Sabtu, 15 Agustus 2015

TRAGEDI CINTA SUCI


 TRAGEDI CINTA SUCI

" Siang itu saat hujan turun rintik – rintik, aku masih berdiam diri di atas kursi yang hanya terbuat dari kayu yang using, dan kesendirian ku di temani dengan irama musik dari Lala Karmela yang bejudul Satu Jam Saja. Aku semakin larut dalam dunia khayalan ku. Fikiran ku melayang jauh, terbang sampai ke Samudra dalam gambaran bayangan yang Abstrak dan tak berwujud.
Air mata masih menetes dari matanya, ia memandang sebuah Frame Fhoto usang yang setiap kali ia melihatnya pasti selalu menangis. Irama itu terus menamani siang ku dengan membara, aku terbayang dengan semua yang telah terjadi di Lima Tahun yang lalu. Saat itu, ia dan orang yang ada di dalam fhoto itu melepas Cinta dengan kegerimisan hati.
“Dia terus berlari. Kakinya berdiri tepat di ambang penantian. Hidup atau mati?! Hidup menyakitkan dan mati tidak akan menyelesaikan. Tak perlu renungan, karna aku butuh kepastian” ucap pria itu sambil berlutut memegang jemari sang gadis yang ada di depanya
“Aku tak tahu harus berkata apa, yang jelas aku telah larut dalam kedilemaan yang tidak berpilihan.” ucap gadis itu melepas jemari sang pria yang memegang jemarinya tadi. Kali ini diapun membalikkan wajahnya.
“Haruskah aku bertanya – Tanya lagi, sedangkan engkau berdiri di depan ku? Haruskah aku terus berdiam diri sedangkan aku menanti jawaban mu?”
“Jangan paksa aku untuk menjawab Bian. Karna aku tidak ingin ada Hati yang tersakiti karna pilihan hati ku. Jangan rubah semua itu menjadi bencana yang tergores oleh sejarah.”
“Aku mohon, jangan siksa batin ku, ucapkan apa yang kau rasakan. Aku menanti jawaban mu. Walau pahit yang akan aku terima.”
“Aku…………..Aku………………………Aku………… Aku cinta sama kamu. Tapi cinta itu hanya berbuah rasa sayang yang berlebihan. Aku tak tahu apa itu.”
“ucapkanlah. Akulah cinta dan ucapkanlah Love, agar keraguan ku menjadi sebuah cahaya yang meredupkan gelap ku. Jangan kau buat aku lama menunggu, untuk sesuatu yang tak bisa di jelaskan kembali.”
“Renungan ku………………Harapan ku……………… menjadi debu terbawa semilir angin menjadi sesuatu yang tak penting. Apa itu yang kau mau Bian? Linangan kegerimisan hati kala aku harus menjawab semua keraguan mu pada ku?”
“Ijinkanlah aku mengetahui perasaan mu, walau kita harus berpisah dan tidak akan pernah menjalin satu ikatan cinta lagi.”
“Kamu harus janji sama aku Bian, kamu tidak boleh mendustakan aku, karna aku telah mengambil pilihan ini. Kalau aku tak bisa bersama mu, untuk membalas cinta mu.”
“Apakah tidak ada lagi sedikitpun ruang dihatimu untuk menerima cinta ku?”
“Ruang itu terbuka lebar untuk cinta mu, tapi keadaan yang membuat aku menutup ruang itu agar kita tidak mencintai mu, walaupun sakit yang kita rasa.”
“Salahkah dengan perasaan ini Nadila? Jika aku mengutarakan apa yang aku rasakan pada mu?” Bian terus memaksa Nadila Untuk mengatakan apa yang sebenarnya ia rasakan.
“Tidak. Aku hanya bisa terpaku diam dalam kesendirian ku tanpa cinta mu, yang selama ini aku harapkan dari mu, yang mampu membawa aku terbang tinggi kedalam Nirwana.”
“Lalu, kenapa kau tak membalas cinta ku?”
“Orang Tua ku yang mengharuskan aku untuk menikah dengan lelaki pilihanya. Dan aku harus mau dengan pilihan itu. Walaupun aku mengorbankan cinta ku. Percayalah Bian, kita akan bersatu jika kekuatan cinta tidak akan terhapus dari cinta kita yang suci ini. Maafkan aku Bian, karna aku telah mengecewakan dirimu.” Nadila mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Hati Bian remuk saat ia mendengar kalimat yang keluar dari dalam mulut Nadila.
“Aku mengerti Nadila. Maafkan aku telah mencintai mu. Biarkan aku terpuruk dengan kebohongan dalam hatiku. Aku hanya ingin kau mengerti dengan perasaan ku, karna semua ini aku lakukan demi menepis kebodohan ku yang gila mencintaimu. Namun, biarlah semua itu menjadi cerita Tentang Cinta yang terukir dan terpahat di dalam hatiku yang tidak akan berakhir sampai aku mati.” Ucapnya dengan kegerimisan hati yang di dera oleh Patah Hati.
“Aku percaya Bian. Pergilah, aku akan menunggu kekuatan cinta itu menyelamatkan cinta kita yang tak akan pernah terkikis oleh sang waktu.” Nadila melepaskan kepergian Bian dengan air mata yang mengalir menangisi perpisahan. Semuanya telah menjadi bingkisan yang teramat mahal.


Nadilapun tersadar dari lamunannya. Itulah kali terakhir Nadila bertemu dengan sang kekasih. Namanya Bian Aditya. Mereka sudah mencintai tapi tak pernah mengutarakan apa yang mereka rasakan, hingga perjodohan itu datang dan Nadila harus melepaskan Cinta yang ia harapkan selama ini. Tapi itu dulu, sekarang semuanya sudah terbalik. Aku tak mau ada pernikahan itu hingga aku melarikan diri agar pernikahan itu tidak pernah terjadi. Tapi selama Lima Tahun Nadila mencari Bian, tapi dia tidak pernah menemukanya. Hingga saat ini. Setelah lima Tahun saat perpisahaan itu, Bian dan Nadila tidak pernah bertemu lagi. Mereka tak pernah bertemu lagi. Sampai akhirnya mereka bertemu di suatu tempat yang tidak di sengaja. Saat itu Nadila membeli Bunga di sebuah Toko yang berada di pinggir jalan itu. Bianpun berdiri disampingnya, tanpa mengetahui kalau itu Nadila.

“Ini satu – satunya Bunga Edelwaiss yang masih tersisa. Cuman ini yang di dapat oleh pendaki gunung sebelum Gunung Bromo itu meletus.” Ucap si penjual Bunga itu. Ia mengatakan kalau ini adalah bunga terakhir.
“Berapa Harganya pak?”
“Seratus Lima Puluh Ribu.”
“Saya akan membelinya, berapapun harganya.”
“Saya lihat, Adik Nadila selalu membeli Bunga Edelwaiss ini setiap minggunya di toko saya. Anda mengoleksinya?.” Tanya pria itu sambil merangkai Bunga Edelwaiss itu. Dan di sebelah Nadila berdiri ada seorang pria berkemeja putih dan berkaca mata sedang memegang setangkai Mawar Putih yang dari tadi di ciumnya.
“Ya. Saya menaruh Cinta saya di Bunga ini. Cinta yang abadi akan selalu bersemi di dalam kelopak Bunga Edlwaiss ini. Sekalipun ia sirna, maka keabadian akan selalu terpancar memberi kekuatan pada cinta. Saya menunggu cinta itu, untuk langsung memberi Edelweiss ini dari petikan tanganya sendiri.” Ungkap Nadila lirih. Pemuda itu melirik Nadila tapi tanpa melepaskan Mawar putih itu dari hidungnya.
“Saya rasa cinta anda akan abadi seperti Bunga itu. Saya percaya dengan itu.” Ucap penjual Bunga itu meyakini Nadila dengan harapannya.
“Sayap mengepak lebar, meniti Cinta dalam keindahan. Kekuatan dan kedamaian menciptakan keharmonisan yang abadi seperti Bunga Edelwaiss.” Ucap pria itu lirih. Nadila yang mendengar kalimat itu langsung membalikan wajahnya menatap Pria berkemeja Putih itu. Jantung Nadila berdetak kencang saat pria itu menyebutkan kalimat indah itu. Karna hanya Bian yang mampu mengucapkan kata seindah itu. Nadilapun Refleks.
“ Bian…” panggilnya sambil langsung memeluk pria berkemeja putih itu. Bunga Mawar yang di pegang pria itu terjatuh di tanah. Pria itu tak membalas pelukan Nadila, ia malah menatapnya aneh dengan rasa kejanggalan. “…aku merindukan mu Bian. Aku merindukan mu” nadila makin erat memeluknya.
“Saya mohon lepaskan pelukan anda dari tubuh saya. Saya sulit untuk bernafas.” Ucap Pria itu. Mendengar ucapan itu Nadilapun melepaskan pelukanya. Ia merasa aneh, mengapa Bian bisa berkata seperti itu. Apakah ia tidak rindu pada ku? “…kenapa anda memeluk saya?” Tanya Pria itu dengan raut wajah yang marah.
“Karna aku merindukan mu Bian. Sekarang tidak ada lagi yang menghalangi cinta kita, aku menolak dengan pernikahan itu. Aku lari dari rumah, demi cinta kita Bian. Apa kamu tidak merindukan aku?”
“Saya tidak mengerti dengan apa yang anda katakan. Saya tidak mengenal anda. Saya tidak pernah mencintai anda…” pria itu menepis ucapan Nadila. Seorang wanita berambut panjang mendekati Pria berkemeja putih itu. “…karna cinta saya hanya untuk Istri saya Rika.” Ia memeluk wanita itu. Tanpa di sadari air mata Nadila menetes membasahi pipinya. Ia heran mengapa Orang yang ia cintai tega berbicara seperti itu.
