Senin, 12 Oktober 2015

Lelaki Puisi dan Gadis Bunga

Aku benci laki-laki itu. Memang sudah sepantasnya aku membenci dia. Dia datang lalu pergi begitu saja. Begitukah cara laki-laki memperlakukan seorang wanita? Laki-laki yang ku sebut dengan laki-laki puisi. Dia mencintai dunia keindahan kata-kata itu. Baru pertama kali, dalam hidupku, aku mengenal laki-laki yang amat menyukai puisi. Laki-laki itu sebenarnya adalah temanku. Namun, kami tidak terlalu dekat. Hanya sebatas mengenal biasa dan berkomunikasi layaknya seorang teman. Hingga pada akhirnya laki-laki itu datang. Entah angin apa dan mana yang membawanya ke mari. Atau, mungkin ada maksud lain darinya untuk datang padaku saat itu. Aku tidak tahu. Kedatangannya bagai oase di tengah kering dan tandusnya suasana hatiku.
Aku baru saja dikhianati oleh kekasihku. Oh, maaf, mantan kekasih. Kami sudah terikat hubungan serius -entah dia menganggapnya seperti atau tidak- selama, satu, dua, yah, hampir dua tahun. Sudah cukup lama, bukan? Tapi, hubungan kami adalah salah satu hubungan yang berisiko. Benar. Long Distance Relationship -Hubungan Jarak Jauh. Dia bekerja di kota yang jauh beribu kilometer dari tempatku tinggal. Dari awal sebenarnya aku sudah menduga kalau status hubungan kami akan sulit berjalan.
Bagaimana mungkin memelihara cinta pada seseorang yang saat kita rindukan dia tidak bersama kita? Sementara kita tidak tahu apa yang mereka lakukan di sana. Sudah banyak bukti bahwa hubungan jarak jauh tak pernah berakhir bahagia. Ya, aku tahu bahwa tidak semua berakhir demikian. Tapi, hanya sedikit yang berakhir bahagia, bukan? Artinya, risiko hubungan jarak jauh berakhir dengan patah hati lebih besar. Dan ternyata benar apa yang sudah ku duga. Hubunganku berakhir dengan patah hati. Patah hati itu tercipta dari sebuah perselingkuhan.
Aku benar-benar patah hati saat itu. Bagaimana mungkin aku tidak patah hati? Aku mencintainya sepenuh hati. Apalagi, aku sudah terlanjur memberikan kepercayaanku sepenuhnya padanya. Kenapa? Tentu, karena aku mencintainya, juga setahuku dia mencintaiku. Tidak mungkin aku tidak mempercayai orang yang ku cinta dan cinta padaku. Begitulah caraku memelihara cinta yang ku punya. Hanya saja mungkin perasaan yang dia miliki telah hilang hingga tak mampu merasakan perasaan orang lain. Bukan orang lain, tapi kekasihnya sendiri.
Lalu, saat itulah laki-laki puisi itu datang. Aku menyukai laki-laki itu. Dia mampu membangunkanku dari rasa terpurukku saat itu. Dia selalu ada untuk menemani aku ketika aku sendiri. Dari situlah semua perasaan itu berawal.
“Kamu selalu membuatkanku puisi. Karena kamu seperti puisi.”
Setiap hari selalu ada pesan singkat atau message di jejaring sosialku darinya. Isinya, tentu puisi-puisi yang dibuat untukku.
“Ah, bagus sekali.” kataku dalam hati. Lama-lama, aku juga menyukai puisi. Aku mencoba untuk membuat puisi untuknya. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba aku merasa harus membalas puisi romantisnya untukku. Ada apa denganku? Pikiranku bingung sendiri. Apa aku mulai jatuh cinta pada laki-laki puisi itu? “Tidak mungkin.” sangkalku.
“Puisimu juga bagus.” puji laki-laki puisi itu.
“Ah, jangan berbohong.”
“Semua puisi itu bagus. Kamu kan baru belajar membuatnya.”
Aku tahu kenapa aku menjadi sering membuat puisi untuknya. Ya, aku jatuh cinta pada laki-laki puisi itu. Dia membuatku merasa nyaman di sampingnya. Hari-hari patah hatiku tidak menjadi sepi semenjak dia masuk ke duniaku. Aku tidak perlu mencari seorang teman lagi untuk menemaniku. Aku tahu laki-laki itu akan datang dan menggandeng tanganku.
Aku tahu wanita itu, wanita yang gemar menyiram bunga-bunganya di setiap sore. Setiap hari dia melakukannya. Banyak sekali jenis bunga yang ada di taman depan rumahnya. Wanita itu, teman aku, sedang patah hati. Aku tahu kalau dia sangat mencintai kekasihnya yang sudah mengkhianatinya. Cintanya pada kekasihnya sangat besar. Tapi, kekasihnya mempermainkannya. Mengapa harus mempermainkan hati seorang wanita? aku juga seorang laki-laki tapi aku tidak setuju dengan sifat yang seperti itu. Aku menghargai wanita. Bukankah dari awal hubungan sudah terlontar janji untuk saling jujur?
