Delapan tahun itu adalah waktu yang lama. Waktu yang cukup membuat
Nindy dan Axcell benar-benar saling jatuh cinta. Delapan tahun bahkan banyak
hal yang berubah. Delapan tahun yang lalu, saat SBY belum jadi presiden, saat
Justin Bieber belum terkenal, saat handphone touchscreen masih dalam
bayang-bayang manusia… Nindy dan Axcell telah memulai segalanya dari sana.
Sejak delapan tahun yang lalu, Nindy masih pakai seragam putih-biru, rambutnya
yang panjang sepundak suka dikuncir dua, plus pakai bandana dengan poni-poni
tipis yang berjatuhan di pelipisnya. Sungguh sebuah keindahan yang sempurna di
mata Axcell yang baru kelas 3 SMA. Dan memperingati hari jadian mereka adalah
sebuah keharusan. Bahkan sudah seperti tradisi yang perlu dirayakan. Bukan Cuma
oleh Nindy dan Axcell, tapi juga keluarga mereka.
1
november 2013
“Ndy, sebenernya ada sesuatu yang mau Axcell sampein ke Nindy. Axcell harap
Nindy nggak marah…”
Nindy tegang. “Apa Cell?”
“Hmm… mungkin ini akan jadi dinner hari jadi kita yang terakhir, Ndy…”
“Maksud Axcell?”
“Mm… maksudnya, Axcell udah nggak bisa lagi… jadi, Pacar Nindy”
“Ah, Axcell becandanya nggak lucu banget sih”
“Axcell nggak becanda Ndy. Axcell serius… Axcell udah nggak mau lagi jadi pacar
Nindy.”
What?… Nindy kaget.
“Hmm, kayaknya barusan Nindy salah denger deh.. Masa’ Nindy kayak denger Axcell
udah nggak mau jadi pacar Nindy lagi, itu… itu lucu banget kan Cell?” sahut
Nindy sambil senyum-senyum salting.
“Nggak Ndy. Nindy nggak salah denger. Axcell emang bener-bener ngomong gitu.”
Nindy menatap Axcell lekat di matanya. Sedetik kemudian, tangan Axcell sudah
berada di genggamannya.
“Cell… ini dinner kita untuk ngerayain hari jadian kita yang ke delapan. Kita
udah delapan tahun jadian, Cell… udah banyak hal yang kita lakuin demi
mempertahankan ini, trus tiba-tiba Axcell ngomong gitu…? Salah Nindy apa Cell?…
Apa yang perlu Nindy rubah?, Nindy nggak bisa Cell… Delapan tahun itu bukan
waktu yang sebentar, tapi apa waktu selama itu belum cukup untuk Nindy
ngeyakinin Axcell?… kita emang udah berkali-kali putus nyambung, tapi itu Cell…
itu yang bikin kita lebih mengenal.” Pelan-pelan ada air yang turun di sudut
mata Nindy. Sulit menerima kenyataan bahwa Axcell akhirnya mengucapkan kalimat
yang sama sekali nggak ingin Nindy dengar.
Tapi…
Axcell mengusap pipi Nindy yang mulai merah dan basah.
“Axcell tau, Ndy… delapan tahun itu memang bukan waktu yang sebentar. Meskipun
banyak hal yang kadang membuat kita sakit, tapi itulah yang membuat kita sadar
kalo kita memang saling membutuhkan. Axcell capek Ndy, putus nyambung terus…
jadi Axcell pingin kita nggak usah pacaran lagi”
Nindy menarik tangannya yang ada di genggaman Axcell. Axcell menahannya.
“Tunggu Ndy, Axcell belum selesai ngomong…”
“Tapi Nindy udah nggak bisa dengerin Axcell lagi..”
“Nggak. Nindy harus dengerin Axcell sampe selesai… pliss Ndy”
“Pliss, Cell… Nindy nggak bisa.”
Dengan sedikit memaksa, Nindy menarik tangannya dan cepat-cepat meninggalkan
Axcell bersama seribu lilin makan malam mereka.
Rumah
Axcell cukup besar untuk langkah kecil Nindy yang bergegas menuju gerbang. Tapi
di ruang tamu, Nindy melihatnya ada Ayah-Bundanya lengkap dengan keluarga
Axcell. Nindy agak terkejut melihat kehadiran mereka. Mereka juga terkejut
melihat Nindy yang tiba-tiba datang dengan mata basah. Di belakangnya ada Axcell
yang berlari kecil mengikuti langkah Nindy yang tergesa.
“Ndy, tunggu… Nindy harus dengerin Axcell dulu, Axcell emang nggak mau kita
pacaran lagi, Karena.. Axcell pingin jadi suami Nindy. Axcell nggak mau kita
pacaran lagi karena Axcell mau kita nikah”
Nindy membalikkan badannya. Ia menatap Axcell entah dengan pandangan apa. Tapi
di detik berikutnya, tubuh mungilnya sudah melebur di pelukkan Axcell.