“Bian, kamu sadar dengan apa yang kamu bilang. Kamu melupakan cinta kita Bian?” Buru Nadila. Ia masih tidak percaya dengan apa yang keluar dari dalam mulut Pria itu.
“Maaf mbak, Saya harus pergi dengan Suami saya. Anak kami sudah menunggu kami di dalam mobil.” Ucap wanita itu sambil menarik jemari pria itu pergi.
“Dia Bian, dia Cinta saya. Ada yang salah dengan ini semua. Kamu pasti berbohongkan Bian?” paksa Nadila.
“Tapi Mbak. Suami saya bilang dia tidak mengenal anda. Itu sudah jelaskan? Maaf, kami harus pergi.” Wanita itu langsung meninggalkan Nadila yang bersimpuh sambil menangis. Nadila hanya menangis dan bersimpuh melihat Cintanya harus pergi dengan orang lain langsung dihadapanya. Diambilnya Bunga yang terajatuh dari tangan Bian. Dianggapnya Bunga itu adalah pemberian dari Bian.
Nadila selalu memegang Bunga itu, dia menganggap itu adalah bunga yang di berikan Bian untuknya. Nadila tidak sadar betapa layunya Bunga itu setelah tiga hari ia pandangi dan genggam tanpa di beri air. Nadila selalu menagis kala ia mengingat kejadian di toko Bunga itu, ia tidak menyangka akan seperti ini jadinya. Lima Tahun Nadila mencari Bian hanya untuk mempersatukan cinta itu, dan kini Bian telah melepaskan cinta itu.
“Setiap hari kamu selalu menangis Nadila, apa yang terjadi pada diri mu? Ceritakan pada ku!” pinta pria itu. Namanya Jeremi, ia adalah pemuda yang selalu menemani hari – hari ku yang kelam. Ia sangat memperhatikan aku.
“ Kemarin aku ketemu sama orang yang wajahnya sangat mirip dengan Bian. Tapi dia malah tidak mengenali aku Jeremi. Aku sedih dengan itu…”
“ Mungkin itu hanya orang yang mirip saja. Kalau memang itu Bian yang selama ini kamu cari, tidak mungkin dia tidak mengenal kamu Nadila”
“ Entalah Jeremi. Yang jelas Bian telah mendustai cintanya pada ku Jeremi. Lima Tahun aku mencarinya, tapi ini balasanya.” Nadila menangis kembali. Jeremipun luluh melihat keadaan itu.
“Aku mengerti dengan apa yang kamu rasakan, tapi hapus air mata mu. Jangan engkau sia – siakan untuk sesuatu yang tak bisa kembali lagi.” Jemari Jeremi Menghapus air mata yang menetes di pipi Nadila.
“Hati ku sakit, dan jantung berguncang penuh ketidak adilan.” Nadila memeluk kedua lututnya.
“Jangan Berkata lagi, itu sakit untuk ku…” ucap Jeremi spontan, Nadilapun memandangi wajahnya. “…Aku tak ingin melepasmu dari perasaan ku, Karna aku cinta sama kamu Nadila. Cinta mu padanya, membuat aku bahagia. Karena cinta mu membuat aku selalu tersenyum untuk mu.” Jeremi mengutarakan perasaanya pada Nadila.
“Setelah larut dalam cinta yang menyakitkan, kini kau datang dengan cinta mu yang menghampiri perasaan ku. Aku belum bisa menerima cinta mu itu Jeremi.” Tolak Nadila.
“Biarlah aku sendiri dengan perasaan ku, biarkanlah aku merangkak dalam pedihnya cinta yang tak bertepi ini. Aku hanya ingin kau bersama ku.walau ku tahu kau tak mencintai ku, karna mencintai mu adalah hal terindah yang meluluhkan luka yang amat pedih ini.” Ucap Jeremi lirih.
“Tinggalkan aku sendiri Jeremi. Aku ingin merenungkan semua ini.”
“Aku akan pergi Nadila. Aku akan merenungi perkataan ku ini pada mu. Jika aku yakin dengan apa yang aku katakan pada mu Nadila.” Jeremipun meninggalkan Nadila sendiri di balkon rumahnya. Nadila masih menangis dan Jeremi tampak sedang patah hati.

♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ 

Sore itu Pria berkemeja putih itu sedang bersantai bersama keluarganya di ruang belakang. Udara sangat sejuk, karna memang tadi hujan baru reda. Pria itu masih teringat dengan kejadian di toko bunga itu. Mengapa wanita itu memeluknya dan kenapa gadis itu mengetahui namanya. Kenapa ia seperti begitu dekat dengan diriku. Aku memang Bian, tapi aku tidak mengenal dirinya. Entalah………………..
“Ayah, aku mau Cokelate” pinta anak itu pada pria yang sedang duduk membaca Koran. Anak perempuan itu merengek meminta pada Ayahnya.
“ Nanti Ayah beli ya.”
“ Gadis itu sepertinya mengenali kamu Bian. Apa kamu benar – benar tidak mengingatnya?” Tanya Rika sambil meletakan secangkir Coffee di atas meja. Iapun duduk di samping Bian sambil memangku Alin. Anak mereka.
Aku tidak mengenalnya sayang. Aku juga tidak tahu mengapa ia seperti itu!” ucap Bian sambil meletakan surat kabar itu di atas meja dan meneguk coffee itu.
“Tapi dia akan membuat aku cemas Bian. Kecemasan ku ini akan menjadi ketakutan ku akan kehilangan diri mu Bian.” wanita itu meletakan kepalanya tepat di atas pundak Bian.
“Aku cinta sama kamu Rika. Aku tidak akan meninggalkan kamu.”
Nadila tidak putus asa dengan kejadian itu, ia terus mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Karna Nadila berprinsip, bahwa Cinta akan menemukan kebenaran yang sesungguhnya. Ia mengajak Jeremi untuk pergi menemui orang tua Bian yang ada di Sumedang. Nadila masih bersiap – siap memasukan beberapa baju ke dalam tasnya. Sedangkan di depan pintu kamar, Jeremi masih berdiri mematung memandangi Nadila.
“ Kamu serius Dil?”
“ Iyalah aku serius. Aku harus cari tahu apa yang terjadi dengan Bian.”
“ Tapi Dil…”
“ Kalau kamu gak mau ikut, biar aku yang pergi sendiri.” Marah Nadila
“ Ok. Aku ikut.”
Tiga jam lebih mereka berada di perjalanan menuju ke Sumedang. Bus yang membawa mereka melaju dengan kecepatan normal yang terus membawa para penumpangnya untuk sampai ketempat tujuan. Setelah beberapa jam, akhirnya mereka sampai juga di Sumedang. Jeremi yang tidak tahu tempat ini hanya mengikuti Nadila dari belakang. Nadila memanggil becak dan memberi tahu kemana ia ingin pergi. Nadila dan Jeremipun pergi dengan becak itu. Di sepanjang perjalanan mereka hanya diam, karna memang ini sudah petang dan suara Adzanpun sedang berkumandang. Beberpaa menit kemudian, merekapun sampai di depan rumah orang tua Bian. Seseorang keluar membuka pintu.
“ Ibu….” Lirih Nadila
“Ada apa kamu datang kemari?” Tanya ibu itu ketus
“Apa yang terjadi pada Bian bu, mengapa dia tidak mengenal saya?”
“Mungkin dia sudah melupakan cintanya sama kamu. Makanya ia melupakan kamu.” Ucap ibu itu sambil mengalihkan wajahnya dari hadapan Nadila.
“Bian tidak akan seperti itu. Kalau tidak ada sesuatu hal yang membuatnya harus melakukan hal itu bu.” Nadila mulai ngotot.
“ Buktinya dia tidak mengenali kamu. Sudahlah Nadila, jangan ganggu rumah tangga Bian dan Rika. Mereka sudah bahagia, dan bukanya kamu juga sudah bahagia dengan pilihan orang tua kamu?” ibu itu melirik kearah Jeremi, dan Jeremi hanya menunduk.
“Saya tidak pernah menerima piliha itu bu. Saya lari dari rumah demi cinta saya ke Bian. Lalu setelah saya bertemu dengan Bian, ia sudah menikah dan punya anak. Itu tidak seperti janji Bian pada saya bu. Tolong Bu, beritahu saya apa yang terjadi pada Bian bu.” Pinta Nadila sambil memohon dan menangis.
“Pergi dari Rumah Ibu Nadila. Semuanya sudah selesai.” Ibu itu menutup pintu rumah itu. Sedangkan Nadila masih menggedor pintu rumah itu sambil menangis. Nadila makin histeris, ia terus menggedor pintu rumah itu dengan suara yang sedikit keras. Jeremi menahanya dengan susah payah agar Nadila menghentikan aksi gilanya.
“Sudah Nadila. Ayo kita pergi dari sini. Percuma kamu kayak gini, ibu itu juga tidak akan keluar lagi.”
“Aku harus tahu apa yang terjadi pada Bian Jeremi. Aku gak bisa seperti ini terus. Aku butuh penjelasan.” Ngotot Nadila
“Tapi kamu dengar sendirikan apa yang dibilang sama Ibunya tadi.” Jeremi mencoba menjelaskan kepada Nadila.
“Lepaskan aku Jeremi. Kamu ngomong seperti itu karna kamu cinta sama aku. Tapi kamu tidak tahu gimana hancurnya perasaan aku saat Bian tidak mengenali ku. Kamu hanya mementingkan perasaan kamu aja.” Jeremi langsung bungkam. Nadila pergi meninggalkan Jeremi yang masih terpaku dengan perasaanya. Tapi itu tidak bisa di tepisnya. Jeremi masih hanyut dalam pedihnya perasaan yang tak kunjung usai. Ia masih menelusuri terotoar jalan Raya dengan langkah yang tertatih penuh kedukaan. Adilkah Dunia ini jika aku harus terus memendam Perasaan ini. Nadila memutuskan untuk pergi ke rumah Bian untuk mendapatkan kejelasan yang logika. Karna ia sudah capek larut dalam kepedihan yang terus membuat hati selalu gundah.
Nadila langsung mendatangi rumah pria yang ia duga adalah Bian. Begitu sampai di Terminal, nadila langsung memanggil Taxi dan meluncur kerumah Pria itu. Jeremi masih dalam perjalanan pulang, karena mereka pulang tidak bersama.
“ Mau apa lagi anda kemari? Bukanya Suami saya sudah bilang kalau ia tidak mengenal anda.” Ucap wanita itu sambil membuka pintu.
“ saya harus bicara dengan dia, saya butuh kejelasan dari dia. Saya rela jika nanti dia harus bersama anda, tapi Ijinkan saya bertemu dengan Bian. Sekali ini saja.” Pinta Nadila.
“ Dia itu siapa?” tantang Rika
“ Suami Anda…” ucap Nadila berat.
“Aku tidak bisa mengijinkannya” Rika tak mengijinkan.
“Aku janji, aku tidak akan merebutnya dari anda. Aku janji…Ijinkan aku bertemu dengan suami anda.” Mohon Nadila.
“Ada apa Rika?” pria itu menghampiri kami berdua.
“ Aku harus bicara sama Bian.” Desak Nadila.
“Ada apa lagi mbak? Kenapa anda mendatangi rumah saya.” Kesal Pria itu yang melihat Nadila berdiri di depan pintu rumahnya.
“Ada hal yang harus kamu tahu Bian. Walaupun kamu tidak mengenal aku. Tapi biarkan aku bicara empat mata dengan kamu.” Ucap Nadila Nyerocos.
“Tolong mbak pergi dari rumah saya. Ini sudah melanggar prifasi orang.” Usir Rika.
“Saya tidak akan pergi sebelum saya bicara dengan Bian. Please Bian…” pinta Nadila.
Tinggalkan kami berdua disini saying” pinta pria itu pada Istrinya.
“ Tapi Bian….” Nadila kaget mendengar Nama itu.
“ Percaya sama aku…..” Rika meninggalkan Nadila dan Bian berdua saja. Iapun mengintip dari balik tirai jendela.”… Saya harap setelah ini anda tidak akan mengganggu ketenangan kami lagi.”
“Aku janji Bian.”
“Ungkapkan apa yang ingin anda katakan. Saya tidak punya banyak waktu untuk itu.”
“Ok. Kamu dan aku adalah satu cinta yang tak pernah terpisahkan. Karna kita mempunyai cinta yang suci. Kamu pernah bilang itu sama aku Bian. Kamu Bilang, kamu tetap mencintai aku, walaupun aku harus memilih penikahan itu, yang pada akhirnya aku batalkan. Dan kamu janji sama aku Bian, kamu akan memberi Bunga Terakhir itu untuk aku. Dan kamu juga ingat Bian, kamu pernah bilang kalimat ini pada aku ‘Sayap mengepak lebar, meniti Cinta dalam keindahan. Kekuatan dan kedamaian menciptakan keharmonisan yang abadi seperti Bunga Edelwaiss.’ Kamu masih ingat bian?” Nadila menjelaskan semua nya. Hal itu membuat Bian memegangi kepalanya dan memasuki memory yang lalu. Bian memegangi kepalanya. Sepertinya ia merasakan sesuatu yang amat mendera di kepalanya. Sepertinya sakit itu membawa ia untuk mengingat sesuatu yang telah terjadi. Pria itupun mengingat sesuatu.
Siang itu saat Bian pergi melepaskan Jemari lentik nan Indah itu, Bian tidak bisa lagi bertemu dengan Nadila. Bian harus kehilangan cintanya saat itu, saat Nadila memutuskan untuk mengakhiri cinta itu. Hati Bian sangat remuk dan hancur hingga ia tidak sadar lagi kemana ia melangkah. Ia di tabrak oleh sedan hitam metalik dengan kecepatan Normal. Hingga Bian harus kehilangan Ingatanya dan melupakan semua kisah cintanya. Dan pada saat itu, Ibunda Bian menikahkan Bian dengan anak yang menabrak Bian, yaitu Rika. Sepertinya Bian sudah dapat mengingat apa yang terjadi padanya, di balik tirai Rika mengintip dengan linangan air mata yang haru.
“ Nadila….” Panggilnya. Ingatan Bian telah kembali. Bian langsung memeluk Nadila dengan erat.
“ Kamu ingat sama aku Bian? Kamu ingat….?” Senang Nadila
“ Iya Nadila. Aku ingat.”
“Kenapa kamu harus mendustai cinta kita Bian? Dan apa yang terjadi sama kamu?”
“Entalah. Yang aku tahu, aku mengalami kecelakaan dan aku tidak tahu lagi apa yang terjadi setelah itu.” Nadila melepaskan pelukan itu.
“Tapi kamu sudah menikah Bian. Kamu sudah punya Anak.” Nangis Nadila
“ Ayah…………” Anak itu berlari kepelukan Ayahnya.
“ Dia cantik Bian. Siapa namanya?”
“ Nama saya Alin Tante.”
“Dia Cantik Bian, seperti Ibunya”
“ Kenapa Tante Menangis?” Tanya Anak itu polos.
“ Tidak apa-apa Alin.” Ucap Nadila berbohong. “…. Mungkin sudah saatnya kita harus berpisah Bian. Kita harus melupakan cinta kita. Aku hanya ingin kau tahu, kalau aku masih mencintai kamu.”
“ Hapus air mata mu Nadila, aku tak ingin melihat mu terus menangis karna cinta ini.”
“Meniti air mata kembali, merupakan hal yang biasa untuk ku. Walaupun embun masih menempel di kaca jendela ketika hujan sudah reda dan pelangi mulai muncul, aku akan tetap menangis. Yang jelas aku sudah tahu apa perasaan kamu ke aku dan apa perasaan aku ke kamu.”
“Aku rasa tidak ada lagi yang harus di bicarakan. Bian sekarang milik aku, dan bukan punya kamu lagi. Cinta tidak selalu menang dalam satu keadaan yang berbeda.”
“ya. Aku akan pergi, aku akan menepati janji aku. Kalau aku tidak akan mengganggu kehidupan kalian lagi. Aku kan pergi………………..” Nadila melangkahkan kakinya pergi meninggalkan rumah itu. Bian dan Rika melihati kepergian Nadila dengan linangan Air mata.
Nadilapun kembali kerumahnya dengan kehampaan hati yang amat sia – sia. Sesampai dirumah, Nadila melihat rumah Jeremi sangatlah ramai. Ia menghapus air matanya dengan ujung lengan bajunya. Ia heran dengan keramaian itu. Ada apa di rumah Jeremi. Mengapa banyak orang mengenakan kerudung dan ada bendera kuning. Serta suara orang yang sedang membaca surat yasin yang terdengar dari dalam rumah Jeremi. Ada apa ini, siapa yang meninggal. Nadila mendekati rumah itu ia melihat apa yang terjadi.
“Ada apa ini pak?” Tanya Nadila pada pak Abdul
“ Jeremi Meninggal.” Seru bapak itu
“Apa. Meninggal? Kenapa Pak?”
“Bapak Juga tidak tahu pasti, tapi kata Ibu Mariah. Jeremi terperosok ke jurang saat ia ingin mengambil setangkai Bunga Edelweiss.”
“ Apa?” Nadila jadi teringat akan satu hal tentang Bunga itu.
“ Aku Ingin ada orang yang berani mengambil Bunga Edelweiss itu untuk mengobati luka di hati ku.”
“ Aku janji Nadila, aku akan memberikan bunga itu langsung ketangan mu. Dan aku akan memetiknya sendiri dengan tangan ku yang akan aku berikan kepada mu.
Itulah kalimat yang pernah diucapkan Jeremi pada Nadila. Ternyata setelah pulang dari Sumedang tidak langsung pulang. Tapi ia pergi mendaki gunung dengan persiapan yang minim. Hingga terjadilah hal naas ini. Aku tak menyangka Jeremi akan seperti itu. Nadilapun berdiri tepat di pintu masuk itu.
“Ini Gara – gara kamu Nadila. Jeremi sampai nekat melakukan hal bodoh itu.” Ucap bu Mariah sambil menagis. Bu Mariah adalah Ibu Jeremi. bu Mariah menyalahkan aku dan aku hanya bisa menangis dan bergumam saat semua orang melihat kearah ku
“Derai air mata menemukan titik untuk jatuh. Melihat engkau tertidur tanpa Darah. Senyum tanpa lara dan denyut tak bernadi. Membuat garisan cinta yang tak pernah hilang dalam hati. Terukir abadi untuk cinta seorang Sahabat.” Ucap Nadila lirih.
“Pergi kamu dari rumah saya. Pergi………………….” Usir Bu Mariah.
“Selamat jalan Jeremi. Senyumlah untuk cinta mu pada diriku. Senyum untuk sebuah keindahan yang akan mempertemukan kita nanti. Karna kau sahabat yang paling indah di dalam hidup ku. Dan maafkan aku tidak bisa membalas cinta mu.” ucap Nadila di dalam hati sambil meninggalkan rumah itu. Hatiku gerimis melihat kenyataan ini

♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥

Bian masih diam mernung membayangkan mengapa semua ini bisa terjadi. Sekarang dia bukanlah Bian yang dulu, tapi Bian yang sekarang sudah mempunyai anak dan Istri. Dan yang membuat Bian tambah marah adalah saat sang Istri membohongi masalah ini dari Bian.
“ Maafkan aku Bian. Sebenarnya aku sudah tahu apa yang telah kamu alami selama ini. Tapi aku gak mau kehilangan kamu, karna aku cinta sama kamu.” Pinta Rika
“ Kamu sudah membohongi aku selama Lima Tahun dan aku kecewa sama kamu Rika.”
“ Terus kamu mau apa? Mau meninggalkan aku sementara kita sudah punya anak Bian dan apa kamu tega membuat Alin harus menerima kenyataan kalau ternyata Ayahnya tidak mencintai Ibunya?” Rika amat kesal dan menantang Bian.
“Aku tahu apa yang harus aku lakukan Rika. Aku menikahi kamu, karna aku kehilangan ingatan ku, dan aku menikahi kamu dalam situasi yang sangat tidak normal.”
“Kamu keterlaluan Bian.”
“Kamu tidak boleh meninggalkan Rika Bian. Bagaimana juga, dia itu istri sah kamu.” herdik Ibu yang berdiri di depan pintu. Sepertinya ibu baru datang dari Sumedang. Setelah kejadian itu Rika memang menelphone ibu Bian karena dia sangat panik.
“Oma……………………” Alin memeluk Omanya.
“Kamu lihat Alin, jangan sampai ia merasakan kekacauan cinta kamu pada perkembangannya. Ngerti kamu.” Marah Ibu itu.
“Gak. Aku harus menemui Nadila. Aku harus memilih dan aku tidak bisa membohongi perasaan ku Ibu.” Bianpun meninggalkan rumahnya. Ia langsung mengemudikan mobilnya dengan laju yang cepat menuju ke rumah Nadila.

♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ 

“Aku harus pergi meninggalkan kota ini. Aku tidak bisa jika harus larut dalam kepedihan yang membuat aku menjadi gila. Aku tidak bisa.” Gumamnya sambil melangkahkan kakinya.
“ Neng Dila mau kemana? Kenapa bawa tas baju sebesar itu?” Tanya pak Ilham
“Saya harus pergi pak. Saya tidak mungkin bisa, jika harus melihat semua kenangan itu menari – nari mengejek saya dalam imajinasi saya pak.” Ucap Nadila.
“ Tapi neng Dila mau kemana?”
“ Saya tidak tahu pak. Yang jelas saya harus keluar dulu dari kota ini. Permisi pak…………….” Nadila pun pergi. Lima menit Nadila pergi, Mobil Bian terparkir di depan rumahnya Nadila. Ia mendapatkan alamat rumah itu dari penjual bunga yang selalu mengantar Bunga Edelwaiss ke rumahnya.
“ Nadila……………Nadila…………………” herdik Bian dari pintu rumah Nadila. Tapi tidak ada suara balasan.”… Aku sudah mengambil keputusan Nadila. Ayo keluar Nadila.”
“ Maaf Den. Aden cari siapa ya?” Tanya Pak Ilham
“ Nadila. Saya harus ketemu dengan dia pak.”
“ Maaf Den. Neng Nadilanya baru saja pergi sekitar lima menit yang lalu.”
“ Pergi? Kemana pak?” tanyanya panik
“ Wah…Bapak juga tidak tahu Den. Katanya dia mau pergi meninggalkan kota ini.” Seru Pak Ilham
“ Terimakasih ya pak.” Bian langsung pergi mencari Nadila.sepertinya Bian tahu kemana Nadila pergi. Mobil kembali terparkir di depan sebuah Stasiun Kereta api. Bian berlari – lari mencari Nadila. Peluhpun menetes dari setiap pori – pori tubuhnya. Bian melihat Nadila di seberang pasar yang akan menuju kedalam Stasiun ini. Ternyata Nadila belum masuk kedalam Stasiun ini.
Nadila……………………………………………………………………..
Panggil Bian dengan senyuman. Bianpun berlari keluar dari dalam stasiun ini. Dan langkah Bian terhenti, kala ia melihat sebuah mobil sedan menabrak Nadila yang tengah menyeberang. Orang – orang pada berlari mendekati Nadila yang tertabrak mobil. Bianpun langsung menghampirinya dengan Jantung yang berdebar kencang. Nadila tertidur di atas Aspal dengan tidak berdaya. Bianpun menggendong tubuh Nadila dan membawanya masuk kedalam mobil. Mobil kembali melaju dan akan menuju ke rumah sakit. Tapi sayang, Tuhan sudah mengatur semuanya. Jalanan itu tampak macet sekali sehingga tidak ada ruang sedikitpun yang dapat memberi mobil ini untuk jalan. Bianpun panik hingga ia menggendong Nadila kelaur dari mobil dan membopongnya dengan berlari menelusuri jalanan yang macet itu. Semua pengendara melihatinya dan keluar dari dalam mobil mereka. Semua orang menyaksikan kekuatan cinta itu.
“ Kamu harus bertahan Nadila. Aku akan membawa kamu kerumah sakit” Gumamnya sambil berlari mebopong tubuh Nadila.
Langkah Bian tak kuat lagi, hingga ia jatuh dan Nadila masih berada di pangkuanya. Di saat itulah Bian menjerit dan sangat histeris. Semua orang yang terjebak dalam kemacetan itu melihati mereka berdua. Nadila sudah tidak bernyawa lagi dan dia telah terbang ke surga. Gemuruh hujan terdengar dari sebrang sana dan guyuran hujan membasahi Bumi. Halilintar ada di setiap ketakutan ku. Karna hari ini adalah hari yang paling mencekam.
“Tolong……………..tolong pacar saya.” pintanya pada orang-orang yang memandangi mereka di dalam hujan ini. Tapi mereka semua diam saja. Bian menghampiri orang yang lain. “…Pak tolong, bawa pacar saya ke rumah sakit. Tolong pak………………………………..” pintanya Memohon. Kenapa tidak ada yang mau menolong Nadila, kenapa kalian semua diam?
“Maaf mas. Kekasih anda sudah tidak bernafas.” Kata Supir Taxi yang mencoba melihat keadaan Nadila.
“Lancang kamu. Nadila masih hidup” Bian langsung membekap supir taxi itu. “..kamu jangan membohongi saya, kekasih saya itu masih hidup” herdiknya sambil melepaskan cengkraman itu. “…bangun Nadila, jangan jadikan detik ini menjadi detik terakhir yang sulit untuk aku terima. Aku gak mau kehilangan kamu lagi Nadila. Ayo bangun Nadila. Tuhan…..kenapa kau ambil dia dari ku secepat ini Tuhan.” Histerisnya di tengah hujan dan kemacetan. Semua orang memandang mereka. Dalam hujan Bian melihat Nadila dengan keanggunan berbalut busana berwarna putih. Dia temani oleh seorang pria.
“ Ayo ikut aku Nadila” ucap Pria yang tidak di kenal Bian. Nadila tidak menjawab, ia hanya tersenyum saja. “…tersenyumlah untuk Bian yang ada disana” tunjuknya kearah Bian yang masih memegangi tubuh Nadila. Nadilapun kembali tersenyum dengan indah. Dengan seketika merekapun lenyap dari pandangan mata Bian. Bianpun menutup matanya, Saat Bian membuka matanya ia tak lagi berada di jalanan, tapi di sebuah ruang Isolasi yang amat menakutkan. Bian mengalami gangguan jiwa sehingga ia harus berada di dalam ruangan ini. Ia pun seperti orang yang ketakutan dan bibirnya mengucapkan sesuatu yang perih. Hal itu disaksikan oleh Ibu, Anak dan Istrinya.

Ketika Malam Menyelimuti
Keindahan Menghampiri aku.
Dimana aku sebenarnya?
Mengapa aku selalu begini?!
Tak ada kerlipan Bintang
Redup Cahaya Rembulan
Aku tak mau menatap keatas
Karna malam ini dia tidak menemani ku.
Jangan selalu memaksa aku
Jadi orang lain, karna aku tak mau.
Aku tak mau lagi menjerit
Karna aku terkurung dalam
Ruangan yang tak berjendela.
Biarkan aku disini sendiri…………………………….

Dan sampai saat ini tatapan mata Bian selalu kosong dan menatap ke satu titik yang sulit. Iapun menjadi gila karna cinta yang membuat ia sulit. Cinta akan menemukan kebanarannya, jangan pernah meremahkan cinta. Karna cinta selalu berkata jujur walaupun akan terasa pahit.
♥ The End ♥

Tidak ada komentar:

Posting Komentar