Aku datangi wanita itu. Dia terlihat sedih. Aku bisa melihat garis wajahnya yang lesu. Sebuah kesedihan tergambar jelas di wajah cantiknya.
“Sudah jangan bersedih.” kata aku. “aku tahu bagaimana sakitnya.”
“Kamu tidak tahu.”
Aku tidak mengerti bagaimana aku bisa datang pada wanita itu. Wanita yang selalu menyebutku sebagai laki-laki Puisi. Ah, baru kali ini aku mendapat sebutan seperti itu dari seorang wanita. aku hanya merasa hati aku terdorong untuk datang pada wanita itu. Entah apa atau siapa yang mendorongnya, aku tidak tahu. Tapi aku datang pada wanita itu. Untuk apa? Entahlah, aku hanya datang. aku merasa ingin datang padanya. Sebenarnya, aku malas berurusan dengan yang namanya wanita. Tentu, tidak. Bukan berarti aku tidak tertarik lagi dengan wanita. Aku hanya pernah tersakiti oleh wanita.
Saat itu, aku ingin merayakan hubungan kami, aku dan kekasih aku, yang menginjak umur 1 tahun. Ah, itu rekor terbaru dalam hidup aku. Biasanya paling lama aku bertahan hanya 3-5 bulan. Aku berpikir, kalau kekasih aku itu adalah orang tepat yang Tuhan kirim untuk aku. Tapi, kita lupa bahwa Tuhan akan mengirim orang yang ‘tidak tepat’ untuk kita terlebih dulu, sebelum akhirnya akan ada yang tepat buat kita. Ternyata, kekasih aku itu, salah satu orang yang tidak tepat untuk aku. Aku sedang duduk di cafe malam itu. Menunggu kekasih aku datang. Sebenarnya, aku paling malas dengan sifatnya yang satu itu. Gemar membuat orang menunggu.
Entah sudah berapa kali-selama kita pacaran -dia membuatku menunggu. Aku selalu mengalah padanya. Kenapa kita sering mengalah untuk orang yang kita cintai? Nanti, aku akan menyadari bahwa itu hal bodoh. Ada pesan yang muncul melalui layar handphone aku.
“Maaf, aku tidak bisa bersama kamu lagi. Kita putus.” Kalimat itu seperti aliran listrik di cafe itu, yang terlihat baik-baik saja, tiba-tiba menyengat aku. Membuat aku kehilangan kesadaran beberapa menit. Entah apa yang sebenarnya terjadi, tiba-tiba dia memutuskan aku dengan cara seperti itu. Tentu, itu tidak benar. Seharusnya, jika memang dia ingin putus dari aku, dia bisa datang dan berkata langsung padaku. Aku yang mendatanginya tetapi aku tidak bisa bertemu dengannya. Kekasih aku itu -maaf, maksud aku mantan kekasih- hilang seperti ditelan bumi. Tidak ada jejak yang bisa mengarah padanya.
Bukan saatnya lagi aku harus kembali mengalah. Ada masanya kamu harus tahu kapan kamu boleh mengalah pada kekasihmu. Aku ingin berkata bahwa aku tidak percaya lagi pada wanita. Tapi, saat aku datang pada wanita itu, hati aku berkata lain. Tidak semua wanita tidak bisa dipercaya. Buktinya, wanita itu bisa menjaga hatinya untuk kekasihnya.
“Dia laki-laki pengecut.” kata aku.
“Sudahlah, jangan bahas dia.”
Selama aku bersama wanita itu, aku suka menulis puisi untuknya. Entah kenapa selalu muncul ide di pikiran aku tentang puisi yang romantis. Aku susun kata-kata itu menjadi bait-bait puisi. Lalu aku kirim lewat pesan singkat atau di jejaring sosial. Aku hanya ingin membuatnya tersenyum dengan puisi aku.
“Bagi aku, kamu seperti puisi. Tidak semua orang bisa melihat keindahannya,” Kata aku saat dia bertanya kenapa selalu membuatkan puisi untuknya. “Hanya membaca dengan perasaan, kita bisa tahu dimana letak keindahannya.”
Aku ingin menemani wanita itu. Setiap hari, jika aku bisa melakukannya. Ada perasaan yang berbeda dengan saat pertama aku datang pada wanita itu. Semacam perasaan ketakutan jika aku tidak bisa bersamanya lagi. Atau, dia yang tidak bisa bersama aku lagi. aku tidak mengerti apa nama perasaan seperti itu. Perasaan itu sama seperti saat aku kenal dengan kekasih aku yang sudah meninggalkan aku.