Intan, kakaknya Axcell yang juga baru nikah berdiri dan tepuk tangan diikuti
suara tepukkan yang semakin riuh.
“Kita mulai lagi semuanya dari awal, sayang…” bisik Axcell di telinga Nindy.
Dan hari
itu pun ditentukan. 11 desember 2013. Hari yang akan merubah segalanya dalam
hidup Nindy dan… Hari itu adalah besok.
Erni menatap tenda-tenda yang bergoyang tertiup angin. Besok anak semata
wayangnya akan menikah. Ada rasa haru dan sedih yang menggemuruh bergantian di
hati Erni. Hari itu membawanya larut dalam memori dua puluh tiga tahun yang
lalu. Hari dimana ia juga akan menjadi pengantin. Tenda telah terpasang, gaun
telah dipesan… perempuan manapun akan menanti hari itu. Hari dimana mereka akan
menjadi pengantin. Erni juga menanti hari mendebarkan itu. Dan hari itu semakin
mendebarkan karena pengantin prianya adalah Alvin. Sebelum menikah, nggak
banyak yang Erni tau tentang Alvin. Begitu juga sebaliknya. Mereka dipertemukan
oleh tantenya Erni yang kebetulan adalah partner Ibunya Alvin. Alvin itu
tipikal laki-laki yang mendekati sempurna. Dengan alisnya yang melengkung di
atas kelopak matanya yang sedikit cekung mengapit hidungnya yang tinggi. belum
lagi bibirnya yang merah dan sedikit agak gemuk. Ditambah perawakannya yang
atletis dan karirnya yang bagus di dunia bisnis.
Erni
menatap suaminya dari jauh. Alvin sedang tertawa-tawa bersama beberapa
kerabatnya. Seperti tak ada yang berubah. Alisnya, matanya, senyumnya, sikapnya
yang hangat… tak ada alasan bagi Erni untuk tidak mensyukuri itu semua.
“Bunda, itu bunganya taruh dimana kata mbak-mbak itu…” lapor Nindy membuyarkan
ingatan Erni tentang dua puluh satu tahun yang lalu.
Di menit-menit selanjutnya, Erni sudah lupa untuk mengingat dua puluh tiga
tahun yang lalu. Ia sudah berbaur dengan kesibukkan untuk hari pengantin
anaknya.
“Jangan capek-capek, Bun…” Tegur Alvin ketika kebetulan berpapasan dengan Erni
yang sibuk menggotong-gotong bangku dengan beberapa pekerja lain.
“Misi Yah, misi Yah…” Erni acuh dengan teguran Alvin. “Iya mbak, itu disitu
aja… nanti bunganya taruh di sampingnya, trus sedap malamnya bisa ditaruh sini
nih… nah kan disini jadinya bisa buat naruh kipas angin. Biar pengantinnya
nggak kegerahan.”
Alvin berlalu. Erni menatap suaminya dengan senyum tipis di pinggir bibirnya.
Detik berikutnya ia sudah berjalan di belakang Alvin.
“Gimana Bundanya nggak capek… Ayahnya nggak bantuin…” ucapnya manja di belakang
Alvin. Alvin menoleh sambil tersenyum.
“Hehe… lagian Bunda. Kan udah ada yang ngerjain, pake ikut-ikutan… jadi capek
kan?, Ayah mau bikin kopi nih, Bunda mau nggak?”
“Mau atuh, kalo dibikinin mah…”
“Kalo bikin sendiri?”
“Mending ngangkat bangku”
Alvin nyengir mendapat jawaban istrinya yang sedikit asal. Sebelum ia berbelok
ke dapur, Erni memanggilnya.
“O iya, yah…”
Alvin menoleh.
“Hm, kayaknya kemarin Bunda minta Ayah ngerapiin rumput yang di samping itu deh
Yah. Kok masih berantakan ya?”
“O iyaaa… Ayah lupa Bun”
“Hadeehh.. ya udah sini kopinya Bunda yang bikin”
“Trus Ayah ngapain?”
“Yaaa beresin rumput lah…”
Alvin senyum. Sikap apa adanya Erni itu selalu bikin Alvin senyum. Malah kadang
ngakak. Sebelum ia ke pekarangan samping, bibirnya mampir di pipi Erni.
“Iiii… Om Alvin ketauaaann” ledek Ebigeil yang tiba-tiba muncul entah dari
mana. Erni nggak menahan senyumnya yang merekah otomatis. Ada kehangatan
menjalari pipinya.
“Nah lho… ketawan anak kecil, kaburrr aaahh…”
Ebigeil cekakakan mendapati Om dan Tantenya salah tingkah.
Selesai
bikin kopi, Erni ke kamarnya yang ada dilantai atas. Sebelumnya ia menitipkan
pesan pada Ebigeil.
“Bigeil, nanti bilangin Om Alvin yaa, kopinya di kamar.”
“Ciyeee Tante, nungguin di kamar niyeee…” ledeknya sambil ngacir. Erni Cuma
geleng-geleng kepala melihat keponakannya yang usil.
