Cinta memang selalu menjadi sesuatu yang bisa saja menggusarkan
hati seseorang yang biasanya tenang. Bisa saja membuat kita yang biasa merasa
istimewa. Bisa juga biasa-biasa saja. Semua itu tergantung pada kepribadian
masing-masing orang. Bagaimana kita bergaul dengan orang lain. Dan yang paling
mempengaruhi adalah bagaimana kita bergaul dengan lawan jenis. Orang yang
pemalu biasanya lebih tertutup dan lebih memerlukan waktu untuk menjawab sebuah
ungkapan cinta. Orang yang pemalu tidak bisa begitu saja mengatakan alasan dari
jawabannya. Dia memikirkan perasaan orang yang menerima jawabannya seandainya
yang jawaban yang akan diucapkan adalah penolakan.
Berbeda dengan tipe orang yang sebaliknya yang lebih agresif dan
terkesan tidak bisa menyembunyikan rasa bahagia atau ketidaksukaannya jika
mendapat ungkapan cinta dari seseorang. Orang seperti ini langsung ke point
intinya tanpa berpikir panjang tentang perasaan orang yang akan menerima
jawabannya. Tidak ada yang salah memang. Semua ada sisi positif dan negatifnya.
Ketika kita memandang sesuatu dengan positif maka semuanya menjadi terang dan
menyenangkan. Ketika kita memandang sesuatu dari sisi negatif maka semuanya
terlihat gelap dan buruk. Orang yang bijak akan menilai sesuatu dengan
mempertimbangkan keduanya. Bagiku itu juga berlaku dalam hal percintaan.
Cinta tak pernah membedakan warna kulit ataupun warna rambut.
Cinta juga tak pernah membedakan ke hati seperti apa ia akan singgah. Cinta
juga tak membedakan agama. Layaknya angin yang mengembara datang dan pergi ke
manapun yang ia suka. Tak ada pengertian baku tentang cinta. Cinta adalah
pengertian kita sendiri menurut apa yang kita alami.
“Safira,
bisa bantu Ibu sebentar nak?” ku dengar suara Ibu memanggilku dari dapur.
Sepertinya Ibu sedang kerepotan mengerjakan pekerjaannya di dapur.
“Iya Bu sebentar” segera ku tutup buku Modul Bahasa Inggrisku yang dari satu
jam tadi ngobrol denganku. Ku langkahkan kakiku menuju dapur.
“Tolong cuciin piring ya Nak, setelah itu tolong cucikan kangkungnya juga.
Sebentar lagi Ayah pulang kerja.” Kata Ibu menjelaskan sambil menuang beras ke
rice cooker.
“Siap bu” jawabku sambil ku berikan senyum manis untuk Ibuku yang tercantik di
dunia.
Biasanya jam empat sore semua masakan sudah siap di meja dapur.
Sepertinya hari ini Ibu sibuk sekali. Sepulang kuliah aku langsung mengerjakan
tugas-tugas di kamar jadi aku tak tau kesibukan Ibu hari ini. Sejurus kemudian
sudah ku selesaikan pekerjaan yang Ibu berikan.
“Cepet
sekali nyuci piringnya Nak, tangan kamu berapa sih Ra?” Ibu mulai mengajakku
bercanda. Ibu memang sosok yang sangat nyaman dan hangat bagi siapapun. Apalagi
aku yang anaknya.
“Ya dua dong Bu, Safira kan anak Ibu jadi ya nyucinya cepet. Hehe” bukan hal
yang sulit untukku membalas candaan Ibu. Ibu bisa menjadi teman buatku. Selain
bercanda seringkali kami berbicara layaknya sahabat yang sedang menumpahkan isi
hatinya.
Lima belas menit sudah berlalu dari adzan magrib. Ayah, aku, dan
Ibu baru selesai salat berjamaah. Ibu bergegas ke kamar melipat-lipat pakaian
yang baru kering siang tadi. Ayah sibuk bertadarus di kursi kesayangannya. Aku
kembali ke kamarku untuk merapikan buku-buku yang mulai tak rapi lagi setelah
dua hari yang lalu ku rapikan. Ku ambil buku kimiaku di dalam tas. Ingin ku
pelajari lagi rumus-rumus gravitasi yang tadi pagi disampaikan Bu Fatma. Ku
buka langsung ke halaman terakhir catatanku. Aku bingung. Ada secarik kertas
HVS putih yang sudah dilipat rapi. Segera ku ambil dan ku buka saja lipatannya
lalu ku baca.
Alangkah terkejutnya aku setelah membaca baris pertama di kertas
itu. “Dari Aziz untuk Safira yang ku sayang” Jantungku berdebar-debar. Hatiku
masih bertanya-tanya. Apakah ini surat cinta atau surat dengan maksud yang
lain. Ku cari tahu saja jawabannya dengan membaca surat Aziz itu.
“Assalamualaikum
Ra, sudah belajar belum malam ini? kalau belum letakkan saja kertas ini di atas
meja belajarmu. Kamu boleh membacanya setelah kamu belajar. Tapi kalau kamu
sudah belajar silahkan lanjutkan membaca tulisanku yang bagus ini. Hehe To the
point saja Ra. Aku jatuh cinta sama kamu. Awalnya aku cuma kagum saja dengan
kepribadianmu yang lugu, sopan, lembut tapi tegas. Ditambah lagi kamu cantik.
Sebenarnya ada banyak wanita seperti kamu Ra tapi aku tak perlu mencarinya lagi
karena di sini aku sudah menemukanmu.
Jangan berprasangka buruk dulu. Semua sisi positifmu yang ku sebutkan tadi sama
sekali bukan alasan aku mencintaimu. Aku mencintaimu karena aku ingin hidup
bersamamu dan selalu bersamamu. Hanya sebatas itu. Aku tak punya alasan yang
jelas untuk menjelaskannya. Biarkanlah nanti waktu yang mengantar jawabannya
padamu.
Aku mencintaimu Ra, tapi aku tak mau jadi pacarmu. Karena bukan
itu tujuanku. Tujuanku lebih dari itu. Aku tak mau merendahkanmu Ra. Aku tak
mau merendahkan wanita yang aku cintai. Kita sudah dewasa. Kamu sudah 21 tahun
dan aku 22 tahun. Jika kau berkenan, dua atau tiga tahun lagi aku akan datang
melamarmu. Masih banyak yang harus ku cari Ra setelah kita sama-sama lulus
nanti. Tunggulah sampai saat itu tiba. Kata cinta pertamaku untukmu akan ku
dendangkan juga di depan Bapak Ibumu. Semoga kamu mempertimbangkan isi kalbuku
ini Ra. Aku berharap besar padamu.
Aku
mencintaimu bukan untuk sekedar bersama di dunia. Aku mencintaimu bukan sekedar
untuk saling membahagiakan saja. Aku mencintaimu bukan sekedar untuk berbagi
hidup saja. Aku mencintaimu bukan sekedar untuk melewati suka duka bersama. Aku
mencintaimu bukan sekedar untuk saling memiliki saja.
Tapi mengertilah. Aku mencintaimu lebih dari maksud semesta ini dicipta. Aku
mencintaimu agar kita bisa saling membawa. Masing-masing dari kita sampai ke
surga-Nya. Kelak setelah aku dan kamu tiada lagi di dunia.
Begitulah kira-kira aku akan mencintaimu Ra. Kamu boleh suka boleh
tidak. Untuk sekarang aku belum mampu untuk melakukan itu semua. Aku masih
harus banyak belajar menjadi laki-laki yang baik dan bijak. Kelak jika Allah
mengizinkan kita bersama, aku yakin bisa melakukan itu untukmu. Karena ketika
aku salah ada kamu yang menegurku. Safira Azizahlah yang akan melengkapiku.
Semoga Allah meridhoi niatku ini dan semoga Allah memudahkan jalanku mendekat
pada-Mu dan kehidupanmu. Aamiin. Tak perlu kamu balas surat ini Ra. Kamu tahu
perasaanku saja sudah cukup. Tolong ketika kita bertemu di kampus besok
anggaplah aku temanmu seperti biasanya. Karena disitulah kamu bisa menilaiku
sebagai pertimbangan untuk menjawab lamaranku suatu hari nanti.
Sebenernya
masih banyak yang ingin ku sampaikan Ra. Tapi kayaknya kertasnya udah mau penuh
nih. Nanti nggak muat buat tanda tangan sama nulis salam sayang. Hehe
Maaf ya Ra jika kehadiran surat ini mengganggu. Dan maaf tadi aku yang
menyelipkannya sendiri di buku kimiamu waktu kamu ke kantin sama Ifah. Selamat
malam Fira, istirahat yang cukup. Wassalamualaikum.
Salam sayangDari yang menantimu di masa depan
Aziz Musafa”
Aku terhanyut membaca surat cinta Aziz. Tak ku kira isinya akan
seperti itu. Ku kira isinya tak jauh beda dengan surat cinta Wahyu yang
blak-blakan mengajakku pacaran. Aziz sepertinya lebih mengerti dan
menghargaiku. Jujur saja sedikit-sedikit aku juga tertarik pada Aziz. Tapi
hanya sebatas tertarik. Masih jauh dari yang namanya cinta. Ku rasa setelah ku
baca isi suratnya tadi akan ada sesuatu yang berbeda. Seperti kata Aziz, aku
akan mulai mempertimbangkannya. Karena menurutku dia juga laki-laki yang baik.
Sorot matanya tenang tak mengundang rasa canggung bagi siapa saja yang di
sampingnya. Ia juga gampang sekali berteman dengan siapa saja. Dia menjadi
panutan bagi teman-temannya di kelas.
Sejak saat itu pertemuan-pertemuan sering terjadi antara aku dan
Aziz lebih dari biasanya. Pertemuan itu lebih banyak unsur ketidaksengajaannya.
Sejauh ini aku tak melihat sesuatu yang begitu buruk padanya. Kadangkala ia
seperti acuh tak acuh padaku. Sikapnya masih biasa saja seperti tak pernah
menulis surat cinta untukku. Tapi tak jarang juga ia memberikan
perhatian-perhatian kecil yang bagiku malah terlihat sangat istimewa seperti
pada saat menegur Wahyu agar memutar musik cadas dengan volume keras di
dekatku. Aziz tahu bahwa aku sama sekali tidak suka musik cadas atau musik
metal.
Dari kejadian-kejadian seperti itulah bunga-bunga cinta di kalbuku
mulai tumbuh dan bersemi untuk seorang Aziz Musafa. Tak ada yang tahu bahwa
Aziz mencintaiku. Juga tak ada yang tahu aku mencintai Aziz. Bahkan Azizn pun
tak tahu bahwa aku juga berharap besar padanya. Sepertinya dia masih sangat
bersabar. Dia masih konsisten dengan apa yang dikatakannya dalam surat itu
bahwa hanya lamarannyalah satu-satunya bukti cintanya padaku.
Tak ada pengertian baku tentang cinta. Cinta adalah pengertian
kita sendiri menurut apa yang telah kita alami. Cinta adalah dusta bagi orang
yang sering dibohongi. Cinta adalah uang bagi orang yang hanya memikirkan
materi. Cinta adalah pembodohan bagi orang-orang yang berpikiran sempit. Cinta
adalah aku dan kamu saja, bagi anak-anak ABG. Padahal sejatinya cinta itu
melibatkan banyak orang. Cinta adalah pernikahan bagi orang-orang yang sudah
menatap masa depan bersama orang yang dicintainya.
Bagiku, Cinta adalah kesabaran dan kepercayaan pada sang pencipta.
Aku akan sabar menanti seseorang yang sedang belajar menjadi panutanku di
dunia. Yang sedang berjuang menjadi imam untuk mengantarkanku ke surga-Nya. Aku
percaya bahwa suatu saat Allah akan mengantarkan sesorang yang pantas untukku
dan semoga aku juga pantas untuknya. Dan aku percaya bahwa seorang Aziz Musafa
yang akan datang untuk menepati perkataannya.
Dua tahun sudah berlalu. Aku masih sangat sabar menanti kedatangan
seorang Aziz karena usiaku masih 23 tahun. Sebagai muslimah aku tak pernah
berhenti untuk memperbaiki diri. Tujuanku hanya satu yaitu untuk memantaskan
diri menjadi istri seorang laki-laki yang juga sedang memantaskan dirinya
untukku. Seperti kata laki-laki itu. “biar masing-masing dari kita bisa saling
membawa ke surga-Nya”
Karena cinta yang abadi tidak hanya cinta di dunia tapi cinta yang
sampai juga ke akhirat-Nya. Ku pilih satu-satunya cinta yang bisa mengantarku
ke sana. Kelak bersamamu. Aziz Musafa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar