Malam. Ada sebuah kisah yang begitu
menyakitkan. Ada segelintir cerita yang begitu perih menyedihkan. Ada segores
harapan kecil dalam kenistaan. Ada doa suci dalam dosa-dosa malam.
Malam. Terpaksa aku mengenal
dunia kelam. Larut dalam impian, menyulam permohonan pada sang Tuhan. Sebuah
permohonan yang akan membuat-Nya tertawa, mengangguk, menggeleng, dan menghela
napas. Sebuah permohonan yang menjadikanku, hina. Dimata semesta.
Malam. Meski petala gelap aku
melihatnya seumpama siang. Walau udara dingin aku merasakannya seolah hangat.
Ketika semua manusia terlelap dalam buaian mimpi, aku harus terjaga.
Malam. Bagiku udara penyelamat
jiwa-jiwa yang sekarat. Malam, adalah napas penuh rahmat. Malam, sebuah kisah
antara iblis dan malaikat. Berkelebat menyusup kedalam hati untuk saling
berlomba membisikkan dan mengajak maksiat, atau megingatkan aku akan balasan
dan laknat. Peduli apa?!
Malam. Jangan kau tanya lagi
kawan, siapa aku tak usah kau percaya. Siapa diriku jangan kau iba. Mengerti
isi hatiku jangan kau tertawa. Jangan kau menghina. Jangan kau memuji. Aku tak
pantas kau puji. Aku ini manusia keji. Yang tak pernah tahu arti pengorbanan.
Bagiku, menyelamatkan jiwa orang yang aku cintai berpahala besar. Bahkan saking
besarnya ganjaran itu, seolah aku merasa dunia ini bertasbih memujiku. Naif
bukan?
Aku salah. Mataku buta. Hatiku
terkunci. Jiwaku mati. Kalau aku tidak keliru. Inilah aku. Manusia setengah
malaikat. Manusia setengah makhluk terlaknat. Aku seperti ada di atas mimbar
cahaya yang terlaknat. Siap menunggu azab. Namun malaikat menangis memohon doa
untukku. Mana yang benar? Hanya Tuhan yang benar.
Sekali lagi aku berkata. Aku
bukan manusia sempurna. Aku bukan laki-laki yang tak berdosa. Aku ini seperti
manusia, namun hatiku tak seperti manusia. Aku sendiri tidak tahu aku siapa.
Peduli apa?!
***
Belum sempurna matahari
terbenam, aku harus sudah melangkah menuju suatu tempat. Kulirik kanan dan kiri
jalan. Setelah yakin tak ada yang melihat, akupun masuk ke sebuah gang kecil di
ujung kota ini. Menyusuri lorong kumuh dan gelap. Becek. Dalam temaram rintik
hujan. Aku agak kedinginan. Kutarik pengikat sweaterku. Lumayan hangat.
Langkahku agak tercepuk-cepuk.
Pikiranku dikerat habis oleh sisa-sisa bayang wajah seorang yang sangat dekat
denganku namun kini sedang kritis, sekarat. Bahkan hanya dia yang kumiliki
dimuka bumi ini. Tak ada yang lain. Itu sebabnya aku tak ingin kehilangan dia.
Aku tak mau lagi kehilangan orang yang kusayangi itu. Aku rela masuk kedalam
neraka, asal dia bisa hidup dan tersenyum bahagia. Meminta ampun pada Tuhan
atas dosa yang selama ini telah aku lama tabung. Hanya demi menyelamatkan
nyawa. Seorang gadis belia. Yang cantik jelita. Namanya Risa.
Antara ikhlas dan melarang ia
melepasku, tadi. Setelah meyakinkan aku baik-baik saja, dia merelakanku. Meski
air matanya terus menetes. Meski ucapan tasbih ia lontarkan disela-sela
kekhawatirannya. Meski hati kecilnya tidak ingin aku pergi. Tapi nalurinya
terus berharap. Agar aku tetap pergi.
Aku terus berjalan. Tidak melihat
dan peduli lagi dengan apa yang ada disekelilingku. Hingga aku berdiri sempurna
di depan sebuah pintu. Tampak dari balik dinding kaca seorang wanita telah
menunggu. Matanya menatapku dalam, wanita itu sepertinya telah lama menunggu di
sofa berwarna merah. Aku masuk. Lalu duduk di dekat wanita itu. Dia dingin.
Tatapannya menusuk.
“Jam berapa ini?!” wanita
berambut bob layer itu menggerutu. Dia paling tidak senang dengan orang yang
suka datang terlambat. Namun mengerti akan kondisi dan prospekku untuk bisnisnya.
Wanita itu akhirnya bersikap lembut.
“Ma-maaf.” hanya itu sahutku. Tetap duduk termangu.
“Ada banyak customer yang suka
sama kamu. Mereka elite dan glamour semuanya, seleranya tinggi, jangan buat
mereka sakit hati. Jangan buat aku malu. Fee aku tambah kalau mereka mau kamu
lagi besok. Mengerti…?!”
Aku mengangguk. Wanita itu memberiku sebuah amplop.
“Itu uang mukanya. Ingat!
Mereka berani bayar kamu mahal. Itu tandanya kamu berkualitas. Mengerti?!”
Aku pun mengangguk, pelan
sekali. Hatiku lirih menangis. Bayangan wajah seorang gadis jelas terlihat di
depanku. Gadis itu merintih. Menangis. Kesakitan. Dia terbaring pada sebuah
ranjang. Lingkar matanya gelap. Bibirnya kering pucat. Dia nyaris sekarat. Air
mataku meleleh.
***
Tepat pukul 21:00 wib. Aku duduk
seorang diri di ujung sofa merah ini. Gelisah. Resah. Gundah. Takut. Kalut.
Entahlah. Aku tidak kenal lagi siapa diriku. Inilah aku. Manusia setengah
malaikat. Jika aku tidak keliru. Dan aku masih menunggu. Entah seperti apa
wajah orang yang sedang aku tunggu. Tak penting bagiku.
Jam dinding tertawa sinis
menatapku. Mereka terdengar saling berbisik-bisik menggunjingku. Jarum panjang
menatap menghina dina diriku. Jarum yang pendek terus menangis melihatku. Angka
satu menatapku ragu. Angka dua menatapku sayu. Angka tiga menatapku cemburu.
Angka empat menatapku malu. Hingga angka lima mengejutkanku, saat seorang
wanita telah duduk di depanku. Persis di depanku. Pandanganku beralih pada
sosok hawa itu. Cantik sekali.
“Hai…” lirih wanita berparas
oriental tersenyum padaku. Sontak hatiku berdesir. Ini syaitan. Bukan wanita.
Itu bidadari. Bukan malaikat. Aku tidak tahu bagaimana harus mendeskripsikan
sosoknya. Dia aneh bagiku –penampilannya yang sangat glamour.
“H-hai…” sahutku, masih ragu.
“Udah lama, nunggunya?”
tanyanya sambil meletakkan tas di atas meja. Aku menggeleng.
“Mau minum apa?” matanya liar
menatap dadaku. Jantungku pun langsung berdegup. Sakit. Seolah aku telah
menginjakkan kaki di tepi jurang penuh api. Nyaris tergelincir.
“Kamu kenapa? Kok, kelihatan
kaku gitu…?” tanyanya menatapku. Aku larut dalam angan-angan. Membayangkan
sebuah cambuk yang telah lama siap melucuti punggungku. Duri-duri beracun siap
bercokol ditelapak kakiku. Rasanya perih, namun harus aku lewati. Tuhan Maha
Pengasih.
“It’s My first time…” jawabku pasti. Namun hatiku getir.
Semenit kami saling diam. Mata
masing-masing tak jelas menatap apa. Aku melihat pengunjung kafe yang mulai
ramai berdatangan. Gadis itu melihat diriku yang sepertinya nyaris mati
ketakutan. Aku diam. Ketika aku sadar telah masuk kedalam lingkar markas
syaitan, darahku meledak ingin keluar. Ini tempat yang mengerikan. Semua
manusia tak mengenal Tuhan. Hanya sekedar senang-senang. Rakus bukan kepalang.
Dan aku, mulai menggigil ketakutan. Semakin ketakutan. Apalagi saat perempuan
itu mendekatiku. Duduk merapat denganku. Perlahan mencium pipiku. Sontak aku
beringsut menjauh. Wajah perempuan itu merajuk. Alisnya menyatu. Heran melihat
tingkahku.
Perlahan ia mendekatiku lagi.
Kali ini jemari kami menyatu. Napasku menderu. Amarah dan benci menjadi satu.
Kedua kalinya dia menciumku. Aku geram gregetan. Kalau tidak mengingat derita
gadis yang sekarang benar-benar sekarat. Aku tidak akan nekat masuk ke dalam
lembah terlaknat. Inilah aku. Manusia setelah malaikat. Kalau aku tidak keliru.
***
Malam pertama bekerja, aku bisa
mengelak. Mendadak asmaku kambuh. Perempuan berwajah oriental itu mengerti.
Bahkan dia sangat mengerti. Memberiku fee tambahan untuk biaya berobatku tanpa
kami harus melakukan penambat nafsu itu. Aku berterima kasih padanya. Besok,
dia mau aku lagi –hanya bertemu. Jawabanku hanya insya Allah, itupun jika Tuhan
mengehendaki. Perempuan berwajah oriental itu tidak lagi menciumku. Lima ratus
tahun hukuman dalam neraka jika ia nekat menebar syahwat menciumku. Gadis itu
pulang sambil menangis. Aku bertasbih.
Malam kedua aku di selamatkan
seorang malaikat. Hampir saja ibuku di alam baka sana di siksa oleh galaknya
mungkar dan nakir. Jika saja keperjakaan anaknya di renggut seorang gadis
berambut pirang keturunan Finlandia. Tuhan masih menolongku. Aku tetap dapat
uang tambahan. Kali ini bukan karena alasan sakit asma. Tapi perempuan itu
berlinang air mata ketika aku ceritakan history keluargaku yang sengsara. Malam
itu, setengah malam suntuk kami curhat. Aku duduk di sudut ruangan. Gadis itu
aku minta tetap tenang di atas ranjang. Aku menjaga pandangan. Agar tak ada
kemaksiatan.
Malam ketiga, seorang wanita
cantik tidak mau mengerti. Aku harus bisa mengkoordinirnya–wanita cantik yang
ada di depanku malam itu–agar Tante Maria tak marah padaku. Apa jadinya jika
uang muka yang kuterima harus ditarik kembali olehnya. Mau kemana aku mencari
uang sebanyak itu. Sedangkan sebagian, sudah aku gunakan. Untuk biaya berobat.
Juga untuk makan. Dan malam ketiga itu. Ujian dari Tuhan tak terbantahkan.
Wanita cantik itu begitu menggoda. Hatiku terus ingat untuk memuji Tuhan.
Palingkan aku dari kebinasaan. Wanita itu liar. Dia nyaris menyentuh bagian
yang seharusnya tidak boleh dia sentuh. Dan lagi-lagi malaikat menolongku.
Wanita itu panik dan langsung pulang begitu mendapat kabar ibunya mendadak
meninggal. Dan malam itu, kali pertama aku begitu senang mendengar kabar orang
meninggal. Apa boleh buat.
Malam keempat. Aku tidak bisa
bernapas. Dadaku sesak. Jiwaku seolah dikebiri dengan kepahitan hidup. Aku
bertemu dengan gadis belia yang tak seharunya menjual harga dirinya. Aku
lelaki. Dia wanita. Kami, sama-sama terjebak dalam keharusan mendapatkan uang
secepat kilat. Bahkan kalau bisa lebih cepat lagi dari rambatan cahaya. Untuk
orang yang kami sayangi. Aku butuh uang untuk adikku. Dia butuh uang untuk
ayahnya. Malam itu. Separuh uang yang aku terima, aku hibahkan untuknya. Aku
menangis. Dia menangis. Kami sama-sama bertasbih. Memuji Tuhan.
Malam kelima. Aku harus
menambah malam lagi. Karena uangku masih kurang. Tidak apa-apa. Semoga masih
banyak wanita berhati malaikat yang sudi memberiku uang secara ikhlas tanpa
kami harus saling melepas nikmat. Nikmat yang terlaknat. Yang membuatku
menggigil. Yang membuat otakku penat. Yang membuatku nyaris mati dalam umpatan
seribu ikan di samudera. Dan lagi-lagi, aku selamat.
Alhamdulillah. Uangku cukup.
Malam itu, aku segera ke Rumah Sakit. Menjenguk adikku tercinta, Risa. Dia
menyambutku. Menanyakan kabarku. Menanyakan tempat kerjaku yang ia tahu aku adalah
seorang barista. Seandainya ia tahu aku bukan barista. Mungkin Risa akan
menangis meronta dan mengumpatku. Melaknatku. Dan yang lebih parah. Dia tidak
bersedia menerima sumbangsihku. Aku tidak mau dia tahu. Biarlah derita ini
menjadi rahasiaku. Rahasia malaikat yang ada di kanan dan kiri pundakku. Dan
tentu, rahasia Allah juga.
“Ya Tuhan. Jadikan dustaku ini
sebagai suatu kebaikan. Jika aku harus masuk dalam jahanam. Jadikanlah tubuhku
besar. Agar daging dan kulitku cukup menutupi bara api dalam jahanam. Agar tak
ada lagi manusia yang tersiksa nantinya. Biar aku saja yang tersiksa. Karena
sejak kecil, batinku sudah terbiasa. Aku ikhlas. Aku rela. Aku puas.”
“Kak…” lirih Risa mengejutkanku. Aku mengelap air mataku.
“Kakak kenapa menangis…?” tanya
Risa mengiba. Agaknya ia ingin tahu kesedihan apa yang membuatku menangis. Aku
diam. Menahan sisa kesedihan.
“Kak…?” lirih Risa ketiga kalinya. Ia nyaris beranjak. Aku
mencegah.
“Risa belum sembuh. Jangan
banyak bergerak. Kamu makan dulu, yah. Habis itu, minum obat.” Kataku tersenyum
sambil membantunya rebahan. Risa mengangguk.
“Kakak, kalau Risa sudah
sembuh. Kakak mau belikan Risa apa?” satu suapan belum membuat mulutnya diam.
Dia memang nyinyir. Tapi itu membuatku terhibur.
“Risa, maunya Kakak belikan apa?” kataku basa basi.
“Hmmm, Risa mau dibelikan
boneka. Tapi yang besar, Kak. Biar jadi teman Risa tidur. Boleh kan, Kak…?”
“Insya Allah…”
Aku menyuapi satu sendok lagi.
Risa lahap dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Bibirku tersenyum. Tapi
hatiku menjerit. Aku butuh keadilan. Aku ingin kebebasan. Aku ingin adikku bisa
segera disembuhkan.
“Kak, tadi ada teman Kakak
datang kemari. Dia nyariin Kakak…” lirih Risa membuat dahiku berkerut.
“Si-siapa?!” tanyaku agak
takut. Aku takut kalau Tante Maria nekat mendatangi Risa. Bisa kacau semuanya.
“Kalau nggak salah, teman kuliah Kakak. Namanya Kak Nadia.”
“Oh, Nadia? Memangnya, dia
ngapain kesini…?” kataku sambil tetap menyuapinya. Mulut Risa penuh dengan
bubur ayam, dia menjawab agak kurang jelas artikulasinya. Tapi kira-kira
seperti ini, “Hmmm, dia mau bicara penting…” katanya sambil terus mengunyah.
“Bicara penting?” lirihku
menatap lantai keramik Rumah Sakit ini. Tiba-tiba aku terpikirkan dengan tugas
kuliah. Sepertinya aku tidak terlalu ketinggalan. Lalu, ada masalah apa dengan
Nadia? Bukannya dia bisa menghubungiku lewat telefon?
***
Di kampus. Nadia membisu.
Sikapnya tak bersahabat. Gelagat itu jelas sekali menunjukkan bahwa dia sedang
marah padaku. Aku biarkan hingga dengan sendirinya ia sudi berbicara. Malam
itu, saat acara pentas seni di kampus. Aku meminta Nadia berkata jujur, salahku
apa padanya. Dia tak berdalih. Bibirnya lengket penuh dengan perekat.
Telinganya disumbat rapat-rapat. Matanya dibalut warna pekat. Dia tidak
mendengarku. Tidak melihatku. Tidak berbicara padaku. Dia mematung. Membisu.
Hingga akhir semester dia mau
membuka hatinya. Dia memakiku dalam sunyinya malam. Dia menangis dalam derasnya
hujan. Dia menjerit dalam lengangnya sang tabir yang telah lama pecah oleh
perasaan. Perasaan dua insan yang selama ini hanya terpendam. Tak ada yang
berani mengungkap. Tak ada yang berani berkata.
“Kalau kau butuh uang, bicara
Fahri. Bicara….!” Nadia menjerit. Ia berteriak seakan sesalnya begitu dalam,
menangis. Aku hanya bisa diam.
“Kau tahu aku mencintaimu. Aku
tahu kau mencintaiku. Meski kita saling diam. Tapi perasaan ini tidak bisa
dibungkam. Kau mengerti kan?” Nadia semakin menangis. Aku masih diam. Kami
basah dalam derasnya hujan. Di tengah sebuah jalan. Yang sepi tak bertuan.
“Ka-kau. Kau benar-benar
membuatku kecewa, Fahri. Aku tahu kau orang yang taat. Patuh pada Tuhan. Tapi
kenapa kau lakukan hal itu, Fahri?! Kenapaaa?!” lagi lagi Nadia berteriak.
Tangisnya semakin pecah. Bahkan suara halilintar tak sanggup menyaingi suara
tinggi gadis keturunan kiyai itu. Nadia memukul dadaku. Dia melampiaskan semua
marahnya padaku. Aku diam. Kubiarkan gadis yang sangat aku sayangi itu reda
dengan sendirinya.
“Ma-maafakan aku, Nadia. Aku
bukan laki-laki yang pantas untukmu. Aku jalang. Sedangkan engkau orang terpandang.
Mungkin, aku memang hadir dimuka bumi ini bukan untuk jadi teman hidupmu. Kita
bukan berjodoh. Aku kira ada laki-laki lain yang jauh lebih terhormat yang
lebih cocok untukmu. Dan itu, bukan aku…” lirihku lalu pergi meninggalkannya.
Nadia sesengukan. Aku menangis dalam langkah gontai ini. Menyusuri rintik hujan
yang semakin terasa sakit menjahit kulitku.
***
Pagi itu Tante Maria datang
kerumahku. Ia mengamuk dan mengumpat hingga beberapa ibu-ibu tetanggaku
mendengar amarahnya yang menggelegar. Bisik-bisik tetangga menyebar. Begitu
mereka tahu aku adalah salah satu laki-laki yang bekerja pada seorang germo.
“Tak tahu diuntung. Habis manis
sepah dibuang. Kalau bukan karena aku, mana bisa kau mengobati adikmu yang
penyakitan itu. Mikir nggak sih kamu itu?” teriak Tante Maria di depan wajahku.
“Terus, sekarang mau Tante apa?” kataku lirih.
“Hah?! Kamu tanya mau aku apa?
Cih. Tolol kamu ya, Fahri. Aku mau kau tetap menemui customerku. Enak saja kau
menghilang seminggu ini. Kau pikir itu bisnismu. Seenak jidatmu datang dan
pergi begitu saja?! Nanti malam, ada yang ingin menemuimu. Dia bayar fee kamu
lima juta. Kamu harus datang…” kelakar Tante Maria sambil berlalu.
“Ta-tapi, Tante. Saya nggak bisa…” Tante Maria keburu
meninggalkanku.
Malam yang dinantikan tiba. Aku
merasa tidak harus datang lagi ke tempat itu. Meski aku belum pernah sekalipun
menjamah salah satu customer Tante Maria. Tapi, aku tidak bisa terus-terusan
menghindar. Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti terjatuh juga.
***
Aku dan adikku terus melaju.
Ditemani angin malam yang menyayat. Ditemani embun malam yang menyengat.
Ditemani cayaha temaram. Dalam kelam malam. Mengejar waktu.
Malam. Kau sangat kental
denganku. Kau adalah hidupku. Kau penyelamatku. Kau tersenyum misteri padaku.
Malam. Katakan pada Tuhan. Bisikkan pada-Nya. Kalau aku, sangat mencintai-Nya.
Malam. Aku mencintaimu juga.
Dalam keadaan sakit aku terus
menggendong Risa. Entah kemana yang penting aku harus membawanya pergi. Yang
penting kami harus keluar dari kota ini. Hujan rintik-rintik membuatku ragu.
Tapi aku harus tetap melaju. Risa menggigil. Aku merasakan tubuhnya panas. Aku
khawatir demamnya semakin tinggi lagi. Kulepas kemejaku. Kusematkan membalut
tubuh mungilnya.
Sudah belasan kilometer aku
berjalan. Tapi tetap tanpa tujuan. Aku membuat Risa hangat dengan mengajaknya
berbincang sekenanya. Semoga, dia baik-baik saja. Aku ingin mencari klinik
terdekat. Aku harus membawanya berobat.
“Kak, kita mau kemana?” lirih
Risa gemetar. Tanpa terasa air mataku meleleh. Aku diam.
“Kak, Risa takut…” lirihnya lagi.
“Jangan takut, Dik. Kakak kan
ada didekatmu. Kamu harus kuat. Kita akan pergi ke tempat yang jauh.” Aku
berlari-lari kecil mencari pertolongan. Hujan turun merintik-rintik. Semakin
keras.
“Kak, kenapa Kakak menangis?”
tanya Risa dengan tubuh yang semakin terasa getarannya. Dia sangat kedinginan.
Aku semakin kuat menggendongnya.
“Kakak nggak nangis, kok.
Sekarang kan hujan. Jadi Kakak seperti menangis, yah?” Risa menyandarkan
kepalanya di punggungku. Aku terus menangis.
“Kak…” lirih Risa lagi.
“Ya, Dik. Ada apa?” aku mengelap air mataku.
“Risa sayaaaaaang sekali sama
Kak Fahri. Kakak jangan pernah tinggalin Risa lagi, yah. Nanti Risa nggak punya
teman. Nanti, nggak ada yang ceritain Risa dongeng lagi. Nggak ada yang belikan
Risa es krim lagi. Nggak ada yang kasih Risa boneka lagi. Kakak janji yah,
jangan pernah tinggalin Risa lagi…”
“Ya, Insya Allah, Kakak janji.
Tapi, Risa harus kuat yah. Risa juga nggak boleh sakit lagi.”
“Ya, Kak,” sahutnya tenang, “Oh
ya, Kak, kalau badan kita panas, kata Kakak itu sakit, kan?” tanya Risa
menatapku. Aku tersenyum.
“Ya, Dik. Itu tandanya kita sakit..” sahutku datar.
“Berarti, sekarang Kak Fahri
sakit. Badan kakak, panas…” lirih Risa setengah berbisik.
“Ahh, Kakak nggak sakit kok.
Kakak kan cowok. Kalau jadi cowok nggak boleh sakit.”
“Tapi, badan Kakak panas.”
Aku diam.
“Besok, kalau Risa udah besar.
Risa mau jadi dokter. Kalau Kak Fahri sakit. Nanti Risa yang obati. Kakak nggak
usah bayar…” Oh Tuhan. Tenggorokanku seakan tersedak. Sakit. Sakit sekali. Aku
hanya mengangguk menanggapi celotehannya. Tak sanggup lagi aku berkata-kata.
Tubuh Risa semakin terasa panasnya. Demikian pula denganku. Semakin cepat aku
berjalan. Semakin terasa nyeri disetiap sendi tulangku. Badanku gemetar. Kaku.
Perutku perih. Kepalaku pusing. Aku limbung.
Perlahan tubuhku melemah. Tak
tahu lagi aku harus berbuat apa. Hujan semakin menyiksaku. Angin malam semakin
menusuk tulangku. Dosa-dosa yang selama ini aku perbuat, seolah turut gugur
bersamaan dengan panas yang kudera. Tuhan. Jika detik-detik kematian sudah
mendekat. Aku titip agar Engkau menjaga adikku ini. Katakan padanya kelak, aku
sangat mencintainya.
***
Ditepi sebuah trotoar. Seorang
gadis kecil duduk terpaku menatap tubuh seorang lelaki yang telah terbujur
kaku. Lelaki itu tersenyum meski wajahnya tak lagi merah. Wajah tampannya
membiaskan rona berseri meski matanya terpejam. Gadis itu terus menangis. Dia
menyadari kakaknya telah mati. Dia menangis bukan karena hidupnya akan sengsara
nanti. Melainkan ia telah kehilangan orang-orang yang telah dicintainya selama
ini. Gadis itu juga menangis karena cita-citanya membalas budi belum tercapai.
Dia sangat sayang pada kakaknya, sayang sekali.
Dulu, saat dia sakit, kakaknya
itu adalah satu-satunya orang yang setiap waktu hadir menemaninya. Menyuapinya
makanan. Teliti mengecek label obat. Hingga kakaknya tidak kuliah hanya demi
menungguinya di Rumah Sakit. Tidak bekerja hanya untuk menjaganya. Gadis itu
menangis terisak-isak. Malam masih sepi. Tak ada manusia yang melintas. Hanya
hujan yang menetes. Langit menangis.
Gadis itu mencabut sebuah
belati yang menancap dilambung kakaknya. Setelah memastikan orang yang
melakukan hal itu telah lari entah kemana. Gadis itu menyimpan belati kedalam
balik bajunya. Gadis itu masih menangis. Tapi kini dia tersenyum. Ketika darah
yang mengucur dari perut kakaknya, kini berbau wangi. Lebih wangi dari minyak
kasturi.
“Dia kakakku, manusia setengah
malaikat. Kalau aku tidak keliru…” lirih gadis itu menangis.
Hujan turun semakin deras.
Gadis itu mendekap erat tubuh kaku kakaknya tercinta. Menunggu matahari
tersenyum menyambut pagi. Gadis itu tetap mendekap. Dia bernyanyi seperti
nyanyian yang dulu kakaknya sering nyanyikan. Dia berdoa seperti dulu kakaknya
berdoa. Gadis itu menatap langit perlahan. Titik-titik hujan deras terasa
menimpa wajah bersihnya. Wajah gadis itu pias. Dia diam terpaku. Tetap mendekap
kakaknya yang telah kaku. Kalau dia tidak keliru.
Malam. Ada sebuah kisah yang
begitu menyakitkan. Ada segelintir cerita yang begitu perih menyedihkan. Ada
segores harapan kecil dalam kenistanaan. Ada doa suci dalam dosa-dosa malam.
Malam. Kau begitu temaram.
*TAMAT*
Wynn Hotel and Casino - Mapyro
BalasHapusFind the 계룡 출장안마 Wynn Hotel and Casino, 서산 출장마사지 Las Vegas (NV) 문경 출장샵 location offering 200000 square feet 김해 출장마사지 of gaming and entertainment, plus a full casino and 안동 출장샵 poker room.