Di
kamar, lamunan Erni kembali menjelma.
Dua puluh tiga tahun sudah berlalu sejak hari pernikahan itu. Pernikahan yang
dinanti. Pernikahan yang semewah pesta Cinderella. Pernikahan yang telah berjalan
puluhan tahun. Erni belum pernah mendengar kata-kata kasar dari mulut Alvin.
Tak ada sikap Alvin yang rasanya perlu dicurigai. Meski kadang ia lembur. Tak
ada alasan untuk bersedih. Mereka tak pernah bertengkar. Setiap guncangan yang
terasa, segera diredakan dengan sikap bijak. Semua orang memuji keharmonisan
rumah tangga mereka. Erni tidak pernah tidak bahagia menjadi pendamping Alvin.
Alvin sering memuji kecantikannya, kerajinannya, keuletannya, bahkan apapun
yang ada di diri Erni selalu disanjung sekalipun itu sebuah kekurangan. Wanita
mana yang sempat bersedih jika bersanding dengan laki-laki seperti ini. Alvin
selalu pandai membuat wajah Erni merah tersipu-sipu. Apa sih yang kurang dari
rumah tangga mereka?… Nindy memang anak satu-satunya yang tersisa. Sebelum
Nindy, Erni pernah hamil tapi keguguran. Setelah Nindy pun Erni sempat hamil,
tapi baru seminggu bayi yang dilahirkannya meninggal.
Tak ada yang tak disyukuri Erni. Tapi, entah kenapa Erni selalu merasa ada yang
belum lengkap. Dengan semua keindahan yang ia rasakan, dengan semua kebahagiaan
yang mengelilinginya, Erni merasa kosong. Ia iri dengan seorang perempuan
bernama, Rahma. Wanita sederhana berkulit sawo matang yang agak sedikit gemuk.
Sejujurnya Erni iri sekali kepada Rahma. Ia memang tidak memiliki suami
setampan Alvin, tidak memiliki suami yang seorang pengusaha, suaminya hanya
pegawai swasta biasa. Tapi, setidaknya ia memiliki suami yang dicintai Erni.
Dimas.
Erni bukan tidak mencintai Alvin. Ia mencintai Alvin. Ia hanya tidak tau bagaimana
cara untuk berhenti memikirkan Dimas.
Semuanya memang sudah berlalu, tapi perasaan itu masih tertanam.
Entah kenapa, semakin Erni mencoba melupakan justru kegalauan yang ada. Ia
cemburu pada Rahma. Mencemburui segala hal yang ada di dekat Dimas. Puluhan
tahun ia berlatih mengatakan “Aku mencintaimu” pada Alvin. Dan puluhan tahun
itu pula lah ia gagal. Ia mencintai Alvin sebatas di bibir. Lain dengan ia
mencintai Dimas. Dimas yang nggak tau apa-apa tentang Erni mencintainya.
Erni dan Dimas berteman sejak lama. Jauh sebelum ia bertemu Alvin.
Dan pertemanannya dengan Dimas yang sejak lama itu membuat ia terpukau dengan
segala hal yang Dimas miliki. Segala sesuatu tentang Dimas adalah hal paling
menarik yang selalu ingin Erni dengar. Bahkan tentang wanita yang
mendampinginya saat ini. Hal yang paling mampu membuat Erni cemburu adalah
ketika memikirkan Dimas hidup dengan orang lain. Dimas emang nggak tau apa-apa
tentang Erni mencintainya. Tapi Dimas juga pernah mencintai Erni. Dulu. Sebelum
ia kuliah dan bertemu Rahma. Satu hal yang menjadi alasan Dimas mencintai Rahma
adalah karena ia tidak tau Erni mencintainya. Sedangkan alasan Erni menerima
pinangan Alvin adalah karena ia tau bahwa ia hanya seorang sahabat bagi Dimas.
Nggak pernah lebih. Untuk apa pula kita harus menunggu seseorang yang mencintai
orang lain untuk mencintai kita?, bukankah kita hanya akan membuang-buang
waktu?, bukankah kita diciptakan untuk orang yang mencintai kita?… tapi kenapa Dimas
tidak diciptakan untuk Erni?…
Ada rasa sakit yang menggores tiap-tiap bagian di hati Erni,
ketika kenangan itu melintas. Rasa sakit yang entah mengapa tak pernah bisa
disembuhkan oleh segala kebahagiaan yang mengelilinginya. Bahkan dengan fakta
bahwa Alvin seribu kali lebih baik dari Dimas. Dan hal itu selalu membuat Erni
meluruhkan air mata.
Bukan. Bukan karena ia tidak dapat memiliki Dimas. Air mata itu
luruh untuk Alvin. Untuk ketulusan Alvin yang sulit ia balas. Untuk cinta dan
kasih sayang Alvin yang belum ia kembalikan. Juga untuk segala kepalsuan dan kepura-puraannya
mencintai Alvin. Bahkan mencintai Nindy itu jauh lebih mudah dari mencintai
Alvin. Erni tak pernah berharap Alvin akan tau hal ini.