Bagaimana mungkin aku jatuh cinta pada wanita itu? Bukankah aku hanya merasa ingin sekadar datang padanya? aku datang tanpa perasaan apa-apa. Sama sekali tak ada sesuatu yang terasa mengganjal hati aku. Semua terasa biasa saja. Tapi, perlahan perasaan itu mulai mengusik kenyamanan hati aku. aku merasa ada yang aneh dengan perasaan aku. Apa benar aku jatuh cinta? Tapi, aku tidak yakin dengan perasaan aku sendiri. Apa benar? Bagaimana itu bisa terjadi? Dalam waktu sekejap?
“Kenapa kamu memanggil aku Laki-laki Puisi?”
“Bukankah kamu suka puisi? Jadi, ku panggil saja kamu seperti itu.”
“Baiklah, kalau begitu aku ingin memanggilmu,” aku berpikir. “Gadis Bunga.”
“Gadis bunga?”
Aku mengangguk. “Seperti kebiasaanmu menyirami bunga-bungamu di setiap sore.”
Perlahan aku mulai menangkap sinyal-sinyal aneh dari wanita itu. Aku merasa dia juga mulai bersikap di luar dari kebiasaannya. Contohnya, dia mulai perhatian pada aku. Tidak sama seperti saat aku baru datang padanya. Terkadang, terlontar kata ‘akung’ pada aku. Lalu, aku berpikir apa mungkin wanita itu mulai jatuh cinta -juga- pada aku? Tiba-tiba pikiran lain datang menyerang otakku. Awalnya, ini hanya perasaan buruk atau sekadar rasa takut. Aku takut wanita itu tidak benar-benar jatuh cinta padaku. Aku takut dia jatuh cinta padaku hanya karena aku selalu ada buat dia. Aku takut hanya karena dia butuh teman untuk menemaninya. Atau, hanya karena dia ingin mengobati luka hatinya dengan adanya aku. Aku takut jika itu yang sebenarnya.
Apa yang sebenarnya laki-laki itu pikirkan? Datang tiba-tiba lalu pergi begitu saja. Apa dia hanya sekadar ingin mempermainkan hatiku? Ah, semua laki-laki memang seperti itu, bukan? Tidak ada yang bisa dipercaya. Semua yang ke luar dari mulutnya seperti tak ada yang benar.
“Kamu pengecut.” kataku pada laki-laki puisi itu.
“Kamu tidak mengerti.”
“Tapi kamu pengecut.” balasku. “Bagaimana mungkin kamu pergi begitu saja? Tanpa ada kabar dan alasan yang jelas.”
“Aku tidak pergi.”
“Lalu?” tanyaku. Laki-laki itu diam. “Kalau cuma ingin mempermainkan perasaanku… sekarang kamu sudah melakukannya.” Aku berlari pergi meninggalkan laki-laki itu.
Aku salah menilainya. Aku lupa kalau aku sedang berjalan di padang pasir yang kering dan tandus. Aku lupa bahwa setiap oase yang kita lihat, belum tentu itu benar-benar ada. Mungkin saja itu hanya fatamorgana. Seperti laki-laki puisi yang datang padaku. Aku ingin membuang perasaanku padanya. Aku ingin menghapusnya sampai tak ada bekas lagi yang tersisa. Apapun tentang dia yang pernah hadir dalam hidupku. Termasuk puisi-puisinya yang buatku hanya omong kosong darinya. Kata-kata indah yang hanya berakhir dengan kesakitan hatiku. Aku benci laki-laki itu.
Aku harus mengakui bahwa aku cinta pada wanita yang ku sebut gadis bunga itu. Tapi, perasaan takut aku terlalu besar untuk dikalahkan oleh rasa cinta itu. Masa lalu aku juga menjadi hantu menakutkan untuk bisa membuka hati lagi bagi wanita. aku tidak seperti yang dia katakan, mempermainkan perasaannya. Sungguh, sama sekali tak pernah terbersit dalam pikiran dan hati kecilku untuk melakukannya. Tapi, aku tidak bisa menjelaskannya saat itu. Entah kenapa, tiba-tiba kata-kata itu sulit untuk ke luar. Seperti membeku dalam kerongkongan.
Aku peduli dengan keadaan hatiku. Hati bagi aku adalah sesuatu yang butuh perhatian besar dalam hidup. Aku hanya takut hati aku patah lagi. Jadi, bagi aku tidak mudah untuk memberikan hati pada siapa pun. Termasuk, wanita itu meski aku sudah jatuh cinta padanya. Andai saja, aku bisa menjelaskan padanya alasanku yang sebenarnya. Mungkin wanita itu tidak akan membenciku. Yah, aku tahu dia membenciku. Aku juga tahu dia sudah pergi. Tapi biarlah untuk saat ini dia membenciku.
Kelak, saat aku benar-benar yakin wanita itu yang telah hati aku pilih, aku akan kembali padanya. Walaupun dia sudah bersama orang lain, paling tidak aku akan jujur padanya. Kalau aku -pernah- mencintai dia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar