Ketika Kabut Berubah
Menjadi Asap Hitam
Setelah aku tersadar dari semua mimpi ku, aku duduk diam di
tepi ranjang kamarku. Kedua tangan ku memegang kepalaku dengan wajah yang
menunduk ke bawah. Aku hanya mengenakan Celana pendek dan dengan sebuah
Singglet berwarna Abu – Abu. Aku masih diam, tak berani mengangkat kepala ku.
Kali ini aku harus berani mengangkat kepalaku, kalau aku seperti ini terus aku
akan kalah dengan waktu.
Langkah ku memasuki kamar mandi di dalam kamar ku. Disini aku tinggal
sendiri di sebuah rumah perstirahatan keluarga ku. Kedua orang tua ku
berdomisili di Medan sedangkan aku Di Pematang Siantar. Aku sengaja terpisah
dari mereka, karna aku ingin mandiri dan dapat mengenal dunia lebih jauh lagi.
Ku biarkan air shower itu mengguyur tubuh ku, aku tersontak saat butir – butiran
air yang keluar dari dalam shower itu mengenai tubuh ku. Dingin sekali, di
tambah lagi udara yang memang terasa dingin di kota ini. Aku masih diam mencoba
menikmati sentuhan air shower itu. Sementara fikiranku melayang ke berbagai
masalah yang harus aku selesaikan hari ini.
Dari atas tempat tidur, hanphone ku berdering, ku biarkan. Karna aku masih
terasa penat dengan semua masalah ini. Dia terus berdering, hingga menyadarkan
aku akan sesuatu hal yang membuat aku harus meninggalkan mandi ku. Ku tarik
handuk yang tergantung dan aku langsung mengambil hanphone itu. Panggilan itu
terputus dan yang aku terima hanya sebuah pesan singkat dari seseorang yang
membuat aku bahagia bila aku dekat dengan dirinya. Dia adalah belahan jiwaku
bahkan lebih dari itu. Karna aku sangat mencintai perempuan ku. Setelah menbaca
pesan singkat itu aku segera bergegas menyelesaikan mandi ku. Aku langsung
menyudahi mandi itu dan mengenakan baju yang rapi serta membawa sebuah tas
ransel yang berisikan beberapa baju yang akan aku pakai nanti.
Ya………..hari ini aku akan pergi ke Medan bersama orang yang paling aku
cintai. Kami pergi dengan menggunakan kereta api kelas bisnis yang berangkat
pukul sebelas nanti. Aku buru buru keluar dari dalam rumah dan memanggil becak
untuk segera ke Stasiun Kereta Api. Disana sudah ada orang yang aku sayangi,
Dia sudah menunggu ku. Lima belas menit aku dalam perjalan menuju Stasiun, di
depan sayang ku sudah menunggu aku dengan senyuman yang amat aku suka dari
dirinya. Kulihat disampingnya ada kedua orang tuanya yang akan mengantar kami
pergi meninggalkan kota ini untuk sementara waktu.
Aku turun dari atas becak dan aku bayar ongkos becak itu. Aku langsung
menyalami kedua orang tua orang yang aku sayangi. Dua tiket sudah berada di
tangan dan keberangkatan tinggal sepuluh menit lagi.
“ ini uda saatnya Deo.” Ucap Bapak Fladira. Aku hanya diam dengan mata yang
berkaca kaca. Aku tak dapat berkata apa lagi, aku hanya memandangi wajah Bapak
ini. “ jelaskan semuanya. Percayakan mereka bahwa ini adalah keputusan yang tak
akan pernah di sesali.” Tambah Bapak ini.
“ saya akan berusaha pak. Doakan saya……..” ucapku
sambil memeluk Bapak Fladira.
“ Ibu titip Fladira nak Deo. Ibu percaya, apapun keputusannya nanti itu akan menjadi yang terbaik untuk kalian berdua.”
Ibu ini mensuport diriku yang sudah sedikit bimbang.
Kereta sudah mau berangkat, aku dan Fladira harus segera masuk kedalam
kereta kalau kami tidak mau ketinggalan kereta hari ini. Ini sudah waktunya kami harus
berpisah dari kedua Orang tua Fladira. Aku kembali memegang jemari Bapak
Fladira untuk memohon restu atas keberangkatan kami hari ini. Fladira memeluk
Ibunya lama sekali. Seperti kita akan terpisah lama. Padahal kami hanya tiga
hari berada di Medan. Kami menaiki Kereta Api itu. Aku dan Fladira melambaikan tangan mengucapkan selamat tinggal. Kereta Api mulai jalan
perlahan dan meninggalkan Stasiun Pematang siantar. Aku memegang jemari Fladira
lembut dan menatap kedua bola matanya.