Berjodoh dengan orang yang kita cintai itu suatu kebetulan. Tapi,
mencintai jodoh yang telah ditakdirkan untuk kita adalah kewajiban.
Erni membuka kembali lembaran lamanya yang ia simpan di antara rak
bukunya. Itu adalah tempat paling aman, karena Alvin bukan tipe orang yang suka
baca-baca novel sambil santai. Diary biru lusuhnya itu, akan aman bukan?,
ketimbang diletakkan di tempat tersembunyi yang barangkali Alvin temukan.
Ia sudah
lama tidak membuka buku itu lagi. Sebuah buku biru sederhana yang menyimpan
segala kenangan Erni tentang Dimas. Saat sahabat adalah orang yang paling ia
cintai. Segala hal tentang Dimas. Segala hal. Foto, tulisan, juga surat. Surat
yang pernah ditulis tapi tidak pernah dibaca. Surat yang Erni tulis untuk Dimas
di malam terakhirnya melepas masa lajang. Membaca surat itu lagi, seperti
menguak luka yang belum sempat mengering.
Dalam surat itu tertulis,
Untuk
Dimas
Dari Erni Sekar Ayu
Nggak nyangka yah, kita udah temenan belasan tahun. Sekarang kita sama-sama
udah dewasa. Aku tau ini bodoh, mungkin ini hal terbodoh yang aku lakuin di
mata kamu. Yaitu, mengatakan bahwa aku mencintai kamu. Aku tau kamu nggak
mungkin percaya, apalagi merasa seperti yang aku rasakan. Aku juga nggak butuh
jawaban. Karena, aku udah tau jawabannya. Aku Cuma pingin kamu tau, bahwa
kadang aku merasa menjadi teman buat kamu, kadang lebih, kadang bukan
siapa-siapa.
Sekarang aku menikah. Suatu saat kamu juga akan menikah, entah itu dengan Rahma
atau siapapun. Tapi perlu kamu ingat, dengan siapapun aku menikah, aku tetap
mencintai kamu. Dengan siapapun kamu menikah, selama wanita itu baik dan nggak
menyakiti kamu, aku akan bahagia.
Maaf aku nggak bisa nulis kata-kata romantis buat kamu, aku Cuma berusaha
menyampaikan maksud aku dengan sederhana. Karena aku mencintaimu dengan
sederhana, seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang
menjadikannya abu. Karena aku mencintaimu dengan sederhana, seperti isyarat
yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya mendung.
Begitulah aku mencintaimu. Tanpa tau kapan dan mengapa. Begitulah aku
mencintaimu… karena aku tak tau cara lainnya.
Untuk
yang kesekian kalinya, Erni menangis.
Tok, tok…
“Bunda… Bunda…” suara serak Nindy menembus daun pintu yang tertutup. Erni
secepat kilat menyeka air matanya dan membuka pintu. Disana ia menemukan wajah
anaknya yang berseri. Wajah wanita yang berseri karena akan menikah dengan laki-laki
yang dicintainya.
“Bun.. itu di bawah ada temen Bunda yang dari Tangerang”
“Siapa?”
“Itu lhoo Bun.. yang cantik. Yang kata Bunda punya kafe coffee itu…”
“Mbak Atikah?”
“Iya Bun. Tante Tikah… Sama cucu-cucunya cantik banget.”
“O ya?”
Erni langsung mengekor Nindy menuruni anak tangga. Atikah itu
figure idola bagi Erni. Sosok paling menyenangkan. Ia kadang menjelma jadi peri
curhat kalau Erni lagi penat. Juga tempat Erni curhat tentang Dimas tentunya.
Mereka
langsung cipika-cipiki. Erni nggak nyangka Atikah bakalan datang. Keluarga Erni
juga menyambut Atikah dengan antusias. Alvin yang baru selesai beresin rumput
juga ikut nimbrung.
“Waahhh apa kabar nih, keluarga jauh?” Tanya Alvin yang tiba-tiba muncul dengan
celana digulung dan tangan yang penuh tanah.
“Iii Ayah, cuci tangan dulu kek..” protes Nindy.
“Iya, iya… Waahh, Mas Andre nih pasukannya makin banyak aja” komentar Alvin
sebelum menghilang dari kerumunan. Ia segera ke atas untuk ganti baju.
Beberapa
menit kemudian Alvin balik lagi dengan dua kaleng biskuit. Bertemu keluarga
Atikah adalah sesuatu yang menyenangkan. Anaknya yang paling besar sudah
memberikan dua cucu yang lucu-lucu.
“iya nih bentar lagi juga kita nyusul kok… jadi kakek-nenek” ucap Alvin sambil
merangkul Erni yang duduk di sebelahnya. Erni sempat menatap mata Alvin yang
menatapnya dengan pandangan kosong. Entah kenapa saat itu waktu seolah
berhenti. Seketika suasana terasa hening, bagi Erni. Alvin mendekatkan wajahnya
ke wajah Erni. Tapi Erni segera menunduk. Erni agak risih dengan itu, karena
banyak anak kecil. Tapi ia segera menikmati obrolan demi obrolan yang memancing
tawa. Di mata Erni, Atikah adalah wanita paling beruntung yang pernah ia kenal.
Di usianya yang hampir lima puluh ini, ia masih cantik. Dan tentu ia menikah
dengan laki-laki yang mencintai dan dicintainya.
Uups, tiba-tiba saja Erni teringat suratnya yang belum sempat ia bereskan.
“Aku tinggal ke atas dulu sebentar ya Mbak Tikah…”
“Oh iya, silahkan…”
Erni menaiki tangga dengan langkah tergesa. Di kamar ia tidak
menemukan bukunya. Ia berharap ia lupa bahwa buku itu sudah ia letakkan di
tempat semula. Erni mencari buku itu di rak.
Tapi.. gawat!,
Buku itu tidak di tempatnya.
Erni membalikkan selimut, menengok kolong kasur, membuka-buka laci… dan buku
itu,
“Cari ini ya?”… di tangan Alvin.
Erni bisa merasakan desir darahnya yang tiba-tiba seolah berhenti. Ia merutukki
kecerobohannya.
Alvin
menghampiri Erni yang terduduk lesu di ujung ranjang. Alvin menjajarinya dan mengembalikan
buku itu pada Erni.
“Ini kan yang kamu
cari?” Tanya Alvin yang lebih mirip halilintar di telinga Erni.
“Aku… Maaf…” Erni bingung harus berkata apa selain kalimat itu.
Alvin diam. Erni
membisu. Untuk beberapa saat, sunyi mengambang di ruangan itu. Erni mencoba
melihat wajah Alvin yang tertunduk dengan tatapan hampa menekuri lantai. Tidak
ada tanda-tanda kemarahan atau emosi yang meledak disana. Yang ada hanya seraut
wajah penuh kecewa yang membias natural. Erni tau, ia telah melakukan satu
kesalahan besar. Dan air mata itu meluruh lagi. Tiba-tiba saja Erni merasa tak
ingin berada dalam suasana itu. Ia pun beranjak ketika suara Alvin menahannya.
“Bagaimana
kamu merahasiakan hal ini selama lebih dari dua puluh tahun?”
Erni membalikkan badan dan tersungkur di lutut Alvin dengan tangis yang semakin
deras. Alvin meraih bahunya. Membimbing Erni duduk menjajarinya. Erni menutup
wajahnya dengan dua telapak tangan yang terasa dingin.
“Aku minta maaf…
aku minta maaf…” Suara Erni terdengar parau.
Alvin menatap wanita yang telah ia nikahi dua puluh tiga tahun silam dengan
tatapan tajam yang hampa.
“Kamu nggak
perlu minta maaf… itu bukan suatu kesalahan. Itu hal yang wajar. Hal itu bisa
terjadi kepada siapapun. Aku hanya heran… Bagaimana pernikahan kita bisa
berjalan dua puluh tiga tahun tanpa kita sama-sama saling mencintai, bagaimana
kita bisa tidak tau bahwa kita sama-sama tidak saling mencintai, selama dua
puluh tiga tahun… kenapa kamu harus pura-pura mencintaiku? Bagaimana selama itu
pula, kita sama-sama menyimpan rahasia yang sama…”
Erni terkejut. Tanpa kita sama-sama saling mencintai? sama-sama menyimpan
rahasia yang sama?… kalimat itu rasanya perlu digaris bawahi.
“Maksud kamu?”
“Aku rasa tanpa diperjelas pun sebenarnya kamu paham…”
“Maksud kamu… kamu…?”
Alvin tidak menjawab. Ia hanya menyerahkan Lenovo A390 silvernya dan segera
menuju balkon.
Erni menatap rangkaian nomor yang berjajar di inbox message-nya. Membukanya
satu persatu.
Bagaimana persiapannya besok?
Ya, sudah 99 persen lah…
Lalu, kamu sudah bicara pada istrimu?
Tentang?
Tentang rencana pernikahan kita.
Nantilah, kalau pernikahan anakku sudah beres
Tapi kamu serius kan dengan tawaranmu?
Ya, aku serius. Dari dulu pun aku serius. Kamunya aja yang
ninggalin aku.
Iya, iya, maaf ya sayang… aku khilaf. Dan aku janji, itu nggak
bakal terjadi dua kali.
Sekarang kamu tau kan, seberapa besar cintaku ke kamu.
Iya sayang. Apalagi kalo kamu mau menceraikan istrimu. Aku tambah
yakin.
Ya, itu kita liat nanti aja. Kalau dia siap dimadu, aku rasa nggak
masalah. Tapi kalau nggak siap, ya sudah… selesai masalahnya.
