadi untuk cinta
seorang Sahabat.” Ucap Nadila lirih.
“Pergi kamu dari rumah saya. Pergi………………….” Usir Bu
Mariah.
“Selamat jalan Jeremi. Senyumlah
untuk cinta mu pada diriku. Senyum untuk sebuah keindahan yang akan mempertemukan
kita nanti. Karna kau sahabat yang paling indah di dalam hidup ku. Dan maafkan
aku tidak bisa membalas cinta mu.” ucap Nadila di dalam hati sambil
meninggalkan rumah itu. Hatiku gerimis melihat kenyataan ini
♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥
♥
Bian masih diam mernung membayangkan mengapa semua ini
bisa terjadi. Sekarang dia bukanlah Bian yang dulu, tapi Bian yang sekarang
sudah mempunyai anak dan Istri. Dan yang membuat Bian tambah marah adalah saat
sang Istri membohongi masalah ini dari Bian.
“ Maafkan aku Bian. Sebenarnya aku sudah tahu apa yang
telah kamu alami selama ini. Tapi aku gak mau kehilangan kamu, karna aku cinta
sama kamu.” Pinta Rika
“ Kamu sudah membohongi aku selama Lima Tahun dan aku
kecewa sama kamu Rika.”
“ Terus kamu mau apa? Mau meninggalkan aku sementara
kita sudah punya anak Bian dan apa kamu tega membuat Alin harus menerima
kenyataan kalau ternyata Ayahnya tidak mencintai Ibunya?” Rika amat kesal dan
menantang Bian.
“Aku tahu apa yang harus aku lakukan Rika. Aku menikahi
kamu, karna aku kehilangan ingatan ku, dan aku menikahi kamu dalam situasi yang
sangat tidak normal.”
“Kamu keterlaluan Bian.”
“Kamu tidak boleh meninggalkan Rika Bian. Bagaimana
juga, dia itu istri sah kamu.” herdik Ibu yang berdiri di depan pintu.
Sepertinya ibu baru datang dari Sumedang. Setelah kejadian
itu Rika memang menelphone ibu Bian karena dia sangat panik.
“Oma……………………” Alin memeluk Omanya.
“Kamu lihat Alin, jangan sampai ia merasakan kekacauan
cinta kamu pada perkembangannya. Ngerti kamu.”
Marah Ibu itu.
“Gak. Aku harus menemui Nadila. Aku harus memilih dan
aku tidak bisa membohongi perasaan ku Ibu.” Bianpun meninggalkan rumahnya. Ia
langsung mengemudikan mobilnya dengan laju yang cepat menuju ke rumah Nadila.
♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥
♥
“Aku harus pergi meninggalkan kota ini. Aku tidak bisa
jika harus larut dalam kepedihan yang membuat aku menjadi gila. Aku tidak
bisa.” Gumamnya sambil melangkahkan kakinya.
“ Neng Dila mau kemana? Kenapa bawa tas baju sebesar
itu?” Tanya pak Ilham
“Saya harus pergi pak. Saya tidak mungkin bisa, jika
harus melihat semua kenangan itu menari – nari mengejek saya dalam imajinasi
saya pak.” Ucap Nadila.
“ Tapi neng Dila mau kemana?”
“ Saya tidak tahu pak. Yang jelas saya harus keluar dulu
dari kota ini. Permisi pak…………….” Nadila pun pergi. Lima menit Nadila pergi, Mobil Bian terparkir di depan rumahnya Nadila. Ia mendapatkan
alamat rumah itu dari penjual bunga yang selalu mengantar Bunga Edelwaiss ke
rumahnya.
“ Nadila……………Nadila…………………” herdik Bian dari pintu rumah
Nadila. Tapi tidak ada suara balasan.”…
Aku sudah mengambil keputusan Nadila. Ayo keluar Nadila.”
“ Maaf Den. Aden cari siapa ya?” Tanya Pak Ilham
“ Nadila. Saya harus ketemu dengan dia pak.”
“ Maaf Den. Neng Nadilanya baru saja pergi sekitar lima
menit yang lalu.”
“ Pergi? Kemana pak?” tanyanya panik
“ Wah…Bapak juga tidak tahu Den. Katanya dia mau pergi
meninggalkan kota ini.” Seru Pak Ilham
“ Terimakasih ya pak.” Bian langsung pergi mencari
Nadila.sepertinya Bian tahu kemana Nadila pergi. Mobil kembali terparkir di
depan sebuah Stasiun Kereta api. Bian berlari – lari mencari Nadila. Peluhpun
menetes dari setiap pori – pori tubuhnya. Bian melihat Nadila di seberang pasar
yang akan menuju kedalam Stasiun ini. Ternyata Nadila belum masuk kedalam
Stasiun ini.
Nadila……………………………………………………………………..
Panggil Bian dengan senyuman. Bianpun berlari keluar
dari dalam stasiun ini. Dan langkah Bian terhenti, kala ia melihat sebuah mobil
sedan menabrak Nadila yang tengah menyeberang. Orang – orang pada berlari mendekati Nadila yang tertabrak mobil. Bianpun
langsung menghampirinya dengan Jantung yang berdebar kencang. Nadila tertidur
di atas Aspal dengan tidak berdaya. Bianpun menggendong tubuh Nadila dan
membawanya masuk kedalam mobil. Mobil kembali melaju dan akan menuju ke rumah
sakit. Tapi sayang, Tuhan sudah mengatur semuanya. Jalanan itu tampak macet
sekali sehingga tidak ada ruang sedikitpun yang dapat memberi mobil ini untuk
jalan. Bianpun panik hingga ia menggendong Nadila kelaur dari mobil dan membopongnya
dengan berlari menelusuri jalanan yang
macet itu. Semua pengendara melihatinya dan keluar dari dalam mobil mereka.
Semua orang menyaksikan kekuatan cinta itu.
“ Kamu harus bertahan Nadila. Aku akan membawa kamu
kerumah sakit” Gumamnya sambil berlari mebopong tubuh Nadila.
Langkah Bian tak kuat lagi, hingga ia jatuh dan Nadila
masih berada di pangkuanya. Di saat itulah Bian menjerit dan sangat histeris.
Semua orang yang terjebak dalam kemacetan itu melihati mereka berdua. Nadila
sudah tidak bernyawa lagi dan dia telah terbang ke surga. Gemuruh hujan
terdengar dari sebrang sana dan guyuran hujan membasahi Bumi. Halilintar ada di
setiap ketakutan ku. Karna hari ini adalah hari yang paling mencekam.
“Tolong……………..tolong pacar saya.” pintanya pada orang-orang yang memandangi mereka di dalam hujan ini. Tapi mereka
semua diam saja. Bian menghampiri orang yang lain. “…Pak tolong, bawa pacar
saya ke rumah sakit. Tolong pak………………………………..” pintanya Memohon. Kenapa tidak
ada yang mau menolong Nadila, kenapa kalian semua diam?
“Maaf mas. Kekasih anda sudah tidak bernafas.” Kata
Supir Taxi yang mencoba melihat keadaan Nadila.
“Lancang kamu. Nadila masih hidup” Bian langsung
membekap supir taxi itu. “..kamu jangan membohongi saya, kekasih saya itu masih
hidup” herdiknya sambil melepaskan cengkraman itu. “…bangun Nadila, jangan
jadikan detik ini menjadi detik terakhir yang sulit untuk aku terima. Aku gak
mau kehilangan kamu lagi Nadila. Ayo bangun Nadila. Tuhan…..kenapa kau ambil
dia dari ku secepat ini Tuhan.” Histerisnya di tengah hujan dan kemacetan.
Semua orang memandang mereka. Dalam hujan Bian melihat Nadila dengan keanggunan
berbalut busana berwarna putih. Dia temani oleh seorang pria.
“ Ayo ikut aku Nadila” ucap Pria yang tidak di kenal
Bian. Nadila tidak menjawab, ia hanya tersenyum saja. “…tersenyumlah untuk Bian
yang ada disana” tunjuknya kearah Bian yang masih memegangi tubuh Nadila.
Nadilapun kembali tersenyum dengan indah. Dengan seketika merekapun lenyap dari
pandangan mata Bian. Bianpun menutup matanya, Saat Bian membuka matanya ia tak
lagi berada di jalanan, tapi di sebuah ruang Isolasi yang amat menakutkan. Bian
mengalami gangguan jiwa sehingga ia harus berada di dalam ruangan ini. Ia pun
seperti orang yang ketakutan dan bibirnya mengucapkan sesuatu yang perih. Hal
itu disaksikan oleh Ibu, Anak dan Istrinya.
Ketika Malam Menyelimuti
Keindahan Menghampiri aku.
Dimana aku sebenarnya?
Mengapa aku selalu begini?!
Tak ada kerlipan Bintang
Redup Cahaya Rembulan
Aku tak mau menatap keatas
Karna malam ini dia tidak
menemani ku.
Jangan selalu memaksa aku
Jadi orang lain, karna aku tak mau.
Aku tak mau lagi menjerit
Karna aku terkurung dalam
Ruangan yang tak berjendela.
Biarkan aku disini sendiri…………………………….
Dan sampai saat ini tatapan mata Bian selalu kosong dan
menatap ke satu titik yang sulit. Iapun menjadi
gila karna cinta yang membuat ia sulit. Cinta akan menemukan kebanarannya, jangan pernah meremahkan cinta. Karna cinta selalu
berkata jujur walaupun akan terasa pahit.
♥ The End ♥
Tidak ada komentar:
Posting Komentar