“ Apapun yang terjadi, kita harus
tetap sama-sama, ucapku tegas pada Fladira. Ia
tersenyum mendengar ucapan ku. Di rebahkanya kepalanya di pundak kanan ku. Aku
memejamkan mata membayangkan sesuatu yang sebentar lagi akan terjadi sama kami.
Kereta Api terus berjalan meninggalkan kota ini. Aku masih melamun, kulirik
kekaih ku ini, tampaknya ia tengah tertidur. Pohon-pohon ubi dan karet perlahan-
lahan berjalan mundur melambaikan kepergian kami. Aku menarik nafas panjang
untuk sesuatu yang belum terjadi dan akan terjadi.
Ibuku sudah menghubungi ku dan
mengirim pesan singkat ke hanphone ku hanya untuk menanyakan aku jadi berangkat apa tidak, sudah sampai dimana dan
sebagainya. Ada satu yang aku rahasiakan dari kedua orang tua ku, bahwa aku
tidak mengatakan bahwa aku datang bersama Fladira.
Empat jam kami di perjalan menuju ke medan. Pukul tiga kurang lima menit kami
sudah sampai di stasiun kereta api terbesar di Medan. Orang-orang pada turun meninggalkan kereta api, ku bangunkan Fladira
dengan bisikan lembut. Ia terbangun dan
aku bilang padanya bahwa kita sudah sampai. Kami bersiap-siap dan turun
meninggalkan terminal.
Setelah keluar dari Stasiun, kami berdua menatap
Hamparan Lapangan yang luas terbentang di hadapan kami. Apakah harapan ku akan
seluas lapangan ini??? Entalah, yang
kurasa aku takut untuk membayangkanya. Ku panggil becak untuk mengantarkan kami
kerumah ku. Dengan sedikit bernegosiasi kamipun pulang
dengan menaiki sebuah becak win. Polusi
udara menyambut kami dengan hangat sore itu, setengah jam kemudian kami sampai
di depan rumah ku yang sudah lama aku tinggalkan. Sebelum turun dari becak aku
memegang jemari Fladira dengan perasaan yang cemas dan jantung yang berdebar
kencang.
“ Ingat, apapun yang terjadi, Aku tetap milih kamu.” Jelasku agar
Fladira tak bimbang nantinya. Kamipun turun dari becak. Setelah selesai
membayar ongkos kami mulai memasuki pekarangan rumah. Aku lihat sebuah mobil Vios Hitam terparkir di depan rumah ku. Aku
berdiri di depan pintu sedangkan Fladira berdiri di belakang ku.
“ Assalamualikum…………..” ucapku menyapa. Ibu yang melihat kedatangan ku
langsung menghampiri ku dan memeluk ku. Aku tak memeluknya karna aku langsung
bersimpuh di kedua kakinya sambil menangis. Aku bersimpuh penuh air mata.
Fladira menundukan wajahnya. Ibu mengangkat pundak ku menyuruh aku berdiri .
Aku kembali memeluknya.
“ Ibu Kangen sama kamu Deo. Dan sekarang kekangenan ibu itu sudah
terbayar.” Ibupun ikut menangis tersedu.
“ siapa yang datang Bu?” Tanya ku lirih masih dengan tangisan air mata.
“ Pak Suryo dan istrinya. Mereka membawa putrinya yang mau Ibu jodohkan
sama kamu.” Ucap Ibu sedikit tersenyum. Aku mengerutkan dahiku mendengar
perkataan Ibu tadi.
“ Perjodohan bu? Deo gak bisa bu?”
“ kenapa Deo? Kamu gak sayang sama Ibu?”
“ maafkan Deo Bu. Deo sudah punya pilihan sendiri. Deo gak bisa menerima semua ini bu.” Jelas ku. Ibu kembali menatap
wajah Fladira. Ibu memandangnya dengan sinis. Wajah ibu menjadi berubah,
sepertinya ibu tidak suka dengan kedatangan aku dan Fladira.
“ Siapa perempuan berjilbab itu
Deo?” Tanya ibu tegas sambil menatap aku. Aku mendekati Fladira dan berdiri di
sampinya.
“ ini pilihan Deo bu. Dia Fladira, calon mantu Ibu!” ucapku langsung.
Sepertinya ibu shock mendengar ucapan ku.
“ Apaan ini Deo. Kamu sudah
lancang membawa wanita ini kerumah ibu.’ Ibu menarik nafas panjang.
“ Tapi ini pilihan Deo Bu. Ayo
Fladira, beri salam pada Ibu ku….” Fladira mengangguk pelan dan mendekati Ibu,
tapi ibu malah pergi membiarkan simpuhan Fladira. Ibu masuk kedalam rumah
sambil memanggil bapak ku. Aku mengejar ibu ku, ku biarkan Fladira menagis
didepan pintu. Aku berdiri diam di depan ruang tamu, disitu kulihat ada Pak
Suryo, Bu Yati dan seorang putrinya yang menundukan wajah, serta Ayah ku. Ibuku
berdiri di samping Ayah ku dengan nafas yang memburu.
“ kenapa bu?” Tanya Ayah pada Ibu yang sepertinya tampak kesal. “…Deo, kamu
sudah sampai. Kenapa gak langsung masuk?!”
“ maafin Deo Yah, deo……..” ucapan ku terhenti saat ibu menyekanya.
“ Ayah tau, dia telah lancang membawa wanita kerumah ini dan dia
mengatakan bahwa wanita itu calon menantu Ibu dan Ayah!!!” herdik Ibu.
Pak Suryo beserta Istri langsung tersontak mendengar ucapan Ibu ku. Kulirik
Putri Pak Suryo juga ikut terkaget. Aku tak ambil pusing dengan mereka, yang
penting masalah ini harus cepat selesai. Aku kembali ke pintu masuk dan ku
tarik Fladira keruang tengah.
“ ini Ayah. Ini pilihan Deo.” Jelas ku memperkenalkan Fladira.
“ Saya rasa, ini urusan kalian,
dan kami akan pulang. Kami akan tunggu kabar perjodohan ini sampai nanti malam.
Kalau tidak juga ada kabar,lebih baik kita batalkan saja perjodohan ini.
Permisi” Ucap bu Yati yang tak lain adalah Istri dari Pak Suryo. Mereka
meningglkan rumah ini. Ibu merebahkan tubuhnya di kursi sebelah Ayah dan
sekarang giliran Ayah yang berdiri.
“ Lihat mata Ayah Deo……….” Pinta
Ayah. Aku memandang mata Ayah. “ apa yang membuat kamu membawa gadis itu
kemari.”
“ Deo ingin restu Ibu dan Ayah. Deo ingin menikahi Fladira.”
“ restu? Kalian mau menikah?” kaget Ibu
“ apa yang membuat kamu memutuskan hal ini, sedangkan Ayah dan Ibu sudah
pernah bilang kalau kami berdua ingin menjodohkan kamu dengan Arini.”
“ itu juga alasan kenapa Deo lebih memilih tinggal di Siantar ketimbang
sama Ayah dan Ibu. Deo gak mau perjodohan itu Yah.”
“ alasan kamu sulit untuk ayah cerna. Atau jangan-jangan dia sudah hamil,
makanya kamu terkesan buru-buru ingin menikahi
gadis itu. Iya Deo?!” ayah memponis Fladira dengan asal. Aku menagis
mendengarnya begitu juga Fladira.
“ kenapa Ayah bisa berkata seperti itu?”
“ mungkin sajakan, kamu menolak perjodohan ini dan kamu hamili gadis itu
agar perjodohan kamu di batalkan. Iyakan?!”
“ Deo tak seperti yang Ayah fikirkan. Deo tidak pernah melakukan zinah,
karna Ayah selalu megajarkan budi pekerti yang baik. Deo cinta sama Fladira
Yah. Deo ingin restu dari Ayah dan Ibu.
“ kalau Ayah menyetujui, maka Ibu akan pegi dari rumah ini. Mau di taruh
dimana wajah kita di depan Pak Suryo dan Istrinya. Ibu malu Yah..” kecam Ibu.
“ ayah dan ibu gak bisa kayak gini sama aku. Ini jalan cinta aku dan aku
yang menjalaninya. Apa ayah dan Ibu mau kalau perjodohan ini terjadi, hidup aku
tidak bahagia? Itu akan tambah mencoreng wajah ibu di depan keluarga pak
Suryo.” Jelas ku.
“ tapi Ayah tetap tidak bisa memberikan
kalian restu Deo. Dan ayah mohon, keluar dari rumah ini, bawa gadis ini kemana
kamu mau. Karna restu itu tidak pernah kau dapati dari kami. Sampai kapanpun.”
Tegas Ayah. Ayahpun duduk disamping Ibu.
“ apa tidak ada jalan lain lagi yah, selain ayah mengusir Deo?!” aku
menangis. Jemari ku memegang jemari Fladira.
“ kamu ingin menikah dengan gadis itu adalah keputusan kamu. Dan ini juga
keputusan Ayah dan Ibu.” Ayah kembali mempertegas ucapannya.
“ maafkan Mas Deo bu, pak. Mas Deo gak salah……………mungkin ini uda jalan
takdirnya” Fladirapun ikut menangis.
“ tau apa kamu soal takdir? Jangan pernah manggil saya dengan sebutan
Ibu dan bapak. Tapi panggil kami nyonya dan tuan.” Marah ibu. Fladira kembali
menunduk.
“ Deo mohon Yah, Bu. Izinkan Deo bersama Fladira. Ini pilihan Deo, Deo
cinta sama Fladira.”
“ Ibu dan Ayah akan memberikan restu kalau kamu nikahnya dengan Arini!!!”
Ibu mempersulit diriku. Aku bersimpuh di hadapan kedua orang tua ku, Fladira
mengikutinya. Aku menangis tersedu sedu, dengan memohon restu dari Ayah Dan
Ibu.
“ Deo mohon yah, izinkan Deo bersama Fladira. Deo janji, Deo akan pergi
dari rumah ini kalau Ayah dan Ibu memberi Restu itu. Ini bukan zaman Siti
Nurbaya, dan aku gak mau menajadi seperti ada di dalam cerita itu.” Aku
memohon.
“ ayah ingin kalian pergi dari rumah ini. Ayah gak sudi lihat kalian berdua
disini. Pergi……………….” Usir ayah. Fladira mengangkat tanganku, aku bangkit dari
simpuhku sambil meneteskan air mata yang tak kunjung usai. Aku mengambil tas
itu dan aku perlahan melangkahkan
kaki ku pergi dari rumah ini. Aku dan Fladira berdiri di depan pintu di depan
kami ada Ayah dan Ibu juga berdiri.
“ maafkan Deo yah. Bu. Deo akan terus
berjuang utuk mendapat restu Ayah dan Ibu. Karna Deo cinta sama Fladira. Maafkan Deo yah………”
“ maafkan saya juga nyonya. Tuan. Karna
saya kalian harus terpisah dari Deo. Maafkan saya.’ Fladira
ikut menangis. Kami berduapun meninggalkan pekarangan rumah ku ini. Lima
langkah kami berjalan, Sebuah dentingan keras memekakan telinga. Ayah
membanting pintu rumah dengan kuat. Maafkan Deo Yah. Bu.
Aku menghentikan TAXI untuk mengantarkan kami ke Terminal Agar kami segera kembali ke Siantar.
Kami akan pulang dengan Bus, karna tidak akan
mungkin ada kereta jam enam sore ini. Aku sangat sedih melihat kelakuan Ayah
dan Ibu tadi. Aku bukanlah Wayang yang selalu bergerak kalau ada dalangnya.
“ kita gagal Ra, kita gagal dapat restu dari orang tua ku. Aku gak bisa berbuat
apa apa lagi. Percuma kalau aku bersikeras, karna itu akan sia sia.’” Pinta
maaf ku pada Fladira.
“ aku ngerti. Aku akan jadi Istri yang setia buat kamu nanti. Aku
menghargai perjuangan mu. Kita akan sama sama berjuang untuk mendapat restu dari orang tua mu. Aku tidak pernah benci pada
mereka karna aku sayang sama mereka. Sebagaimana aku sayang sama kamu.” Fladira
meyakinkan aku.
“ aku yakin, kita akan dapat restu itu walaupun kita sudah menikah
nantinya.” Aku mempercayakan diriku. Taxi terus melaju cepat, aku membatalkan
pulang naik Bus. Tapi aku akan pulang dengan Taxi ini. Suara Adzan berkumandang
dari mesjid kemesjid. Aku Jadi teringat saat aku Shalat berjamaah bersama Ayah
dan Ibu.
Hujan turun sangat deras, halilintar dimana mana jalanan amat licin,
Fladira diam dan aku masih memikirkan bagaimana cara mengertikan Ayah dan Ibu.
Tiba tiba taxi berhenti di atas rel kereta api. Aku dan Fladira menatap sang
supir. Apa dia mau berbuat jahat? Aku sedikit berburuk sangka pada supir taxi
itu.
“ kenapa pak Taxinya?” Tanya Fladira heran
“ wah, saya juga gak tau nih.”
“ atau mungkin bensinya habis pak?”
“ gak bu. Masih full. Biar saya cek dulu “ supir taxi itu keluar dari dalam
Taxi.
“ sayang. Aku ke warung itu dulu ya. Aku mau beli air mineral dan roti.
Dari tadi kitakan belum makan.” Pamitnya.
“ ya. Fladira, sampai mati kamu harus tau kalau aku cinta sama kamu.”
“ kok kamu ngomongnya kayak gitu?”
“ gak apa apa. Ya udah sana beli air mineralnya.” Suruh ku. Fladira
mengangguk. Dia pun keluar dari dalam Taxi. Ku lihat si supir taxi itu
kewalahan menghilangkan asap yang keluar dari dalam Taxi itu.
“ Bu, air mineralnya dua yang besar dan rotinya tiga bungkus ya bu” pintaku
pada ibu penjaga warung itu.
“ Taxinya kenapa Dik?” Tanya si penjual itu.
“ oohh….mogok bu. Masih di perbaiki.”
“ cepetan dik bilang sama supir Taxinya. Sebentar lagi Kerta api lewat. Nah
itu uda ngasih kode.” Ibu itu menyuruh aku mendengar suara klakson kereta api
itu. Fladira tampak kaget mendengar penuturan ibu itu. Kereta api sudah mau
lewat. Fladira langsung berlari menghampiri Taxi itu.
“ pak kereta api akan segera lewat, Deo keluar dari Taxi itu” teriak
Fladira dari ujung sebrang jalan raya sana. Tapi tak ada yang mendengar. Karna
masih gerimis makanya aku harus berhati-hati dengan
hal ini.
“ mas Deo, cepat keluar dari dalam Taxi.” Teriak ku lagi. Akhirnya Fladira
mendekat di Taxi itu. Kereta api sudah semakin dekat, orang orang ramai
melihatnya.
“ deo….” Aku megetuk kaca jendela Taxi. “ ayo keluar, kereta api sudah mau
lewat.” Teriak Fladira histeris.
“ apa sayang?” aku tak mendengar apa yang di bilang Fladira.
“ keluar Deo……..”
“ keluar? Kenapa?”
“ kereta api mau lewat.”
“ apa?!” aku kaget mendengar pernyataan Fladira. Aku mencoba keluar dari
Taxi. Tapi sayang semua pintu dan kaca jendela terkunci sulit untuk di buka. Di
luar Fladira sudah histeris.
“ Deo…ayo keluar Deo. “ nangisnya. Warga ramai ramai mendorong Taxi itu
agar keluar dari lintasan rel kereta api itu, tapi entah ada kekuatan apa taxi itu tidak bisa di dorong. Kereta api
mendekat seorang ibu menarik lengan Fladira. Semua orang menepi dari rel kereta api, kereta api menabrak Taxi itu dengan kuat.
Kereta api itu menyeret Taxi itu sejauh Tiga meter.
“ Deo…………………………………………….” Jerit Fladira Histeris. Fladira menjerit mengerang
gerang melihat kejadian itu. “ Deo………………..”
Kereta api menabrak taxi itu, empat gerbong hancur dan banyak korban jiwa.
Aku tak sanggup bila aku menoreskan kisah ini sendiri tanpa ada Deo di sisiku.
Mungkin ini jalan untuk kerestuan cinta kami yang suci aku tak bisa melepas
kepergian Deo tanpa diriku. Seminggu setelah kepergian Deo, aku berubah menjadi
sosok wanita yang tak berdaya. Aku terdiam terbujur kaku karna Demam Berdarah
itu telah menitikan jembatan untuk aku melangkah bersama Deo. Aku akan mendapat
restu dari Bidadari Surga yang akan menjadi saksi cinta ini. Sebelum aku
emninggal aku pernah berdoa pada Tuhan ku.
Tuhan, kuatkan aku.
Lindungi aku dari putus asa.
Jika aku harus mati
Maka pertemukan aku dengan mu.
Restu cinta itu tak pernah kami dapati dari kedua orang tua Deo, sampai
kami meninggalpun kata restu itu tak terdengar
dalam bisikan nyanyian Surga, ini bukan zaman siti nurbaya, dan jangan jadikan
dirimu menjadi siti nurbaya yang berada di Zaman Modern. Karna itu akan membuat mu menderita. Raih cintamu di
bawah kekuatan sang pencipta, karna kalian pasti akan bersatu kalau kalian
memperjuangkan cinta sejati, sekalipun kalian harus meninggal...
` Selesai `
Tidak ada komentar:
Posting Komentar