Air mata Erni semakin deras. Apakah benar, Alvin akan
menceraikannya?. siapakah wanita ini?, sanggupkah ia menghadapi ini?…
Ada
keperihan menggores perasaannya. Rasanya ia sudah tak tahan untuk membaca
pesan-pesan lainnya. Ini sudah cukup membuatnya layak menjadi pasien rumah
sakit jiwa.
Erni tak mampu lagi menerjemahkan gejolak di hatinya. Ia mungkin memang tidak
mencintai Alvin, tapi ia tak pernah membayangkan akan berpisah dengan Alvin.
Bagaimana jika, Alvin benar-benar…
Erni lemas. Ternyata percuma. Percuma ia berusaha mencintai orang yang tak
pernah berusaha mencintainya, bahkan justru akan meninggalkannya.
“Nuriza invertil. Laki-laki yang dulu membuat dia ninggalin aku, justru balik
ninggalin dia karena invertil. Bagaimana aku bisa melihat wanita yang kucintai
disia-siakan seperti itu… padahal aku sangat ingin menghabiskan sisa hidupku
bersama wanita itu.”
Kalimat Alvin barusan benar-benar seperti pedang yang mampu mematikan Erni
dengan sekali tebas. Entah bagaimana, hatinya menyesal telah mencintai Dimas.
Dan yang lebih ia sesali adalah ia harus berhadapan dengan kenyataan, bahwa
selama ini ia hidup dengan laki-laki yang tidak menginginkannya. Dua puluh tiga
tahun bukan waktu yang sebentar.
Bagaimana aku bisa melihat wanita yang kucintai disia-siakan seperti itu?…
padahal aku sangat ingin menghabiskan sisa hidupku bersama wanita itu.
Kalimat itu menggema di telinga Erni. Kalimat yang membuatnya ingin melompat
dari gedung bertingkat delapan belas. Kalimat yang membuatnya berpikir bahwa
sebuah pisau di perutnya cukup untuk menghilangkan rasa sakit ini.
Dan saat itu, rasanya ingin sekali Erni memeluk laki-laki yang telah
menikahinya selama dua puluh tiga tahun, lalu mengatakan bahwa “Aku mencintaimu
sayang… Sungguh aku benar-benar jatuh cinta padamu saat ini dan selamanya…”.
Tapi percuma. Toh, ia hanya akan mendapat selembar surat gugatan perceraian.
“Besok Nindy nikah… Aku nggak mau dia tau apa-apa tentang orangtuanya yang
tidak saling mencintai… Kita bahas ini nanti” kalimat terakhir Erni sebelum akhirnya
keluar dari kamar.
Alvin masih mematung di balkon. Menatap malam yang semakin larut.
Ia memang masih mencintai Nuriza selama puluhan tahun. Sama seperti yang
dirasakan Erni pada Dimas.
Pandangan Alvin menyapu ruangan yang kini kosong. Hanya ada isak
tangis Erni yang masih lekat di telinganya. Tangis yang sebenarnya ingin ia
redakan. Tangis yang membuat ia merutuk, entah pada siapa, entah untuk apa…
Di
bawah, Erni mengetuk kamar Nindy. Ia menemukan anaknya berbaring santai di
antara dua wanita gemuk yang mengolesi lulur ke seluruh tubuhnya.
“Bunda?… Bunda kenapa nangis?”
“Nggak apa-apa sayang… Bunda terharu.”
“Terharu?, Karena besok Nindy nikah?”
Erni mengangguk.
Dua
wanita gemuk itu pamit.
“Oh iya, mbak… Mbak Atikah tadi sudah dikasih tau kamarnya?”
“Sudah, Bu”
Erni menghampiri Nindy yang masih memakai kemben. Lalu memeluknya dan terisak
disana.
“Bunda… makasih ya udah merawat Nindy. Nindy berutang banyak sama Ayah dan
Bunda…”
Air mata Erni semakin deras. Nindy mengeratkan pelukkannya.
“Bunda nggak usah sedih… meskipun Nindy udah nikah, Nindy tetap anak Bunda sama
Ayah. Nindy juga pingin menikmati masa tua berdua dengan Axcell, seperti Bunda
mengahabiskan waktu bersama Ayah”
Erni memeluk Nindy lebih erat. Seolah ingin berbisik… “Setelah kamu nikah, Bunda
nggak punya siapa-siapa lagi, sayang… kamu harus mencintai suami kamu dengan
tulus. Semoga kamu bahagia Nak, dengan laki-laki yang kamu cintai… kebahagiaan
kamu adalah kebahagiaan Bunda, begitu juga kebahagiaan Ayah adalah kebahagiaan
Bunda. Meski Bunda harus kehilangan kalian dalam waktu yang bersamaan…”
Erni tau, sebentar lagi ia akan kehilangan segalanya dalam waktu yang nyaris
berbarengan. Dia sudah pernah kehilangan orang yang dicintainya. Dan saat ini
ia akan mengalaminya lagi. Bahkan lebih berat. Jika ia butuh waktu puluhan
tahun untuk bisa melupakan Dimas, berapa tahunkah ia mampu merelakan Alvin?…
Satu hal
yang baru ia sadari, bahwa ia mencintai Alvin jauh dibanding cintanya kepada
Dimas. Dan ketika cinta itu datang menyerbu kisi-kisi batinnya, ia justru harus
siap mengahadapi kehilangan yang menyakitkan itu lagi…
Andai tuhan ingin menyabut nyawa sesorang pada malam ini, Erni bersedia
nyawanya ditukar dengan orang itu…
Sungguh tuhan…
Ia tak pernah merasa selemah ini sebelumnya.
Pagi itu
pun tiba…
Pagi dimana kebahagiaan menyeruak dalam hati dua insan yang siap menjadi satu
dalam sebuah ikatan agung nan suci.
Mata Erni sedikit membengkak, sebab menangis semalam suntuk. Erni duduk
berdampingan dengan Alvin. Tapi keduanya tak ada yang mencoba mencairkan
suasana. Mereka larut dalam hening dan pikiran mereka sendiri.
“Erni… mata lo bengkak. Kenapa?” Tanya Priscill, adiknya Erni yang bungsu.
“Itu Tante, Bunda semalem nangis di kamar Nindy.” Ucap Nindy pelan. Tapi cukup
jelas terdengar oleh Erni juga Alvin.
“Napa Ndy?”
“Bunda sedih katanya. Terharu Nindy udah gede. Cantik lagi. Kaya Bunda…” jawab
Nindy bercanda.
“Yeee ngapain sedih. Kan enak si Nindy nikah, jadi bisa berduaan mulu gitu…
Ahaydah” ledek Priscill sambil menyikut lengan Erni.
“Iiii Tante Priscill…”
Erni senyum. Tapi di sudut matanya, air itu jatuh lagi. Erni cepat-cepat ke
belakang sebelum ada yang tau. Ia ke kamar. Air matanya jatuh tanpa bisa
dicegah. Make up-nya luntur. Ia tidak peduli dengan brukatnya yang mulai
berantakan.
Kan enak si Nindy nikah, jadi bisa berduaan mulu gitu… ahaydah.
Kalimat Priscill menggema di telinganya berselingan dengan kalimat Alvin
Bagaimana aku bisa melihat wanita yang ku cintai disia-siakan?… padahal aku
sangat ingin menghabiskan sisa hidupku bersama wanita itu.
Nindy juga pingin menikmati masa tua berdua dengan Axcell, seperti Bunda
mengahabiskan waktu bersama Ayah…
Semua kalimat itu bersahut-sahutan di benak Erni. Ia menelungkupkan tangan ke
wajahnya. Berharap ini hanya mimpi dan berakhir ketika ia membuka matanya. Ada
tangan halus yang menyentuh jemarinya, lalu menggenggamnya erat-erat. Entah
ilusi atau bukan, tapi Erni terlalu takut untuk menegaskannya. Ia khawatir
bahwa ini hanya ilusi yang akan hilang saat ia membuka mata. Tapi jauh di lubuk
hatinya, harapannya amat besar bahwa ini adalah sebuah kenyataan yang
diharapkannya.
Ia membuka matanya pelan-pelan, ada wajah yang amat ia cintai disana. Wajah
yang mungkin akan hilang dari hari-harinya sebentar lagi. Ia tak sanggup
membalas tatapan itu. Tatapan yang bisa jadi akan menjadi tatapan terakhir yang
pernah ia lihat.
Tapi jari-jari itu menyentuh pipinya dengan lembut. Jari-jari itu memaksa Erni
mengangkat wajahnya dan membawa mata Erni untuk menatap mata itu. Selama
sedetik mereka bertatapan. Pada detik berikutnya, tangis Erni meluruh di pelukkannya.
Alvin menyambut tubuh Erni. Di peluknya wanita itu erat-erat. Sangat erat.
“Kamu nggak perlu nangis seperti ini, sayang… kita akan terus bersama-sama.
Maafin aku… aku nggak akan pernah ninggalin kamu, aku cinta kamu, sayang… aku
akan membuat kamu mencintaiku… aku akan melakukan apapun untuk membuat kamu
mencintaiku… aku minta maaf untuk kepura-puraanku sepanjang usia pernikahan
kita, tapi saat ini, aku mencintaimu. Aku jatuh cinta padamu, saat ini Erni.
Bahkan seribu kali lebih hebat dari malam pernikahan kita. Aku ingin kita
memperbaiki ini, sayang… dan kita akan melihat cucu-cucu kita tumbuh
bersama-sama… maafin aku sayang..” ucap Alvin bertubi-tubi menghujani Erni
dengan kata-kata cinta. Ia tau, ia tidak pernah bisa melihat wanita yang
dicintainya disia-siakan oleh siapapun. Dan wanita itu adalah Erni.
Erni menatap Alvin dalam-dalam. Ada sesuatu yang hangat membanjiri jiwanya
ketika tatapan mereka bertemu.
“Kamu sudah membuat aku jatuh cinta, sayang…”
“O ya?, kapan?”
“Semalam.” Jawab Erni sambil menyunggingkan senyum. Alvin mengulum senyum itu.
Terasa begitu manis. Erni larut dalam suasana cinta yang tiba-tiba menyeruak.
Tok, tok…
“Permisi Pak, Bu… penghulunya sudah datang” kata seseorang di balik pintu.
Alvin menarik bibirnya dari bibir Erni. Senyum mereka mengembang.
Erni merapikan make up-nya yang luntur. Lalu ia menggamit lengan Alvin.
“Apa kita akan menikah lagi?” bisik Erni manja.
“Nggak perlu. Tapi kita akan bulan madu lagi…”
“Saya nikahkan
Nindy Ramdhani binti Alvin Zairi dengan Axcell Dimitri bin Dandy Ferdinand
dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan emas seberat 25,76 gram dibayar
tunai.”
“Saya terima nikahnya Nindy Ramdhani binti Alvin Zairi dengan mas kawin
seperangkat alat sholat dan emas seberat 25,76 gram dibayar tunai”
“Sah?”
“Alhamdullillah, sah…”
Tamu-tamu
menyalami pengantin juga orangtua mereka. Erni melihat Dimas dan Rahma di
antrian tamu. Ia teringat Nuriza.
“Sayang, Nuriza jadi dateng gak?” bisiknya pelan di telinga Alvin
“Nggak tau. Tuh Dimas dateng.” Sindir Alvin. Erni cemberut.
“Aku udah jatuh cinta sama kamu, sayang…”
Alvin senyum.
“Waahh… ada yang bakalan jadi nenek nih. Ahaha, Mas Alvin sabar ya, ngadepin
nenek-nenek bawel begini” ledek Dimas santai ketika berjajar di antrian tamu
untuk menyalami pengantin, tanpa tau bahwa ia hampir menyebabkan Erni dan Alvin
cerai.
“Biarin nenek-nenek, yang penting cantik!” balas Erni.
“Digh, mana ada nenek-nenek cantik, dimana-mana nenek-nenek itu peyot.”
“Yee, Papa lupa ya? nanti kan istrinya juga jadi nenek kalo si Yuna udah nikah.
Kayak nggak bakal jadi kakek-kakek aja.” Omel Rahma.
Dimas manggut-manggut. Sambil berbisik di telinga Alvin,
“Dasar nenek-nenek gak dimana-mana, sama aja. Bawel.”
Alvin Cuma ketawa. Setelah Dimas dan Rahma lewat, ia berbisik di telinga Erni,
“Ciyeee yang abis diledekkiin…”
Erni melotot. “Awas ya, nanti malem.”
Akhirnya mereka lupa dengan kejadian tadi malam. Yang mereka ingat hanya bahwa
hari ini adalah hari dimana hati mereka dijatuhi cinta.
Wanita yang
janji akan datang juga tak luput dari acara ini. Nuriza yang tidak tau tentang
Alvin dan Erni, sudah siap-siap. Selain siap-siap menghadiri acara pernikahan
Nindy, ia juga bersiap-siap menjadi Ibu baru bagi Nindy. Ia sudah akan
berangkat jika taksi pesanannya sudah datang.
Sebuah mobil tiba-tiba berhenti di halaman rumahnya. Mobil itu bukan taksi. Itu
APV Arena silver. Nuriza menunggu seseorang keluar dari dalam. Dan ia menemukan
sosok yang sudah lama ingin ia temui.
Fahmy.
Entah mengapa ia datang hari itu.
“Ada perlu apa?” Tanya Nuriza terdengar dingin.
“Nggak ada perlu apa-apa. Aku Cuma mau minta ke kamu, supaya kita menikah
lagi.”
Nuriza terkejut. Tapi rasanya ia tak perlu penjelasan apa-apa untuk hal itu.
Kehadiran Fahmy di hadapannya saat ini sudah cukup menjelaskan bahwa laki-laki
itu tidak akan mengulangi kesalahannya lagi dengan meninggalkan Nuriza. Dan
permintaannya adalah suatu kejelasan bahwa ia telah siap dengan segala
kekurangan Nuriza. Ia segera melebur tangis di pelukkannya. Fahmy menyambut
tubuh Nuriza dengan haru. Ia tidak tau harus dengan cara apa berterima kasih
pada kesediaan Nuriza memaafkannya setelah sepuluh tahun Fahmy meninggalkannya.
Bagi Nuriza, tak ada yang salah. Mereka hanya butuh waktu untuk mengerti bahwa
mereka saling membutuhkan. Semuanya hanya masalah waktu.
“Dua puluh tiga tahun kita membangun rumah tangga tanpa saling mencintai… entah
berapa ribu tahun yang cukup untuk kita membangun rumah tangga dengan saling
mencintai…” Alvin menggenggam tangan Erni dan mengecupnya.
Begitulah… usia memang hanya sebuah angka jika cinta menemukanmu…
~ TAMAT ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar